21 Tahun Sejak Menulis Ulid—dan Menjualnya (3-Habis)*

Orang gagal adalah sasaran empuk nasihat. Itulah yang terjadi dengan saya setelah terbitnya Ulid Tak Ingin ke Malaysia (UTIM, demikian dulu novel ini sering disingkat). Mestinya begini, seandainya begitu, kalau saja gini, coba saja gitu, dst. Saya mengabaikan sebagian besarnya, tapi kadang diam-diam mencoba beberapa. Dan, sialnya, biasanya berujung dengan bencana. Misalnya, bicara di depan kursi kosong di GOR Lamongan, atau dihabisi oleh seorang dosen ilmu sosial penggemar Laskar Pelangi di hadapan ratusan anak SMA (bahwa karakter utama di novel saya kurang pintar dan kurang keras berusaha, makanya gagal).

Baiklah, saya bukan hanya penjual yang buruk, saya bahkan membenci berdagang. Tapi saya tahu beberapa buku memang ditulis bukan untuk menjadi sangat laris. Sekeras apa pun Anda berusaha menjual buku ajar Sejarah Kebudayaan Islam, ia tak bisa menandingi penjualan Bahasa Arab atau Fikih; Anda tak hanya berhadapan dengan kurikulum yang lebih mengutamakan pelajaran tertentu di atas pelajaran lain (dan karena itu lebih menganjurkan peserta didik memiliki buku ajar tertentu dibanding buku ajar yang lain), tapi juga mesti berhadapan dengan persepsi umat Islam Indonesia bahwa belajar Bahasa Arab dan Fikih jauh lebih penting dibanding belajar Sejarah. Anda bisa saja jungkir balik untuk menjual Hemingway atau Faulkner lebih banyak, tapi mereka tak akan bisa menandingi oplah novel-novel Stephen King atau John Grisham.

Saya tidak bermaksud mencipta sebuah masterpiece, tapi UTIM, dari segi apa pun, jelas tidak ditulis untuk pasar yang luas. Namun, buku dengan pasar yang tak luas tidak sama dengan sama sekali tak punya pasar. Dan saya memikirkan pasar kecil novel itu sejak awal, sebagaimana saya memikirkan pasar yang sedikit lebih besar bagi novel saya yang lain. Mengabaikan pasar kecil itu adalah kesalahan, tapi berusaha menjualnya dengan segala cara untuk pasar yang luas adalah hal fatal.

Memilih font judul yang punya kemiripan dengan Laskar Pelangi, menempelkan gambar perempuan berkerudung di sampul, dan menampilkannya dalam wajah sedih, adalah serangkaian upaya untuk membuat kisah Ulid (diharapkan dipersepsi) menyerupai bacaan-bacaan laris kala itu: inspiratif, Islami, dan mengeksploitasi kesedihan. Meskipun mencoba menggambarkan tentang keliatan dan daya tahan, kisah Ulid tidak berakhir dengan kesuksesan yang gilang-gemilang; meskipun bertebaran adegan orang salat, puasa, juga kalimat-kalimat thayyibat, novel ini tidak menjadikan agama sebagai solusi—seperti yang dikatakan Katrin Bandel beberapa tahun kemudian; ada banyak drama di novel ini, tapi Anda tak akan menemukan orang mati karena disiksa, atau perempuan tak berdaya yang diperkosa, atau gadis muda yang dijual orangtuanya. Tak seperti di novel-novel yang dilabeli menggugah jiwa, Ulid dan orang-orang yang hidup di Lerok jauh dari sempurna, kadang mengambil keputusan yang salah, tak jarang bersikap sembrono, juga berbuat dosa; mereka seperti kebanyakan kita di dunia nyata, dan memang itulah yang ingin saya tampilkan. Maka, menjual UTIM kepada para pembaca Laskar Pelangi atau Ayat-Ayat Cinta seakan itu barang serupa adalah sebuah penipuan. Bayangkanlah: mereka menjual tape goreng kepada penggemar tahu isi.

Untungnya tak banyak penggemar tahu isi yang tertipu dengan tape goreng itu. Tapi, malangnya, yang betulan doyan tape goreng tak tertarik memungutnya, karena mereka tak tahu bahwa yang ada di hadapan mereka adalah tape goreng.

