
Dalam sebuah munajatnya kepada Allah Ta’ala, Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan: “Ya Allah, aku kelamkan buku catatan amal-amalku dengan dosa-dosa. Sementara Engkau putihkan rambutku karena semakin bertambah tua. Wahai Pencipta warna putih dan warna hitam, hanya dengan karuniaMu aku berani melangkah menuju kepadaMu.”
Hanya dengan keberanian yang merupakan karunia dari Allah Ta’ala siapa pun berani melangkah menuju kepada hadiratNya. Kalau tidak, tidak akan ada siapa pun yang berani melangkah menuju kepada Allah Ta’ala. Tidak para rasul, tidak para nabi, tidak para wali. Tidak orang shalih mana pun di dunia ini.
“Gantilah segala kelamku dengan warna putih bersihMu ya Allah,” tukas beliau dalam sebuah munajatnya kepada hadiratNya. Betapa sangat menyentuh hati, betapa sangat menggetarkan, betapa sangat merindingkan. Sebuah ungkapan yang betul-betul keluar dari hati yang paling dalam.
Seorang Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi yang terkenal dengan kitabnya Qusyairiyah, berjumpa dengan beliau setelah wafatnya. Waktu itu Sang Imam sedang dan menangis. Beliau berkata: “Wahai Guru, bagaimana keadaanmu? Apakah engkau ingin untuk kembali ke dunia?”
“Ya, aku ingin kembali ke dunia. Bukan untuk memperbaiki dunia, bukan untuk memperbaiki nasihat-nasihatku kepada umat manusia, tapi semata untuk mengambil tongkat. Dengan tongkat itu, aku akan mengelilingi rumah-rumat umat manusia, aku akan mengetuk pintu mereka.
Aku akan bertanya kepada mereka: tahukah kalian semua, kepada siapa sesungguhnya kalian berpaling? Kepada siapa?” Pasti tidak ada jawaban dari mereka, bukan karena mereka tidak bisa menjawab. Tapi mutlak karena mereka telah menyadari bahwa kepada Allahlah mereka telah berpaling.
Dikatakan bahwa di akhir umur Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq beliau menderita dan seringkali sakit. Bahkan di akhir umurnya itu, beliau menatap ke atas bubungan dan terus memandang matahari. Beliau mengatakan: “Wahai Pengatur segala kekuasaan, wahai Pembatas alam semesta, bagaimana kabarMu hari ini?
Bagaimana keadaanMu sekarang? Engkau membiarkan seseorang dalam keadaan duka, hina-dina, tercabik-cabik hatinya di dalam mencari Allah Ta’ala.” Terus saja beliau ngomong nerocos seperti itu, hingga matahari tenggelam, sampai hilang matahari dari pandangan.
Ketika kedudukan rohani beliau semakin tinggi, tidak ada seorang pun yang bisa memahami kata-kata beliau. Mungkin hanya beliau dan Allah Ta’ala yang tahu. Selebihnya tidak ada. Di hari itu, hanya ada tujuh belas orang, atau enam belas orang yang tersisa di majelis beliau.
Menurut Syaikh Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang terkenal dengan sebutan Syaikh al-Islam, ketika kata-kata beliau menjadi sangat tinggi, majelis beliau sepi dari makhluk, sepi dari peminat. Mungkin karena mereka tidak paham, sementara di sisi yang lain mereka belum percaya bahwa sesungguhnya berkah mengalir dari sisi beliau. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Qasim al-Basyar bin Yasin - 4 July 2025
- Syaikh Abu ‘Ali asy-Syabuyi al-Marwazi - 27 June 2025
- SYAIKH ABU ‘ALI AD-DAQQAQ #3 - 20 June 2025
kiran
bagus
Ahmad Dauri
“Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq #3” adalah buku yang merendahkan ego, menyejukkan jiwa, dan memberi jalan pulang bagi laki-laki yang sedang mencari makna. Cocok buat kamu yang sudah bosan dengan teori hidup sukses versi duniawi, dan ingin mengenal kekuatan dalam kelembutan serta makna dalam ketundukan.
sofia
suka bangett