Dapur di Kepala Ibu

Di kepalanya, ibu menyimpan dapur. Bukan sekadar metafora, tapi di sana betul-betul ada dapur kecil dengan tungku tanah liat, panci besi tua, dan sendok kayu dengan gagang yang hangus sebagian. Di dalam kepalanya itulah semua rasa lahir.

Aku pertama kali tahu soal dapur itu ketika berusia tujuh tahun. Suatu sore ibu sedang duduk di balai bambu sambil menyulam, sementara aku bermain bola di halaman. Ketika bola melambung ke arah kepala ibu, ia tak menoleh, tak menghindar, hanya diam dan …. Bluk! Bola mengenai kepalanya.

Yang keluar bukan jeritan atau marah-marah, tapi aroma daun jeruk dan lengkuas. Dari ubun-ubunnya, mengepul wangi gulai yang belum jadi.

“Lain kali, jangan tendang bola ke arah orang yang sedang memasak,” katanya dengan tenang, “apalagi kalau dapurnya di kepala.” Sejak hari itu, aku tak pernah main bola dekat ibu lagi.

Seiring waktu, aku menyadari: dapur itu bukan main-main. Ia betul-betul aktif. Ibu tidak pernah terlihat memasak di dapur rumah, tapi setiap kali kami lapar, makanan sudah tersedia. Kadang masih mengepul, kadang terlalu asin, tapi selalu ada.

“Masaknya di kepala, jadi suka ada yang tumpah,” katanya sambil mengelus pelipis. Kadang ia mengelusnya seperti orang mengelus kenangan.

Suatu hari aku bertanya, “Bu, bagaimana caranya Ibu bisa memasak di dalam kepala?”

Ia tersenyum, lalu menatap jauh ke sawah di belakang rumah seperti sedang menyaksikan sesuatu yang tak terlihat olehku. “Aku memasak dari kenangan,” katanya pelan.

“Kalau ingat kenangan manis, aku bisa membuat makanan yang lembut dan hangat seperti bubur kacang hijau atau kolak pisang.”

“Kalau kenangan pahit?”

“Biasanya keluar sambal atau gulai yang pedasnya diam-diam. Kadang tumis pare yang getir. Meski begitu, tetap enak, bukan? Karena hidup memang perlu rasa yang pahit juga.”

Aku termenung. “Jadi, kalau Ibu sedang sedih, makanannya jadi sedih juga?”

“Tidak selalu. Tapi rasanya lebih dalam. Lebih … jujur.”

Ayah percaya ibu kerasukan ilmu leluhur dari jalur nenek buyut kami, yang konon bisa menyimpan sumur di matanya. Tapi ayah sendiri tak pernah menyaksikan itu. Ia cuma suka bercerita sambil mengisap rokok kretek buatan ibu yang rasanya kadang seperti sambal terasi, kadang seperti es teh siang hari. “Kalau kau bisa belajar membuka kepala Ibu, mungkin bisa kaulihat ayam gorengnya langsung,” katanya suatu malam.

Karena itu, aku coba mengintip saat ibu tidur. Tapi, kepalanya tertutup rapat, bahkan ubun-ubunnya bersih seperti batu sungai. Tak ada celah bagiku untuk melihat wajan atau api, hanya kucium aroma bawang putih dan kencur yang menguar halus.

Masalah datang ketika orang-orang mulai meragukan masakan ibu yang tak terlihat prosesnya. Bila awalnya mereka hanya membicarakan di belakang, sekarang mereka berani bertanya langsung kepada kami.

“Kau yakin ibumu tidak pakai pesugihan?” tanya Bu Narti, tetangga sebelah rumah. “Kok bisa masak dari kepala?”

“Aroma itu … seperti bau ramuan santet bikinan Nenek Iteng,” cetus Yu Sarkem, tetangga belakang rumah kala melewati pagar. “Jangan-jangan …” lanjutnya sambil mencebik.

Desas-desus pun menyebar. Beberapa warga mulai menolak makanan dari rumah kami. Bahkan ada yang bilang, makanan ibu membuat anak-anak sulit tidur karena mimpi berbau kari.

Ibu tak pernah membela diri. Ia hanya makin jarang bicara. Tapi aku tahu, dapurnya masih aktif. Karena setiap kali ia menunduk, aroma nasi uduk menguar. Kadang, samar-samar terdengar bunyi kecipak minyak dari arah tengkuknya.

