Keladi Bercak Darah

MUNGKIN hutan kami bisa menyembunyikan jasad-jasad renik, binatang-binatang buruan yang mati dan tak tertangkap. Namun, hutan kami tak bisa menyembunyikan sebuah dosa. Pohon-pohon, rumput-rumput, semak-semak, serangga-serangga kecil, mereka semua melihat dosa itu. Dan Masri, mengendusnya sebagai bau busuk yang enggan lenyap dari indra penciuman. Mirip bangkai yang tersembunyi di suatu tempat dan urung temu wujudnya.

Dusun kami hanya sebuah dusun kecil di tepi hutan. Terpisah jauh dari desa utama dan kota kecamatan. Belum genap tiga tahun dimasuki listrik. Jalan-jalan belum beraspal dan saban pagi asap-asap mengepul tiada henti dari dapur-dapur atau pendiangan-pendiangan di kandang ternak. Anak-anak kecil pergi ke sekolah di pagi hari dengan berjalan kaki, melewati pematang yang dingin. Orang-orang dewasa pergi ke ladang untuk menyiangi rumput, memanen palawija, atau menyemai benih-benih kedelai dan jagung. Sebagian berangkat ke hutan untuk mencari kayu bakar, mengumpulkan daun-daun jati untuk bungkus tempe, serta bercocok tanam di lahan-lahan kosong yang entah milik siapa—yang membentang di beberapa titik di tengah hutan.

Hutan itu adalah poros kehidupan kami. Kami menyebutnya sebagai ‘hutan kami’. Sesekali orang-orang berseragam dari desa utama dan para mahasiswa berkunjung ke dusun kami untuk mencicipi udara segar. Sesekali pula mereka menjejakkan kaki ke hutan untuk melakukan penelitian keanekaragaman hayati, mencoba menemukan tanaman-tanaman langka atau binatang-binatang yang hampir punah. Mereka mampir ke beberapa warung kecil di tepi jalan yang menyediakan kopi dan pisang goreng. Mereka mengambil gambar di mana-mana dengan ponsel canggih mereka. Mereka meminta kami serta anak-anak kecil untuk berdiri di antara mereka, berfoto bersama mereka. Mereka mengucapkan terima kasih dan memelototi ponsel masing-masing dalam waktu yang lama.

***

Masri dan Marni, mereka belum lama menikah, umur anak mereka belum genap tiga tahun. Semua warga di dusun ini mengenal mereka sebagaimana mengenal warga-warga lain. Masri dan Marni punya warung kecil di pinggir jalan setapak menuju hutan sebagai sumber penghasilan hari-hari mereka. Warung kecilnya itu tak pernah sepi. Orang-orang yang pulang dari ladang atau hutan selalu mampir untuk menenggak limun atau makan siang dengan menu kupat rujak kangkung atau tahu kecap. Warung itu berdinding papan dengan bangku-bangku mengitari meja, membentuk huruf U yang sedikit lebar. Marni berada di tengah-tengah sebagai penjuru, pelayan, dan pusat perhatian.

Marni punya wajah manis yang alami, dan tubuhnya, meski tidak begitu penuh tapi lebih dari cukup untuk membuat para lelaki mematukkan mata tanpa kedip. Kami semua mengenal Marni sebagai bunga desa, sekaligus perempuan baik-baik. Itu sebelum para mahasiswa dari kota datang untuk menyelesaikan penelitian sekaligus tugas akhir kuliah mereka di dusun kami. Mereka menyebutnya KKN. Mereka semua kuliah di jurusan Perhutanan, dan dusun beserta hutan kami menjadi bahan utama penelitian mereka. Mereka akan tinggal di balai dusun selama kurang lebih sebulan. Mereka berbaur dengan warga, memberi kami pembinaan perihal cara terbaik mengurus ladang, memanfaatkan hutan, mempelajari aneka macam tumbuhan dengan cara baru dengan alat-alat canggih. Mengenalkan berbagai nama latin tumbuhan yang ada di hutan dan menjelaskan kegunaannya, khasiatnya, dan seterusnya.