Seperti telah disebutkan, UTIM ditulis dengan intensi sastra—soal seberapa berhasil ia menjadi sastra, itu tentu pembicaraan yang berbeda. Namun, dilihat dari semua gambaran fisiknya (desain dan warna sampul, pilihan judul, label sensasionalnya, hingga ke ukuran buku) UTIM tidak ada nyastra-nyastra-nya. Dan ini yang membuat pembaca (yang terbiasa dengan buku-buku sastra) yang sejak awal dipikirkan oleh penulisnya bukan hanya tak terkesan, tapi juga sama sekali tak menyadari bahwa buku itu ditujukan untuk mereka. Isu migrasi dan buruh migran, dampak kegagalan sistem ekonomi menetes (trickle down effect) ala Orde Baru, perubahan sosial akibat perubahan spasial, dst., yang memungkinkan novel ini ditawarkan kepada peminat kajian sosial humaniora juga sama sekali tidak tergambarkan di kulit muka dan kover belakang buku. Sementara nuansa budaya pop ’80-‘90an yang sangat mewarnai novel (sandiwara radio, slowrock Malaysia, dll.) yang mungkin bisa dijadikan gimik untuk menarik minat pembaca kelahiran akhir ‘70an atau awal ‘80an juga tidak muncul.

Dan itulah yang membuat Ulid tidak dibeli, tidak dibaca, dan tidak dibicarakan. Setidaknya sampai rumah kami kedatangan seorang kawan yang pulang dari studi master pengairan di Belgia.

***

Pertengahan 2012, Bosman Batubara baru saja menyelesaikan studinya tentang ekosistem air tanah Eropa di Universitas Katolik Leuven dan memutuskan balik ke Jogja. Saat itu di rumah sewa kami di Kalasan masih tersisa satu kamar kosong. Ia menebusnya dan memutuskan tinggal bersama kami.

Bosman pernah memuat cerpennya di Kompas (sesuatu yang tak pernah bisa saya lakukan), dan menulis laporan perjalanan untuk Intisari. Jadi, jelas, ia insinyur pengairan yang melek sastra. Tapi satu-satunya novelis di rumah itu adalah orang yang paling tidak dikenalnya: kami seangkatan dan sudah saling dengar nama masing-masing saat kuliah, tapi kami belum pernah ketemu. Barangkali karena itu, pada satu sore ia ada di ambang pintu kamar saya, bilang ingin meminjam UTIM dan coba membacanya.

Saya tak ingat berapa hari Bosman membaca UTIM, dan kemudian membuat ulasan atasnya. (Ia kuat sekali ngobrol dan cekakakan semalaman, tapi juga bisa berhari-hari tak keluar kamar jika sedang membaca atau menulis.) Tapi saya pikir waktu itu saya sedang pulang ke Lamongan ketika ia menulis panjang dan menggebu tentang novel kawan serumahnya di laman Catatan Facebook-nya. Judulnya simpatik sekaligus terlalu jujur (dan sedikit menusuk): “Pengalaman Membaca Novel yang Tidak Diperbincangkan”. Ia dengan sedikit bombastis menyebut UTIM sekualitas dengan Ronggeng Dukuh Paruk dan Para Priayi, berlogika rapat (“Tidak ada yang tak masuk akal di novel ini,” katanya), juga memantik banyak pertanyaan berkait kajian ilmu sosial (tentang proses tereksklusinya masyarakat dari sumber dayanya; tentang perlunya memeriksa ulang teori migrasi yang selama ini dipakai untuk menjelaskan proses urbanisasi di Indonesia; tentang mencari perspektif yang berbeda terhadap fenomena buruh migran Indonesia, dst.)—pertanyaan-pertanyaan yang kemudian dijawab sendiri oleh Bosman bertahun-tahun kemudian dalam tulisan yang sangat ilmu sosial: “Urbanisasi dalam Novel Ulid: Aliran Orang, Aliran Barang, dan Perubahan Sosiospasial” (lihat: Tapi, Memang Begitulah Hidup, 2025).

Tapi Bosman tidak cukup hanya dengan mengglorifikasi UTIM. Ia juga menunjukkan kekecewaan dan menggugat mengapa novel ini tidak diperbincangkan di komunitas-komunitas sastra mana pun. Tidak berhenti di tulisan, ia bahkan memaksa Dwi Cipta, cerpenis yang sering nongkrong bareng kami, untuk membaca UTIM dan menuliskan komentarnya.

