Penting Tak Penting Perihal Teenlit

reading-book-tree-fantasy-girl
ahdwallpaper.com

Selama kuliah, saya dan kawan-kawan dikenalkan dengan berbagai jenis karya sastra. Tapi, dalam berbagai mata kuliah, kami selalu bersinggungan dengan contoh karya-karya yang menampung pesan yang kompleks, yang memang kemudian mendapat pengakuan dunia. Sementara, teenlit—dulu kami sebut sebagai fiksi populer—hanya kami ketahui sepintas lalu. Sebatas tahu kalau jenis itu ada, tanpa pernah berusaha menjamahnya.

Jangan coba mengangkat jenis buku itu sebagai bahan skripsi, karena jika dijadikan bahan makalah saja akan muncul pertanyaan tak terlontar: Apakah sudah tidak ada buku lain yang bisa ditelaah kedalamannya?

Saya pun berpikir demikian. Dulu.

Saat ini, saya kira layak atau tidak layaknya sebuah karya dijadikan bahan penelitian akan terjawab dalam bagian Latar Belakang Penelitian. Jika alasannya memang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, maka tentu penelitian tersebut akan berterima.

***

Keluar dari area kampus dan menghadapi dunia sesungguhnya, saya menyadari bahwa justru novel remaja yang menguasai pasar. Dan kenyataannya, remaja Indonesia memang membutuhkan bacaan. Zaman saya, bacaan kami adalah Lupus. Cewek-cewek membaca, kemudian merasa Lupus dengan laku konyol dan cuek tapi baik itu adalah cowok idola, cowok-cowok membaca karena merasa perlu mengetahui cowok macam apa yang disukai lawan jenis mereka. Zaman sekarang, bisa jadi Lupus telah digantikan Dylan, atau mungkin Nathan(?).

Pada tingkatan kasar, saya kadang mengatakan bahwa buku A tidak layak terbit, buku B sebaiknya dibuang saja, buku C sungguh pemborosan kertas, dan sejenisnya. Tapi, benarkah demikian?

Tiap pembaca memiliki kebutuhan berbeda sesuai usia masing-masing. Memang ada jenis buku yang bisa dinikmati nyaris oleh tiap tingkatan usia, seperti The Giving Tree Shel Silverstein, Charlie dan Pabrik Cokelat Ajaib Road Dahl, atau Bagai Bumi Berhenti Berputar Clara Ng.

Namun, kebanyakan, tiap tingkatan usia memiliki kebutuhan asupan bacaan berbeda-beda. Remaja tentu membutuhkan bacaan yang bisa menuntun mereka untuk memahami pergolakan dalam diri yang seringnya sulit dimengerti. Bagaimana sebaiknya menghadapi kawan yang sedang marah, bagaimana menolak kawan yang selalu ingin menyontek jawaban kita, atau bagaimana mengatasi perasaan suka dengan orang yang disukai oleh kawan kita.

Hal-hal seperti itu tidak bisa ditanggapi sesederhana: ya kalau ada kawan marah, minta maaf. Bilang tidak pada kawan yang ingin menyontek, dan masih sekolah nggak usah suka-sukaan. Karena sebenarnya kadang mereka sudah tahu jawabannya, tapi banyak yang perlu mereka pertimbangkan untuk melakukan hal itu: Minta maaf artinya menurunkan gengsi, bilang tidak artinya dimusuhi, dan perasaan suka itu sulit sekali diabaikan. Melalui tokoh yang memiliki kisah serupa dengan mereka, para remaja akan merasa dimengerti untuk kemudian seperti tokoh itu, memberanikan diri mencoba melakukan solusi untuk masalah mereka sendiri.

Sebagian besar remaja sangat menyukai hal-hal yang baru dan dianggap seru. Dalam banyak hal, setidaknya ada dua kemungkinan sehingga kita tertarik dengan sesuatu. Karena kita merasa sangat nyaman, atau justru membuat kita penasaran. Demikian pula dengan kisah dalam buku. (Sebenarnya, demikian pula dengan proses kita jatuh cinta.)

Kadang, kita tertarik dengan buku yang sangat mewakili kehidupan atau kepribadian kita, dengan kata lain, kita banget. Misal, kita adalah orang yang menuntut sahabat-sahabat untuk berkata jujur, apa pun yang terjadi. Lalu setelah membaca Seperti Bintang Regina Feby, kita akan mengetahui bahwa persahabatan bukan hanya ditandai dengan itu.