Para mahasiswa itu kerap berlama-lama singgah di warung Marni. Dan salah satu dari mereka jatuh hati pada pemilik warung yang terang benderang sudah bersuami. Pemuda itu memang tampan, dan Marni, entah telah dibisiki setan mana, menyambut perasaan pemuda itu diam-diam. Mungkin tak banyak orang bisa membaca tatapan, termasuk Masri yang juga kerap bersibuk diri di bilik dapur. Masri hanya mulai mencium aroma busuk. Seperti aroma bangkai yang tercium sayup-sayup di tengah udara bersih. Mereka semua tak pernah sadar, seseorang mengawasi gerak-gerik mereka tanpa cela. Mengawasi. Tanpa cela.

Semenjak para mahasiswa itu datang, Marni kerap meminta Masri bertukar tugas untuk menjaga warung. Biasanya, menginjakkan kaki di hutan untuk segepok kayu bakar adalah tugas Masri, tapi beberapa waktu terakhir, Marni memaksa dengan alasan, sesekali perempuan juga perlu melakukan itu, merasakan jerih payah seperti para lelaki. Tak seorang pun akan menyangka, Marni begitu berani meleburkan diri dalam aroma busuk itu.

Pada awal-awal aroma busuk itu tercium, Masri melihat istrinya berangkat ke hutan bareng para mahasiswa itu serta beberapa warga lain. Masri belum menangkap tanda apa pun dari hal itu. Mereka hanya berangkat bareng, tak lebih. Begitu sampai di hutan, mereka akan menyebar menyelesaikan tugas masing-masing. Namun, lambat laun, begitu Marni pulang dari hutan, aroma busuk itu tercium semakin pekat. Aroma busuk itu juga tercium dari kerumunan mahasiswa yang mampir ke warungnya.

Semula, Masri tak memahami dengan baik apa arti itu semua. Aroma busuk, perubahan tingkah laku istrinya, kedatangan para mahasiswa itu. Hingga suatu pagi, saat kabut enggan pergi dari perkampungan kami, seorang perempuan mendatangi warungnya diam-diam. Akulah perempuan itu. Perempuan yang mencoba memantikkan benih api pagi itu. Sembunyi-sembunyi, kusampaikan pada Masri, bahwa istrinya kerap bermain mata dengan salah satu mahasiswa ketika berangkat ke hutan. Mereka berbicara dengan jarak yang sangat dekat. Bersenda gurau seperti sepasang kekasih.

Masri menamparku dan menuduhku sebagai pemfitnah keji. Ia bilang, aku ingin merusak rumah tangga mereka. Aku balas menampar Masri, kukatakan kepadanya bahwa aku memang masih menyimpan perasaan itu kepadanya, tapi aku cukup tahu diri untuk menjaga jarak dan merawat adat istiadat dusun kami.

“Apa kau tidak mencium aroma busuk itu akhir-akhir ini?” tegasku.

Masri menatapku, tanpa menerakan penjelasan. Dari raut wajahnya, aku tahu ia mulai mempertimbangkan ucapanku.

“Percayalah, siang ini ketika istrimu dan para mahasiswa itu datang dari hutan, kau akan mencium aroma busuk semakin tajam. Dan kau akan segera sadar bahwa seorang perempuan tak pernah salah membaca tatapan.”

Aku bergegas pergi meninggalkan warung yang masih sepi pembeli. Masri masih menatapku dari kejauhan. Aku menoleh sekilas, dan melihat tubuhnya bergerak cepat menutup pintu-pintu warung. Masih dari kejauhan, aku melihat Masri bergegas mengambil sabit di buritan warung, sabit yang biasa ia pakai untuk menebas ranting. Lantas ia menyusuri jalan setapak menuju hutan. Aku tak tahu apa rencana Masri, tapi aku mencoba menebak cerita selanjutnya. Dengan jarak yang cukup aman, aku memutar haluan dan membuntutinya menuju hutan.