Cipta sebenarnya menemukan UTIM jauh lebih awal dibanding Bosman. Awal 2010, atas rekomendasi Darmanto, teman serumah sekaligus rekan menulis saya di Belakang Gawang, saya bertemu Cipta dengan membawa novel saya yang baru saja terbit. Saat itu Cipta bukan saja nama mapan di halaman kebudayaan Kompas (antara 2005-2011, ia adalah cerpenis dan esais produktif), tapi juga pentolan kelompok Parikesit, yang menghimpun banyak penulis muda Jogja. Parikesit sedang aktif-aktifnya membuat diskusi sastra dan saya datang kepada Cipta untuk bertanya apakah mereka bisa membuatkan acara diskusi untuk UTIM. Saat itu Cipta berjanji kepada saya, namun hingga tiga tahun kemudian diskusi itu tak pernah terselenggara.

Saya bisa membayangkan Cipta mungkin tak pernah tertarik dengan novel berukuran buku kuliahan dengan gambar muka mirip poster seri sinetron Suara Hati Istri itu. Lagi pula, ia juga tak mengenal saya selain sebagai “teman Darmanto”. Karena itu, meskipun mengaku “berutang janji” dengan saya, Cipta terkesan jengkel dengan ajakan Bosman yang agak memaksa. Lewat Catatan Facebook juga, Cipta menulis dua kali lebih panjang dari tulisan Bosman, sebagian besar untuk menyanggah “opini berlebihan” Bosman atas novel yang “katanya bagus” itu.

Dwi Cipta penulis yang bagus, tapi ia pembaca yang jauh lebih bagus lagi. Ia jeli dan teliti. Tidak seperti Bosman yang dengan lugas (dan “terburu-buru”, seperti diakuinya sendiri) menyebut UTIM bagus, Cipta lebih memilih menyebutnya “berpotensi untuk lebih bagus”. Ia menganggap UTIM terlalu asyik dengan “deskripsinya yang berlarat-larat”, sehingga hanya menyisakan “sedikit ruang bagi pergulatan internal dan eksternal karakter-karakter yang ada dalam cerita”. Apa yang disebut Bosman sebagai kerapatan logika bagi Cipta justru sangat membosankannya; lebih lanjut, Cipta menyebut penulisan UTIM sangat tidak efisien, sehingga “selalu muncul keinginan untuk mengedit dan merampingkannya”. Tapi kritik paling kerasnya adalah ketika menyebut bahwa saya hanya menjadikan fiksi (dan sastra) semata sebagai alat untuk menyampaikan gagasan-gagasan saya.

Dua tulisan dari dua sahabat ini kemudian menjadi perdebatan sengit di tongkrongan, baik saat mereka meriung di ruang tengah rumah kontrakan kami di Kalasan yang memang luas maupun saat nongkrong di warung kopi. Pada beberapa kesempatan, saya ada di antara mereka berdua. Saya bersepakat dengan Cipta bahwa Bosman agak kelewat bersemangat, barangkali karena UTIM adalah sedikit novel Indonesia yang bisa menghubungkannya dengan studi-studi ilmu sosial yang sedang digelutinya, tapi saya juga tidak serta-merta menerima semua kritik Cipta atas UTIM. Saya mengamini beberapa masukannya, semisal bahwa novel itu masih bisa diedit ulang, tapi, ketika ia merasa bosan dengan deskripsi yang berlarat-larat, saya pikir Cipta sedang membayangkan dialah yang menulis cerita itu, dan dia ingin menulis seperti cerita-cerita yang biasa ia tulis atau yang ia sukai; ada perbedaan referensi (bacaan dan acuan) dan preferensi (kecenderungan, selera) yang membuat ukuran kami tentang fiksi sedikit berbeda—hal yang membuat ia sangat produktif di Kompas dan pada saat yang sama saya memutuskan untuk sama sekali tidak membaca cerpen koran. Sementara anggapannya bahwa saya memakai fiksi sekadar sebagai kaki bagi ide-ide saya sepenuhnya saya abaikan.  