Kadang, justru karena buku itu menghadirkan dunia yang sama sekali baru tapi kelihatannya menarik. Misal, selama ini kita berpikir bahwa cowok jaim itu menarik, tapi setelah membaca Fairish karya Esti Kinasih, kita akan berpikir bahwa ternyata menjadi diri sendiri di depan orang yang kita suka tidak buruk juga.

Kendala dalam teenlit adalah penulis yang bisa ngena dengan dunia itu adalah remaja itu sendiri. Sementara, umumnya, fokus remaja adalah pada perasaan mereka. Sehingga adegan yang dipilih pun yang benar menurut versi mereka. Karena itu, sebaiknya tetap perlu ada saringan dari kebebasan adegan-adegan tersebut sehingga tetap bisa dipertanggungjawabkan.

Saya pernah menemukan adegan ketika tokoh cowok memberikan uang kepada pengamen dan tokoh cewek melihatnya dengan mata berbinar sambil membatin betapa baik hati cowok yang mulai sering membuatnya berdebar-debar ini. Baiklah, itu berlebihan. Intinya, perbuatan memberi uang kepada pengamen akan dianggap baik oleh cewek, dan cowok akan merasa demikianlah salah satu cara membuat cewek tersepona.

Beberapa daerah, termasuk Jogja, sudah menetapkan larangan memberikan uang kepada pengemis di jalan raya. Utamanya setelah beberapa kali terbukti ada sindikat di belakangnya. Semakin memberi, bukan yang menadahkan tangan yang hidupnya sedikit lebih baik, tapi bos mereka. Sementara mereka—kebanyakan anak-anak—akan semakin sering disebar ke jalan karena ternyata keuntungan bisnis itu sangat menggiurkan. Tapi bukan rahasia jika hal ini pun banyak penentangnya karena sebagian orang berpikir bahwa memberi tidak perlu diiringi syak wasangka.

Saat itu, saya menyarankan agar adegan tersebut ditiadakan. Atau, diubah sedikit sehingga kesannya netral, dan biarkan pembaca sendiri yang menilai apakah perbuatan tersebut memang baik atau tidak. Dan penulis pun sepakat untuk mengubahnya sedikit dan menyerahkan sisa penilaian kepada pembaca.

Mungkin ada yang berpikir bahwa hal sepele seperti itu kok dibesar-besarkan. Padahal kadang kejadian besar datang dari hal yang disepelekan oleh sebagian besar orang. Contohnya, peristiwa sepele “kenalan” dengan menginjak sepatu baru kawan bisa memecah persahabatan. Atau, perayaan ulang tahun yang sepele, berujung pada kematian.

Bukan tidak mungkin sebuah teenlit akan menjadi bahan penelitian skripsi bukan hanya dari pendekatan objektif atau ekspresif, tapi juga bisa diulas dengan pendekatan pagmatik, dengan melihat efeknya kepada pembaca. Agar teenlit itu tak hanya menjadi penting bagi para pembacanya, tapi juga bermakna, alangkah baiknya jika yang sepele-sepele mulai mendapat perhatian.

Jika tidak diperhatikan oleh penulis dan pihak penerbit, siapa lagi?

Comments

  1. Arip Senjaya Reply

    Ini menarik untuk dibicarakan di kalangan akademik. Para mahasiswa sastra atau pendidikan bahasa dan sastra bisa melakukan penelitian teenlit dengan latar belakang masalah yang memadai. Tunjukan perhatian Anda yang sungguh-sungguh dalam latar belakang. Jangan memulai dengan pernyataan-pernyataan teoretik memang, sebab itu akan memaksakan pengalaman teori yang agak jauh dari teenlit ke arah teenlit.

  2. Rolyta Nur Utami Reply

    Saya sangat setuju mbak dengan tulisan Anda. Di kampus, seorang dosen juga oernah berkata demikian, bahwa jika kami–para mahasiswa/i–melakukan penelitian dengan menganut novel teenlit, maka jangan harap akan dinilai, lha dilirik pun enggak kayaknya, hihi. Rada kejam, ya?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!