Suatu hari, ia pingsan di kebun. Kami membawanya ke puskesmas. Dokter puskesmas menyarankan CT-scan dan merujuknya ke rumah sakit, tapi petugas radiologi di rumah sakit tak ada yang berani melakukannya. Sebab, ketika ibu masuk ke ruang pemeriksaan radiologi, alarm kebakaran berbunyi. Petugas menemukan jejak bara dan serpihan daun salam di lantai ruang periksa.

“Ini bukan urusan medis,” kata dokter radiologi di rumah sakit sambil menatap jauh ke jendela. Akhirnya, kami membawa ibu ke Pak Lek Marto, dukun desa yang dulu membuka mata batin para calon lurah.

Ia menatap kepala ibu yang tergeletak di balai bambu. Matanya menyipit, lalu terbuka lebar. “Dapurnya penuh. Terlalu banyak masakan yang tak dibagikan,” katanya.

“Harus diapakan?” tanyaku.

“Buka warung.”

Begitulah awalnya. Kami membuka warung kecil di depan rumah. Tanpa kompor, tanpa dapur, hanya meja kayu dan lima kursi plastik. Orang yang datang tak boleh memesan, hanya duduk dan menunggu. Ibu akan duduk di dalam rumah, diam, sambil menatap kosong ke dinding.

Lalu pelan-pelan, dari ruang belakang, muncul aroma. Dari balik tirai, sepiring nasi goreng atau semangkuk rawon akan muncul, diantar olehku atau ayah. Kami tak pernah tahu apa yang akan keluar, tapi orang-orang menyukainya.

Kebanyakan yang datang bukan penduduk kampung kami, tetapi orang luar yang penasaran dan tak peduli pada desas-desus buruk tentang ibu. Mereka bilang makanan kami punya “rasa ingatan”. Ada yang menangis karena sup yang ia makan mengingatkannya kepada sang nenek. Ada yang diam terpaku usai menelan sesendok kuah soto. Wajahnya memucat dan tangannya gemetaran. “Ini rasa yang sama … yang kami makan malam itu, sebelum ia tak pernah pulang,” katanya lirih. Rupanya soto kami membawa kenangan tentang pacarnya yang hilang usai menjadi tenaga medis dalam demo mahasiswa tahun 1998. Ia tak menghabiskan soto itu karena menangis usai suapan ketiga.

Ada yang datang hanya untuk mencium bau gudeg yang katanya mirip aroma halaman rumahnya saat kecil. Ada pula pelancong dari ibu kota, yang memejamkan mata lama-lama di depan semangkuk lontong sayur, lalu berkata, “Ini … seperti pagi Idul Fitri waktu aku kelas dua SD. Lengkap. Bahkan bisa kudengar suara radio tua yang dinyalakan kala itu.”

Warung itu ramai. Kami tak pernah memasang papan nama, tapi orang berdatangan dari luar kota juga dari luar pulau. Beberapa bahkan mencium aroma masakan ibu dari mimpi, lalu datang ke desa kami.

Namun, dapur ibu tak pernah menjadi kosong. Ia mulai sering pingsan. Mulutnya mengeluarkan aroma gosong. Kadang dari hidungnya keluar asap halus. Kami khawatir, tapi tak tahu harus berbuat apa.

“Masakanku menumpuk,” katanya suatu malam. “Banyak yang belum sempat kubagikan. Banyak rasa yang tidak sempat matang. Banyak pula yang hangus terbakar.”

Sampai suatu malam, ibu memanggilku ke kamarnya. Suaranya pelan, seperti gumaman kuali di atas api kecil.

“Aku mau pensiun,” katanya. “Dapurnya harus diwariskan.”

“Ke siapa?”

Ia menatapku lama, lalu tersenyum.

“Ke kamu, tentu saja.”

Aku menolak. Bagaimana bisa aku membawa dapur di kepala? Aku bahkan masih sering menumpahkan mi instan. Tanpa mempedulikan protesku, ibu memelukku. Dalam pelukannya, aku mencium aroma kayu bakar dan daun jeruk, lalu pandanganku gelap.

Esoknya, ibu meninggal. Tenang. Damai. Tak ada jeritan, tak ada tangis histeris, hanya aroma samar dari pelipisnya, seperti wangi daun salam yang ditumis tanpa minyak. Saat kami menyiapkan jasadnya, aku melihat sesuatu di cermin. Di kepalaku, samar-samar, ada tungku kecil. Masih dingin, tapi nyata, seperti pusaka yang belum disentuh atau warisan yang menunggu dihidupkan. Dan di pipiku, mengalir air mata beraroma bawang putih goreng yang hangat, akrab, dan perih dengan cara yang anehnya menenangkan.

