Pertanyaan yang Menjengkelkan
ke Seorang Petani Bawang Merah
izinkan aku mengajukan pertanyaan
sederhana, semisal kenapa hari ini kau
tidak turun ke ladang bawang merah
di garogok dan tanah kuniang.
kau hanya berbicara soal aku harus
sesering mungkin turun ke basis suara;
bertegur sapa, menampakkan gigi,
sedikit bicara, banyak mendengar,
dan, dan, dan, dan … “puah.”
aku hanya ingin mendengar ceritamu
tentang bawang merah yang sebentar
lagi siap panen, butuh diracun sekali lagi
sebelum benar-benar dicerabut
dari akar.
kau kata spanduk 1,5 x 1 m,
baliho 3 x 2 m, kartu nama,
kalender ukuran a3+, bendera,
sudah mesti dipasang.
aku urungkan pertanyaan berikutnya,
di layar gadgetku harga bawang merah
terus-menerus mencekik jantungmu.
sudah berbulan. sudah!
kau menepuk pundakku,
“besok kita pasang spanduk
di pertigaan kampung. Slogan
‘rakyat sejahtera’ sudah cocok.”
2023
Pemilu Ulang;
Tomat, Jagung, Markisa
“sebentar lagi pemilu ulang
digelar di berok nipah ini selepas
mantan tahanan politik itu banding
di mahkamah dan putusannya
dikabulkan,” ujarku ke isa.
“ya.”
“apa?”
isa menuangkan
teh hangat, menghidangkan seporsi
roti gantum, tiga butir markisa tua.
“petani di kab. solok ramai membuang
berpeti-peti tomat sehabis dipetik
ke dalam jurang,” ujar isa. isa duduk
di depanku, “kalau kurang manis
tambah gula sendiri.” kata isa, “harga
tomat longsor, petani rugi, memilih
membuangnya, biar saja dimakan
cacing, ulat.”
“sesuai aturan berlaku
setelah melewati masa tahanan,
tersangkut amplop saudara,
kembali mewakili suara nurani.”
“ya.”
“gimana?”
“terasa manisnya?”
Isa mengangsurkan roti gandum,
lekas cicipi roti gandumnya,
keburu jadi rezeki semut.
“baru-baru ini petani jagung meraung
dan meratap sansai di tengah ladang
sembari berguling-guling. harga gabah
jagung turun Rp2.500 per kilogram.”
isa menyodorkan tiga butir markisa,
meminta aku menyicipi agak sebutir.
“dulu. ah dulu. markisa juga
begitu,”
ujar isa. aku berhenti bicara pemilu
ulang, isa berkata.
“ya.”
“oh!”
Juli 2024
Penyair yang Terusir
dari Sastra Halaman
Koran
setelah isa terbuang dari halaman
mingguan sastra koran, dia memilih
bekerja sebagai buruh cuci piring
di rumah makan padang di bintaro.
“kenapa isa?” kataku. “honor sudah
dibuang dari koran cetak!” ketusnya.
isa mencaci maki koran-koran ibukota
yang gulung tikar, koran-koran cetak
daerah yang pudur.
itu artinya isa, sudah tidak bisa lagi
mengirimkan sajak dengan nama samaran
sebagai alibi tambahan mencari honor
untuk biaya hidup di pedasnya ibukota.
“aku kirimkan sajak terbaikku di antara
sajak-sajak pilihan yang sudah aku kurasi
sendiri.” begitu cara isa meyakinkan
kurator sastra media cetak. honorium
buat sebulan hidup mengalir ke rekening.
aku ditraktir isa makan nasi padang
setiap honorium cair. dulu.
isa mengajakku ke dapur,
memberikan busa, sabun cuci piring.
“begini caraku mentraktir kau sekarang
kawan. sebentar lagi jatah makan siang.
makan sekenyang perut kau. Jangan kau
pikirkan juga koran cetak itu lagi.”
aku diam. agh, aku, benar-benar diam.
Juli 2024
Segala Sesuatu yang Meletup Tetiba
dalam Puisi pada Akhirnya Kehampaan
Maha Sempurna
api dalam diriku meletup-letup, hendak
membakar jantungku, biar tidak lagi ada
udara yang menggelembung serupa ular liar
dalam kepalaku.
“segala sesuatu yang meletup tetiba
dalam puisi pada akhirnya kehampaan
maha sempurna.”
maka dengan sabda tanpa ayat dan hadis
aku larang diriku menulis puisi dalam posisi
jiwa membara. terbakar oleh api diri sendiri
sungguh kesia-siaan paling dayus. kubunuh
segala hasrat nabi, rabbi, yahkat, ular
terselubung dalam diriku. oh puisiku.
Juli 2024
- Puisi Alizar Tanjung - 26 November 2024
siwi nd
tiba-tiba meletup
eh tiba-tiba hampa
eaaaa…
keren banget puisinya
Chaisyar
Senandung Pagi
Mentari merekah di ufuk timur,
Embun menari di ujung daun,
Burung-burung bernyanyi syahdu,
Menyambut hari penuh rindu.
Langit biru tanpa cela,
Gunung menjulang megah tak tergoyah,
Di bawahnya hamparan hijau semesta,
Tempat jiwa damai bercengkerama.
Semesta mengajarkan cinta,
Pada yang kecil dan besar di dunia,
Mari kita rawat bersama,
Hingga indahnya tak pernah sirna.