Tapi apa tanggapan saya atas ulasan Bosman dan Cipta tak penting amat. Yang lebih penting adalah apa dampak yang timbul dari perdebatan dua teman nongkrong ini. Hanya berbilang hari dari perdebatan Bosman dan Cipta, beberapa orang bersepakat membuat diskusi berkait UTIM, dengan seorang dosen Antropologi UGM sebagai pembahasnya. (Barangkali ini berangkat dari asumsi Cipta bahwa novel ini dipenuhi ide-ide ilmu sosial.) Itu bukan diskusi pertama UTIM, namun benar-benar terasa seperti yang pertama. Yang lebih aneh, diskusi itu dilaksanakan di Bulaksumur Blok B-21, sebuah rumah di kompleks perumahan dosen UGM yang bertahun-tahun sebelumnya menjadi tempat saya tinggal dan belajar menulis, termasuk di dalamnya menulis cerpen “Belajar Menyukai Seekor Kambing” yang menjadi embrio UTIM.

Diskusi itu, seingat saya, tak berjalan terlalu baik. Seperti Cipta, dosen antropologi itu ternyata tak menyukai deskripsi saya yang berlarat-larat, dan mengritik terlalu banyaknya elemen budaya pop di novel, khususnya sandiwara radio, yang tidak ia mengerti dan tidak ingin ia mengerti. Di sisi lain, audiens lebih tertarik mendengar cerita saya tentang bagaimana novel ini—meminjam kalimat seorang kawan yang hadir di diskusi—“dibunuh penerbitnya sendiri”.

Diskusi kedua menyusul sekitar tiga pekan kemudian. Bukan hanya berjalan jauh lebih baik, diskusi ini juga menandai hal-hal baik sesudahnya. Diskusi yang diselenggarakan di Kafe Lidahibu, tak jauh dari kampus Universitas Sanata Dharma, pada akhir Januari 2013 itu oleh Lubabun Ni’am disebut sebagai momen “Ditemukannya Ulid”. Bukan saja dari diskusi ini dihasilkan tulisan Katrin Bandel yang kelak menjadi pengantar bagi UTIM edisi baru, namun dari sinilah nanti dimulai beberapa rangkaian diskusi UTIM berikutnya. Yang lebih jauh, sejumlah orang yang hadir dan terlibat dalam diskusi di Lidahibu kemudian bersepakat untuk menghimpun diri dalam Gerakan Literasi Indonesia (GLI), sebuah kelas menulis gratis berbasis warung kopi di Jogja yang seiring waktu tumbuh menjadi jejaring aktivisme.   

***

Lewat beberapa rangkaian diskusi lanjutan, tapi terutama lewat penjualan dari tangan ke tangan, hanya butuh tiga bulan untuk membuat 150 eks bukuyang “dihadiahkan” penerbit kepada saya habis terjual. Itulah untuk pertama kalinya saya mendapatkan uang dari novel tersebut. Ketika naskah “Kambing dan Hujan” menang sayembara novel DKJ pada akhir 2014, banyak orang mengusulkan agar saya menerbitkan ulang UTIM.

Sepanjang 2015, beriring dengan dicetak dan beredarnya Kambing dan Hujan, saya menangani sendiri sebagian proses penerbitan ulang UTIM. Saya mengurus tata letaknya sendiri, mengonsep gambar sampulnya sebelum masuk ke meja desainer, termasuk meminta izin kepada Katrin Bandel untuk menyertakan ulasannya sebagai pengantar novel. Tentu, setelah sebelumnya saya menyunting ulang novel itu, yang di dalamnya mencakup pengurangan hampir 10 ribu kata (ya, saya menemukan inefesiensi yang ditengarai Cipta, meski yang saya potong sebagian besar justru adalah dialog yang ia sebut luwes, bukan “deskripsi berlarat-larat” yang membosankannya). Tapi perubahan paling kentara dari hasil penyuntingan tersebut ada di judul, setelah saya memutuskan memendekkan Ulid Tak Ingin ke Malaysia menjadi Ulid saja. Barangkali karena rasa trauma atas perlakuan penerbit pertamanya, saya mempercayakan penerbitan keduanya kepada Pustaka Ifada, penerbit kecil yang dioperasikan dari rumah yang saya tinggali, yang dikelola oleh teman serumah saya sendiri, Irfan Afifi. Dan Ulid edisi kedua pun terbit pada awal 2016, sekitar enam tahun sejak pertama kali terbit.

