Pagi ini, aku terbangun dengan sakit di kepala. Dan aku tahu mimpi buruk yang menyambangi semalam benar-benar mewujud ke dunia nyata setelah memeriksa ponsel dan menemukan pesan dari Hardi.
Aku ingin ketemu, katanya.
Ketemu? Sekarang? Setelah selama setahun setiap hari dia berusaha kuhubungi dan kucari tak dianggap, dia akhirnya meminta bertemu?
Hanya karena perempuan itu?
Sial! Kepalaku berdenyut lagi. Segera kutenggak pil itu dan merambat ke kamar mandi.
Saat kubilang merambat, yang kumaksud benar-benar merambat. Pusing sisa pesta semalam belum hilang. Aku membutuhkan bantuan pinggir ranjang, tudung lampu baca, dinding, lalu tepi pintu sebelum akhirnya tiba di bawah kucuran air.
Aku membutuhkan diriku yang utuh untuk menghadapi Hardi.
***
“Hardi datang ke kehidupanku—atau kau bisa bilang aku yang datang ke kehidupannya, sama saja—lima tahun lalu.” Akhirnya aku memberanikan diri bercerita kepada Nita, orang yang beberapa waktu belakangan ini menemaniku, termasuk dalam pesta semalam.
Sekarang, kami berhadapan setelah baru saja menghabiskan sarapan. Sepotong roti dan jus. Nita duduk mendengarkan. Ekspresi wajahnya tidak bisa kubaca. Mungkin, waspada? Ah, aku tidak peduli apa yang dia pikirkan. Aku sedang butuh teman bicara dan setelah lima bulan aku yang bersabar mendengar keluh kesah seputar kehidupannya, sekarang saatnya dia mendengarkan bagianku.
“Aku dan Hardi menjadi dekat dan semakin dekat hingga akhirnya aku mengandung anaknya.” Aku butuh satu isapan rokok sebelum melanjutkan kisah ini. “Kami merasa belum siap—Oh, jangan berusaha memotong ucapanku, Nita! Oke, dia yang merasa belum siap—tidak siap. Sementara aku? Kau tidak tahu betapa aku ingin melahirkan anak itu.”
Mataku kembali berair. Selalu, setiap ingat bagaimana Hardi ternyata memberi minuman penggugur kandungan yang disebutnya jamu agar janinku sehat. Akibatnya tak tertahankan. Rahimku ikut rusak. Aku tak mungkin lagi bisa memiliki anak selamanya. Terkutuk kau, Hardi! Kuhempas puntung rokok ke lantai. Seakan belum cukup, kutambah dengan jejakan kaki bertubi-tubi. Lagi. Lagi. Lagi, seakan yang sedang kuinjak-injak adalah kepala Hardi.
Dan sekarang laki-laki itu mengajakku bertemu. Mungkin seharusnya aku tidak menemuinya. Tapi, aku penasaran.
“Aku akan menemuinya, Nit. Bukan, aku… tidak akan jatuh lena lagi padanya. Aku–” Aku tidak suka tatapan Nita itu, harus segera cari alasan yang bagus! “…hanya mau tahu apa yang akan dia bicarakan.”
***
Selama satu tahun Hardi menghilang. Selama itu pula aku selalu berdoa dapat bertemu lagi dengannya. Setidaknya, mendengar alasan dia melakukan itu. Kami punya cinta, kan? Atau, tidak? Tapi, dia suka padaku, kan? Pernah suka, setidaknya. Walaupun ternyata hanya sebatas tergiur pada tubuhku, aku tak peduli. Kami pernah punya masa-masa bahagia. Dan kalaupun dia tidak mau bertanggung jawab atas anak kami, dia tak berhak mengambilnya dariku.
Aku tidak akan mengharapkan apa-apa darinya. Aku hanya ingin mengetahui alasannya. Aku pernah dengar, rasa penasaran bisa membunuhmu. Kita bisa jadi ruh gentayangan, hanya bisa ke sana-kemari ketika mati nanti jika masih ada rasa penasaran yang tak terjawab di dunia. Pasti membosankan bergentayangan seperti itu.