Malam-malam sepi tanpa ibu menjadi ruang dapur yang panjang. Sejak hari itu, saat aku marah, saat aku rindu, atau saat dunia terlalu sunyi, terkadang dari ubun-ubunku mengepul aroma sambal tomat, semur, atau kuah kaldu ayam yang gurih. Tapi, tak ada masakan yang terhidang.

Karena itu, aku belum berani membuka warung. Tungku ini masih kupelajari pelan-pelan. Masih coba kupahami bagaimana kenangan bekerja. Bagaimana satu ingatan bisa menyalakan api kecil dan satu kehilangan bisa mendidihkan kuah.

Suatu ketika, anak tetangga depan rumah mampir. Lelaki kurus itu datang tidak untuk makan. Ia hanya berdiri di teras, lantas terdiam lama. Matanya berkaca-kaca. Bisa ikut kurasakan kepedihannya. Tiba-tiba saja dari kepalaku menguar bau lodeh atau ikan pindang. Dan tanpa sadar, aku berkata: “Silakan duduk. Tak usah pesan. Masakannya sedang jalan.”

Lelaki itu tersenyum. Dan aku tahu, meski ibu telah pergi, aku tak perlu khawatir. Karena masakan, seperti juga cinta, akan terus mencari tubuh baru untuk bisa menghidangkannya.

Luluq Intan
Latest posts by Luluq Intan (see all)

Comments

  1. Viranio Moo Reply

    kisahnya hangat sekali, keren

  2. Dodipratama Reply

    Ibuu

  3. teddy m Reply

    saya selalu kagum dengan penulis cerita surealis termasuk cerpen ini. apik sekali. salut untuk mbak luluq intan.

  4. enry Reply

    Ini… Ini manis, terimakasih

    • Abdurrazaq Silangit Reply

      Gokil, cerita pendek yang ditulis oleh luluq intan ini sangatlah hebat

  5. Siti Maesaroh Reply

    Keren cerita nya

  6. Ceic Reply

    Keren bgt ceritanya. Cari sarapan dulu, ah!

  7. Priska Kusuma Reply

    Apik sekali ceritanya

  8. Ahmad Dauri Reply

    Sebagai laki-laki, memberikan pendapat tentang buku “Dapur di Kepala Ibu” karya Luquq Intan adalah pengalaman yang cukup menggugah karena buku ini bukan sekadar bicara tentang dapur atau memasak, tapi lebih dalam lagi—tentang peran ibu, beban mental yang kerap tak terlihat, dan bagaimana ruang domestik menyimpan begitu banyak cerita dan luka.

    1. Refleksi Peran Gender

    Sebagai pria, membaca buku ini bisa membuka mata tentang bagaimana invisible labor atau kerja-kerja domestik seringkali dianggap biasa atau “kodrat” perempuan—padahal sebenarnya melelahkan, kompleks, dan layak dihargai. Buku ini membuat saya merefleksikan ulang: Apakah saya cukup menghargai kerja-kerja ibu saya atau pasangan saya di rumah? Ataukah saya hanya menikmati hasilnya tanpa pernah benar-benar peduli prosesnya?

    2. Bahasa dan Gaya Penyampaian

    Luquq Intan menggunakan gaya narasi yang puitis dan kontemplatif. Sebagai laki-laki yang mungkin tidak tumbuh dengan kedekatan pada sastra rumah tangga, buku ini menyuguhkan rasa yang berbeda—emosional, tapi tidak berlebihan. Justru itu membuat pesannya kuat dan menusuk.

    3. Empati dan Kesadaran Baru

    Buku ini bisa jadi “tamparan lembut” bagi banyak laki-laki. Ia tidak menyalahkan, tapi memberi ruang untuk kita memahami bahwa banyak hal yang selama ini kita anggap biasa, ternyata menyimpan tekanan mental yang besar bagi para ibu. Ini memperluas empati dan menyadarkan pentingnya peran bersama dalam rumah tangga, bukan sekadar “bantu-bantu”, tapi berbagi peran secara adil.

    4. Rekomendasi Pribadi

    Saya pribadi merekomendasikan buku ini tidak hanya untuk perempuan atau ibu-ibu, tapi justru penting sekali dibaca oleh laki-laki—anak laki-laki, suami, ayah, atau siapa pun yang ingin memahami lebih dalam tentang ruang-ruang sunyi yang dihuni perempuan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!