Bagaimana pun, perhatian atas Ulid meningkat setelah saya memenangi sayembara novel DKJ (2014) dan kemudian Kusala Sastra Khatulistiwa (2017). Itu harus diakui. Tapi, kemasan yang lebih baik (dengan judul yang lebih efektif, sampul bergambar bocah laki-laki berkalungkan radio yang sangat mewakili imaji karakter utamanya, juga ukurannya yang “novel banget”), pun diskusi, bedah buku, atau pergunjingan oleh orang-orang yang tepat di sirkuit yang tepat, juga berperan besar bagi “kelahiran kembali” novel ini. Yang lebih penting, ia sampai kepada pasar yang tepat, yang membelinya karena yakin ingin membacanya.

Ulid edisi kedua hanya dicetak 500 eks. Dan butuh sekitar tiga tahun untuk menjualnya habis. Di atas lembaran tabel Excel, tak ada lonjakan penjualan yang signifikan jika dibanding cetakan sebelumnya yang “tidak laku” itu. Tapi, lewat pengakuan beberapa penjual buku bekas yang sampai ke saya, saya yakin, di pasar, bersama tercerapnya 500 eks Ulid bersampul bocah, tercerap juga 1000 sekian ratus eks Ulid berwajah ibu-ibu yang sebelumnya teronggok di gudang atau terserak di lapak-lapak buku obralan.

***

Pada 2019, beriring dengan penerbitan sebuah buku kumpulan esai sepakbola saya, Penerbit Shira Media nembung untuk menerbitkan ulang Ulid. Mereka meyakinkan saya bahwa edisi pertama dan kedua novel tersebut sudah tidak ada lagi yang beredar di pasaran, kecuali yang bekas. Sedikit ditunda oleh pandemi, pada 2021 terbitlah Ulid untuk ketiga kalinya. Empat tahun kemudian, karena cetakan ketiga sudah sangat menipis, mereka memutuskan mencetak ulang novel itu, kali ini dengan embel-embel 15 Tahun Ulid, dengan sampul keras, dan sebuah buku tipis berisi ulasan-ulasan tentang Ulid yang membersamai jatuh, bangun, dan bertahannya novel ini.  

Menulis tentang proses menulis Ulid (dan nasib buruknya setelah terbit) sudah saya lakukan berulang-ulang kali. Karena, bagi saya, dari segi apa pun, ia menggambarkan semua hal berkait diri saya sebagai manusia maupun sebagai pengarang. Ketika ingin bercerita tentang kepenulisan, saya akan bercerita tentang Ulid; ketika bicara kehidupan personal, saya juga akan bercerita tentang Ulid. Dari Ulid saya memulai, pada Ulid saya membuat pertaruhan, dan bersama Ulid saya mengalami apa itu kegagalan sekaligus sukses—tentu dalam definisi saya sendiri.

Tulisan ini, sekali lagi tentang Ulid, saya kerjakan tak lama setelah menandatangani 300an eks (dari 2000 eks) Ulid edisi 15 Tahun. Membayangkan bahwa dalam tiga-empat tahun ke depan akan ada lima-enam ribu eks Ulid, dalam empat sampul berbeda, oleh tiga penerbit berbeda, beredar di luar sana, entah di rak-rak papan berantakan para mahasiswa atau lemari-lemari kaca perpustakaan pribadi yang rapi, saya rasa saya tidak bisa lebih bangga lagi. Angka itu bisa saja bertambah (yang tentunya diharapkan oleh penerbitnya), tapi jika tidak saya tetap akan menjadi salah satu dari sedikit pengarang Indonesia yang berbahagia atas hidupnya.

Mungkin akan jauh lebih menyenangkan jika Anda punya buku yang telah melewati angka 100 ribu eksemplar, atau yang telah naik cetak lebih dari 81 kali. Tapi, saya rasa tak kalah menyenangkannya juga memiliki buku yang sebelumnya “tidak diperbincangkan” (seperti yang ditulis Bosman) atau dianggap “mati suri” (sebagaimana dikatakan Zakky Zulhazmi) dan ternyata masih dicetak ulang dan diperjualbelikan hingga 15 tahun kemudian.    

Mahfud Ikhwan

Comments

  1. Gilbet Reply

    Tetap semangat

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!