Aku ingin mendengar kejujuran dari mulut Hardi. Dengan begitu, aku pasti bisa menjalani sisa hidup dengan lebih tenang.
Dengan menanamkan pengertian itu, aku memutar kunci, memegang erat setir, menarik napas panjang seraya memejamkan mata, dan menginjak gas, lalu melaju ke tempat aku dan Hardi bertemu pertama kali.
Bahkan dari pintu masuk kafe, aku bisa langsung menemukan Hardi. Aku berpura-pura berbelok untuk mencuci tangan. Dari cermin di atas wastafel, aku memperhatikannya.
Penampilannya belum banyak berubah. Di balik kemeja biru yang dipakainya, ada otot-otot yang indah. Celananya, seperti biasa, tidak ada lipatan di tengah, tidak seperti orang kebanyakan. Aku yang mengajarinya hal itu. Lipatan di tengah celana itu norak, kataku dulu. Dan ternyata dia masih menerapkannya. Ah, aku tidak boleh tersipu begini.
Kuingat-ingat wajah yang ingin kupersembahkan kepadanya. Wajah Hardi sendiri terlihat suram. Apa dia tidak bahagia terpisah jauh dariku? Apa dia menyesal?
Lagi-lagi!
Segera kutepis segala praduga dan mempercepat langkah ke meja tempat Hardi duduk.
***
Sudah bersedia jujur?
“Kalimat pertamaku justru itu, Nit. Aku bahkan tidak bertanya bagaimana kabarnya. Melihat kerah bajunya yang dekil, seharusnya aku tahu ada yang salah. Dia tidak pernah membiarkan pakaiannya sampai berubah warna. Dan ini malah sampai cokelat. Menjijikkan. Pasti istrinya tak becus.” Kumainkan sendok kecil yang baru saja kugunakan untuk meratakan gula ke seluruh isi gelas. Aku tidak suka teh yang tidak manis. Seperti kehidupan, kita butuh hal-hal yang manis. Dan itu, kita, hanya kita yang harus memasukkan. Jangan percaya kepada orang lain untuk menambahkan bahan tambahan ke dalam hidupmu.
“Lebih baik, kau tidak usah berdoa meminta mengetahui kebenaran jika tidak sanggup mendengarnya. Jangan minta kebenaran. Jangan minta kejujuran.” Kuulang-ulang kalimat itu, seperti mantra. Wajah Nita terlihat waspada. Aku tidak peduli. Kalimat ini untuk diriku sendiri. Sebagai pengingat.
Hiks.
Kuhentikan gumamanku. Nita sedang terisak. Ketika mengikuti arah mata Nita, aku baru sadar, ternyata gelas teh di hadapanku sudah pecah. Ah, aku pasti menakutkan barusan. Kasihan Nita.
“Maaf. Aku kacau. Kumohon, dengarkan ceritaku sampai selesai. Aku tidak akan mengurangi satu pun kata. Dengarkan. Agar kau tahu alasanku. Agar kau memahami alasanku. Setelah itu, semoga kau mau mengerti bahwa yang kulakukan ini wajar.”
Nita tampak tak suka. Tapi aku tak peduli. Dia berhak tahu. Melihat Nita akhirnya mendengus pasrah, aku teringat dengusan Hardi kemarin. Bahkan dengusan mereka pun mirip.
“Tidak usah basa-basi. Di mana kau sembunyikan Nita?” Manis sekali. Apa dia tidak tahu jika Nita adalah perempuan yang sama tak tahu dirinya denganku? Apa yang dilihatnya dari Nita sehingga memilih bertahan? Lima bulan aku berkawan dengan Nita, ternyata dia juga bukan perempuan baik-baik.
“Nita, Nita, secinta itu kamu dengan dia, Hardi? Kau tidak tahu apa saja yang sudah dia lakukan selama lima bulan terakhir. Dia sudah—“
“Aku tak peduli, Sa! Dia istriku. Apa pun yang kau lakukan, kau tidak mungkin membuatku berpaling kepadamu.”
Aku kalap. Segera kulemparkan pertanyaan yang sebenarnya.
“Apa kenangan kita tidak ada artinya bagimu, Hardi? Sebenarnya, apa kau bahkan pernah mencintaiku?” Bahuku bergetar, menahan diri untuk tidak melempar benda-benda di hadapanku ke wajahnya.
