Syaikh Abu Sa’id bin Abi Al-Khair #8

Pada suatu hari, datang seorang qawwal, seseorang yang seringkali membacakan puisi pada acara sema, kepada Syaikh Abu Sa’id bin Abi al-Khair, beliau membacakan bait berikut ini: “Apa yang akan kau katakan kalau aku bersembunyi hidup-hidup di antara gerombolan rusa lantas aku mengecup bibirmu?”

“Untuk siapa bait ini kau baca?” tanya Syaikh Abu Sa’id bin Abi al-Khair kepada qawwal itu. Qawwal itu menjawab: “Untuk orang yang mengurusi umat sebagaimana panjenengan.” Syaikh Abu Sa’id bin Abi al-Khair berkata kepada orang-orang yang hadir di situ:

“Berdirilah kalian semua, mari kita berziarah ke kuburan orang shalih di sekitar sini,” kata Syaikh Abu Sa’id bin Abi al-Khair kepada orang-orang di situ. Syaikh kemudian pergi berziarah bersama orang-orang di situ. Di tengah jalan, beliau kemudian mengungkapkan dua bait berikut ini:

“Di dalam madzhab cinta, tidak ada kekufuran, tidak ada keimanan pula. Kembalilah engkau ke bisikan intuisimu dan duduklah bersama ular dalam keadaan bahagia. Dan jangan pernah duduk bersama nafsumu,” dua bait puisi yang sangat mendalam maknanya. Kekufuran dan keimanan ternyata tak ada dalam madzhab cinta.

Syaikh Abu Sa’id bin Abi al-Khair kemudian melanjutkan baitnya itu: “Tidak ada apa pun di sana, di cakrawala yang tinggi itu, selain suatu nilai perbuatan yang lebih indah ketimbang segala sesuatu sebagaimana perjanjian di antara para kekasih di mana duka-derita terlihat nyata.”

Orang-orang yang ada di dekat Syaikh Abu Sa’id bin Abi al-Khair bertanya kepada beliau: “Wahai Syaikh, apakah makna hadis berikut ini: tafakkuru sa’atin khairun min ‘ibadati sanatin?” Beliau memberikan jawaban seperti ini: “Merenung satu saat tentang ketiadaan ibadah itu lebih utama ketimbang ibadah satu tahun yang kau renungi keberadaannya.”

Artinya apa? Merenung tentang ketiadaan ibadah kita sesaat, itu jauh lebih penting ketimbang merenung tentang keberadaan ibadah kita. Artinya adalah kita hanya dijadikan perantara oleh Allah Ta’ala untuk melaksanakan ibadah. Jadi, hakikat kebaikan itu pelakunya adalah Allah.

Berarti dengan demikian Allah Ta’ala menghadap kepada diriNya sendiri. Iya, betul. Karena sesungguhnya yang betul-betul ada cuma satu sebagai Wajib al-Wujud, yaitu Allah Ta’ala. Tidak apa pun atau siapa pun yang lain. Di saat itu, yang berlaku adalah: “Al-‘Abid wa al-Ma’bud wahidun.”

Yang menyembah dan yang disembah itu sesungguhnya satu, tidak lebih dari itu. Jadi, yang sanggup menyembah Allah itu adalah Allah sendiri. Tak mungkin kita bisa menyembah Allah. Bagaimana sesuatu yang tidak ada ini bisa menyembah hadiratNya? Dalam kondisi apa pun tidak mungkin.

Sungguh, membaca Syaikh Abu Sa’id bin Abi al-Khair adalah membaca keagungan dan keindahan Allah Ta’ala. Betul sekali peri bahasa yang mengatakan bahwa di dalam kehidupan cuma dua yang ada: Allah Ta’ala dan realitas kehendak hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!