Puisi Alizar Tanjung

 

 

Pertanyaan yang Menjengkelkan

ke Seorang Petani Bawang Merah

 

izinkan aku mengajukan pertanyaan

sederhana, semisal kenapa hari ini kau

tidak turun ke ladang bawang merah

di garogok dan tanah kuniang.

 

kau hanya berbicara soal aku harus

sesering mungkin turun ke basis suara;

bertegur sapa, menampakkan gigi,

sedikit bicara, banyak mendengar,

dan, dan, dan, dan … “puah.”

 

aku hanya ingin mendengar ceritamu

tentang bawang merah yang sebentar

lagi siap panen, butuh diracun sekali lagi

sebelum benar-benar dicerabut

dari akar.

 

kau kata spanduk 1,5 x 1 m,

baliho 3 x 2 m, kartu nama,

kalender ukuran a3+, bendera,

sudah mesti dipasang.

 

aku urungkan pertanyaan berikutnya,

di layar gadgetku harga bawang merah

terus-menerus mencekik jantungmu.

sudah berbulan. sudah!

 

kau menepuk pundakku,

“besok kita pasang spanduk

di pertigaan kampung. Slogan

‘rakyat sejahtera’ sudah cocok.”

 

2023

 

 

Pemilu Ulang;

Tomat, Jagung, Markisa

 

“sebentar lagi pemilu ulang

digelar di berok nipah ini selepas

mantan tahanan politik itu banding

di mahkamah dan putusannya

dikabulkan,” ujarku ke isa.

 

“ya.”

“apa?”

isa menuangkan

teh hangat, menghidangkan seporsi

roti gantum, tiga butir markisa tua.

“petani di kab. solok ramai membuang

berpeti-peti tomat sehabis dipetik

ke dalam jurang,” ujar isa. isa duduk

di depanku, “kalau kurang manis

tambah gula sendiri.” kata isa, “harga

tomat longsor, petani rugi, memilih

membuangnya, biar saja dimakan

cacing, ulat.”

 

“sesuai aturan berlaku

setelah melewati masa tahanan,

tersangkut amplop saudara,

kembali mewakili suara nurani.”

 

“ya.”

“gimana?”

“terasa manisnya?”

Isa mengangsurkan roti gandum,

lekas cicipi roti gandumnya,

keburu jadi rezeki semut.

“baru-baru ini petani jagung meraung

dan meratap sansai di tengah ladang

sembari berguling-guling. harga gabah

jagung turun Rp2.500 per kilogram.”

 

isa menyodorkan tiga butir markisa,

meminta aku menyicipi agak sebutir.

“dulu. ah dulu. markisa juga

                                    begitu,”

ujar isa. aku berhenti bicara pemilu

ulang, isa berkata.

“ya.”

“oh!”

 

Juli 2024

 

 

 

 

 

 

 

 

Penyair yang Terusir

dari Sastra Halaman

Koran

 

setelah isa terbuang dari halaman

mingguan sastra koran, dia memilih

bekerja sebagai buruh cuci piring

di rumah makan padang di bintaro.

 

“kenapa isa?” kataku. “honor sudah

dibuang dari koran cetak!” ketusnya.

isa mencaci maki koran-koran ibukota

yang gulung tikar, koran-koran cetak

daerah yang pudur.

 

itu artinya isa, sudah tidak bisa lagi

mengirimkan sajak dengan nama samaran

sebagai alibi tambahan mencari honor

untuk biaya hidup di pedasnya ibukota.

 

“aku kirimkan sajak terbaikku di antara

sajak-sajak pilihan yang sudah aku kurasi

sendiri.” begitu cara isa meyakinkan

kurator sastra media cetak. honorium

buat sebulan hidup mengalir ke rekening.

aku ditraktir isa makan nasi padang

setiap honorium cair. dulu.

 

isa mengajakku ke dapur,

memberikan busa, sabun cuci piring.

“begini caraku mentraktir kau sekarang

kawan. sebentar lagi jatah makan siang.

makan sekenyang perut kau. Jangan kau

pikirkan juga koran cetak itu lagi.”

 

aku diam. agh, aku, benar-benar diam.

 

Juli 2024

 

 

Segala Sesuatu yang Meletup Tetiba

dalam Puisi pada Akhirnya Kehampaan

Maha Sempurna

 

api dalam diriku meletup-letup, hendak

membakar jantungku, biar tidak lagi ada

udara yang menggelembung serupa ular liar

dalam kepalaku.

 

“segala sesuatu yang meletup tetiba

dalam puisi pada akhirnya kehampaan

maha sempurna.”

 

maka dengan sabda tanpa ayat dan hadis

aku larang diriku menulis puisi dalam posisi

jiwa membara. terbakar oleh api diri sendiri

sungguh kesia-siaan paling dayus. kubunuh

segala hasrat nabi, rabbi, yahkat, ular

terselubung dalam diriku. oh puisiku.

 

Juli 2024

 

 

 

Alizar Tanjung
Latest posts by Alizar Tanjung (see all)

Comments

  1. siwi nd Reply

    tiba-tiba meletup
    eh tiba-tiba hampa

    eaaaa…

    keren banget puisinya

  2. Chaisyar Reply

    Senandung Pagi
    Mentari merekah di ufuk timur,
    Embun menari di ujung daun,
    Burung-burung bernyanyi syahdu,
    Menyambut hari penuh rindu.

    Langit biru tanpa cela,
    Gunung menjulang megah tak tergoyah,
    Di bawahnya hamparan hijau semesta,
    Tempat jiwa damai bercengkerama.

    Semesta mengajarkan cinta,
    Pada yang kecil dan besar di dunia,
    Mari kita rawat bersama,
    Hingga indahnya tak pernah sirna.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!