“Kita tidak perlu membahas—“
“Jika kamu masih menolak untuk jujur, mungkin Nita tidak akan pernah kembali kepadamu.”
Aku bisa melihat amarah dari matanya. Gerahamnya mengeras. Tangannya mengepal. Aku tak peduli.
“Kau benar-benar ingin aku jujur?” ujarnya akhirnya.
“Iya.”
“Kau akan menyesal.”
“Coba saja.”
“Baiklah,” katanya, lalu menarik napas panjang. “Aku tidak pernah mencintaimu. Aku mendekatimu karena begitulah caraku mendapatkan uang, demi Nita. Aku bahkan rela mendekati wanita sepertimu. Kau cuma tambang uang bagiku, Sa. Tidak lebih. Itu kenyataannya.”
“Begitu ceritanya, Nita.
“Ternyata, Hardi mendekatiku hanya demi kamu. Hahaha, lucu, kan? Tambang emas, katanya. Tidak pernah mencintaiku, katanya. Dia tidak tahu betapa banyak pengorbananku. Dan dia malah berkorban untukmu? Cinta macam apa—” Kutahan diri agar tidak melanjutkan kalimat itu. Tidak setelah aku tahu kebenarannya.
“Sepertinya selama ini aku salah mantra. Seharusnya, aku mengulang-ulang, ‘Hardi suami Nita.’ Agar mantra itu tertanam di kepala. Selesai perkara. Tapi aku malah sibuk mencari kebenaran.
“Dan dia kira aku masih sebodoh dulu. Aku bersikap normal selama tiga hari karena Hardi dan orang-orangnya pasti masih mengikuti. Tapi lalu aku khawatir denganmu, Nita.” Kulirik botol-botol air yang kutinggalkan bersamanya, sebagian terguling. Dia pasti bersusah payah mengepaskan lubang kecil yang kubuat di mulutnya ke arah pipet itu. “Lebih dari itu, kau bisa mati. Kalau kau mati, aku tidak bisa menepati janji pada Hardi. Kuceritakan semua hal itu, agar kau mengetahui alasanku melakukan ini.”
Lebam pada pergelangan tangan dan kakinya tampak melebar. Sepertinya Nita sempat berusaha pergi. Padahal sudah kubilang percuma. Sekarang dia pasti harus menahan perih lecet akibat gesekan tali dan kulitnya. Lalu mataku menangkap cincin di jari manis kanannya.
“Nah, yang mana dulu menurutmu, Nit? Cincin pernikahan sepertinya masuk akal, kan?” Nita meronta lagi. Sia-sia tentu saja. “Sshh…, ssshhh…, jangan menangis. Kau dan Hardi sangat suka uang, bukan? Tenang saja, akan kuberikan harga yang pantas.”
***
Melihat wajah Hardi yang pias dari kejauhan, bagiku sudah cukup. Saatnya pergi. Masih banyak yang harus kulakukan.
Sepanjang perjalanan, aku menghibur diri dengan membayangkan ekspresi Hardi tadi. Denting cincin yang jatuh itu pasti tidak terlalu kencang sebenarnya. Kubayangkan, teredam oleh berat benda tempat ia masih menetap. Hanya gaungnya saja yang sedikit bertahan lebih lama.
Atau mungkin, bukan suara cincin beradu dengan lantai yang mengganggunya? Uangnya tidak mungkin kurang. Kuberi setidaknya tiga kali lipat dari harga cincin itu. Mungkin, ada sisa darah yang terpercik? Atau, jari manis Nita yang sudah tidak terlihat cantik lagi ketika tiba di sana?
Hardi sepatutnya tetap bersyukur. Sudah baik aku bersedia menepati janji kepadanya. Memang tidak sekaligus, tapi toh kelak akan kembali utuh. (*)
- Penting Tak Penting Perihal Teenlit - 26 October 2016
- Membaca Karya Fiksi Memang (Kadang) Tidak Berguna - 28 September 2016
- Imajinasi dalam Rungkup Teknik Berkisah dan Pesan yang Ingin Disampaikan - 12 June 2016