Masri berjalan lurus tanpa menoleh, seperti banteng matador yang mengincar warna merah pada satu titik. Kukira Masri sedang mengincar sumber bau busuk yang berada di tengah hutan sana. Orang-orang tua di dusun kami mengatakan bahwa dosa itu berbau busuk, semakin besar dosa yang dilakukan seseorang, aroma busuk yang ditimbulkan akan semakin tajam menyengat. Kejadian-kejadian di dusun kami telah membuktikan pitawat itu. Kendati demikian, tak semua orang memercayainya, termasuk Marni. Menurutnya, dosa adalah sesuatu yang tak kasat mata. Dan aroma sering kali muncul dari sesuatu yang kasat mata, ada wujudnya. Marni mungkin lupa, bahwa kehidupan selalu berkutat di tengah yang wujud dan tak kasat mata.

Hutan kami, begitu kau memasukinya, kau akan merasakan dirimu memasuki dunia yang lain. Meski demikian, ia tak bisa menyembunyikan aroma dosa. Aku melihat Masri terus berjalan menembus jalan-jalan kecil yang memisahkan diri dari jalan-jalan besar, semakin lesap ke jantung hutan. Semakin lesap dengan aroma busuk yang khas.

Di kejauhan, suara binatang hutan melolong. Sayup-sayup suara kapak menghantam kayu juga terdengar, seperti latar suara yang disengaja. Masri tahu, ia semakin mendekati aroma busuk itu. Ia mulai paham apa yang sudah terjadi. Jauh di hadapannya di bawah sebuah pohon besar, pusat aroma busuk itu sedang berjibaku mengorek bangkai, persis belatung yang menari-nari menandaskan daging busuk. Mereka cukup cepat menyadari kehadiran Masri. Sehingga, ketika Masri berdiri tegap di hadapan mereka, mereka telah berdiri tegap dengan pakaian tertutup sempurna. Kendati demikian, mereka tak berhasil menyembunyikan kegugupan.

“Sudah lama sekali aku mencium bau busuk ini,” tegas Masri.

Marni dan pemuda itu berdiri gemetar, “Kami hanya mencari kayu bakar,” kilah Marni.

“Mencari kayu bakar tak menyebabkan aroma busuk, aku percaya itu,” Masri menelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan bergantian. Aku bisa menghirup aroma api dari kejauhan. Dari tubuh Masri. Dan ketika api muncul, urutan berikutnya adalah membakar sesuatu. Sebab, kerja api adalah memberangas sesuatu.

“Sudah berapa kali kalian melakukan itu?” desak Masri, dari kejauhan aku seperti melihat api berkobar-kobar di tubuhnya.

“Kami tak melakukan apa pun,” pemuda itu angkat suara, mencoba mengelak.

Masri mulai mengayun-ayunkan sabit di tangannya. Dan dua orang di depan sana semakin gentar. Mereka seperti menebak-nebak nasib selanjutnya.

Tanpa aba-aba, dua orang di depan sana berhamburan. Menggasak semak dan keladi hutan berwarna hijau berbintik merah gelap yang tumbuh di mana-mana. Masri berlari mengejar pemuda itu. Aku mengambil jalan lain, menyusul Marni. Tak berselang lama, aku mendengar jeritan pemuda itu menggema. Mirip lolongan rusa yang terkena panah. Aku tahu apa yang terjadi di seberang sana. Di tempat Masri berdiri.

Sementara, Marni terengah-engah dan menghentikan langkahnya begitu sadar bahwa yang mengejarnya di belakang bukanlah suaminya, melainkan seorang gadis yang pernah ia curangi dan pecundangi.

“Apa yang kau lakukan di sini,” pekik Marni, suaranya berisi ketakutan.

“Bangkai harus disingkirkan, Marni,” kataku.

“Carilah bantuan, Kang Masri mengejar anak kota itu sambil membawa sabit,” suara Marni berkejar-kejaran dengan deru napasnya.

“Kau mengambil Masri dariku, dan kemudian menyia-nyiakannya, ini tak adil bagiku.”

“Apa yang akan kau lakukan!” pekik Marni, aku tak bisa melukiskan perasaannya detik itu. Sebagaimana ia tak pernah bisa melukiskan perasaanku pada suatu masa.

Aku mendekati Marni, mengambil parang penebas kayu bakar yang kugantungkan dengan tali di belakang punggung. Dan dalam waktu sekejap, darah memercik, menghiasi daun-daun keladi yang bergeming. Daun keladi itu, kini jauh lebih cantik. Bercak-bercak merah timbul di antara bercak-bercak merah yang lain. Aku mengempas napas. Dan aroma busuk itu perlahan menguap ke udara, menubruk pucuk-pucuk pohon, lalu lenyap di langit.

Aroma busuk lain muncul. Aku tahu aroma busuk itu berasal dari tubuhku dan tubuh Masri di seberang sana. Kami tahu, menyingkirkan satu bangkai dengan memunculkan bangkai lain tidaklah benar. Tapi setidaknya, dari sudut pandangku, itu cukup adil.

Aku menyingkirkan tubuh Marni ke tempat yang hanya diketahui pohon-pohon dan semak keladi. Langit mengintip dari pucuk pohon. Dari ketinggian, aku yakin, aku tampak seperti serangga kecil yang memangsa serangga kecil lainnya untuk bertahan hidup. Itu tak begitu berarti.

Malam itu, kampung kami ribut oleh hilangnya seorang mahasiswa. Pada saat yang sama istri Masri juga belum kembali dari hutan. Wajah Masri sarat kepanikan. Mungkin ia telah mencari-cari istrinya di penjuru hutan dan hasilnya nihil. Percayalah, Masri! Aroma busuk memang harus dilenyapkan. Orang tua Marni menangis sesenggukan sambil menggendong cucunya yang rewel. Malam itu juga, dengan obor di tangan, warga dusun bersepakat menjelajah hutan. Aroma busuk masih tercium di antara kami. Dan tak seorang pun akan menyangka, apa yang sudah kami perbuat pagi jelang siang tadi. Kami semua tahu, sedikit banyak, semua orang pasti mengeluarkan bau busuk, sebab semua orang melakukan dosa. Sebelum mereka berangkat menuju hutan, mata Masri dan mataku bertumbukan. Ada rahasia muram yang tertidur di balik mata kami.

Jelang subuh, warga dan para mahasiswa itu keluar dari hutan dengan tangan kosong.

“Kami tak menemukan apa pun,” seru mereka, “tak ada tanda-tanda apa pun.”

Pagi harinya, beberapa mahasiswa itu kembali ke hutan, ditemani beberapa orang kota berseragam yang datang kemudian serta beberapa warga. Siang melata mereka balik dari hutan, masih dengan tangan kosong.

“Kami hanya menemukan beberapa bonggol keladi dengan daun penuh bercak darah yang hampir mengering,” kata salah satu mahasiswa.

“Itu bukan darah, itu hanya motif daun,” kata yang lain.

“Aku yakin itu darah!”

“Bukan!”***

Mashdar Zainal
Latest posts by Mashdar Zainal (see all)

Comments

  1. Nadine Reply

    Karyanya cukup menegangkan dan sangat menarik!

    • Isna Reply

      Ahaaa mungkin ini yang disebut ‘ketegangan’

  2. Sirajul Huda Reply

    Ini bagus. Ada perumpamaan-perumpamaan, seperti aroma bau busuk. Ada kejutan pada ending cerita, ternyata Marni telah mengambil cintanya dari Masri, tapi berakhir dengan pengabaian, malah perselingkuhan.
    Keren👍

  3. Misri Reply

    Wah, kalau bau busuk memang sulit hilang ya. Endingnya mata sabit juga yang berbicara, ya ya ya.

  4. Eka Madyasta Reply

    Hhmm… Bau busuk? Perumpamaan yang keren menurut saya.
    Endingnya juga tak terduga.

  5. ponakan marni Reply

    jancok, ngunu tok?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!