
Baginya, waktu telah berhenti pada April 1994, hari Kamis tanggal 14, sekitar pukul dua siang. Waktu dan segala peristiwa yang terjadi setelah detik itu hanyalah ruang kosong, angkasa mimpi-mimpi abadi. Ringan dan tidak nyata.
Ketika itu, memori dalam kepalanya mengunci beberapa hal penting: teman-teman, guru-guru, ibunya, serta perasaan aneh. Pada saat bersamaan memorinya menyerap beberapa hal tak penting: seekor kucing oranye kesepian, bunga desember yang sudah lama tak berbunga, teras rumah tetangga, dan sebuah jendela terbuka yang memamerkan poster model-model potongan rambut. Belum lama tetangganya membuka kios cukur di tengah kampung dan menyebutnya sebagai salon. Tetangga lain, di samping rumah yang buka salon itu, juga memiliki salon bertumpuk-tumpuk, sebuah benda bangun ruang segi empat berwarna hitam yang bergetar-getar saat pemiliknya memutar lagu dangdut—paling sering diputar adalah lagu berjudul Aduh Buyung yang dinyanyikan Manis Manja Group.
Ia keluyuran untuk mengusir perasaan-perasaan aneh yang seperti mendung di atas kepala. Sebuah siang yang ganjil. Tak tampak batang hidung anak-anak lain. Anak-anak perempuan mungkin sedang tidur siang. Dan anak laki-laki mungkin sedang bermain gundu di pekarangan Pak Pardi yang luas. Yang jelas mereka tidak mengajaknya serta. Ia tak ahli bermain gundu. Ia tak ahli bermain layang-layang. Ia tak ahli bermain bola. Ia tak ahli banyak permainan anak laki-laki. Namun, ia pandai menggambar. Gambarnya bagus. Banyak anak perempuan suka melihatnya menggambar, memintanya menggambar, dan memberinya permen atau uang receh dari hasil gambar buatannya. Sebab hal-hal kecil semacam itu, ia lebih nyaman bermain dengan anak-anak perempuan. Ia merasa, anak-anak perempuan lebih memahami dirinya. Untuk berteman, ia tak perlu pandai bermain gundu atau layang-layang atau bola. Cukup pandai menggambar.
Namun, ketika ia bermain dengan anak-anak perempuan, teman-temannya yang tak pernah mau bermain dengannya memanggilnya ‘bencong’, dan seorang guru mengaji pernah menyumpahinya masuk neraka kalau ia terus-terusan bermain dengan anak perempuan. Guru berhitung di kelasnya bahkan pernah menabok pantatnya dengan sol sepatu gara-gara berada di tengah kerumunan anak perempuan pada jam istirahat. Katanya, itu berbahaya. Betapa rumitnya menjalin sebuah pertemanan. Ia lelah memikirkan hal-hal semacam itu.
Siang itu, sepulang sekolah, ia mencoba berkeliling untuk mendapatkan teman. Mungkin teman yang lain. Dan suara gendang lagu dangdut menarik perhatiannya. Ia berjalan menuju muasal suara, lalu ia melihat salah satu jendela tetangganya yang baru buka salon, terbuka. Lalu ia mengintip. Bisa ia lihat poster-poster model rambut terpancang di dinding. Ia duduk setengah melamun di sebuah pagar beton yang juga difungsikan sebagai tempat duduk. Dari kejauhan, ia melihat seorang anak lelaki yang mirip dirinya berjalan mendekat, dari ujung gang arah ke sungai.
Bocah yang kembar dengan dirinya itu mendekat, berada tepat di hadapannya. Dengan wajah datar dan suara kelewat sepi ia berujar, “Kamu tak pernah punya teman, tak ada yang mau berteman denganmu.”
“Aku memang butuh teman. Sebaiknya aku mencari anak-anak perempuan,” jawabnya.
“Tidak ada yang lebih baik selain berteman dengan diri sendiri. Bertemanlah dengan diriku.”
“Aku tak pernah melihatmu sebelumnya, tapi kamu mirip aku.”
“Kita memang tidak ada bedanya…”
Ia mulai tertawa-tawa. Melihat dirinya yang lain tanpa cermin adalah hal menakjubkan yang pernah ia alami.
Lalu kembarannya berkata lagi, “Kalau kamu tidak ada yang mengajak ngobrol, ngobrollah dengan dirimu sediri. Kalau kamu tidak punya teman bermain, bermainlah dengan dirimu sendiri. Banyak hal yang bisa kau lakukan dengan dirimu sendiri.”
Lalu bocah asing yang mirip dengannya itu membuka tangannya dan berkata, “Kalau kamu belum pernah mendapatkan pelukan seorang teman, kamu bisa memeluk dirimu sendiri.”
Lalu ia turun dan tempat duduknya dan tertawa-tawa, memeluk bocah yang mirip dirinya. Mereka berdua berjalan berangkulan menuju ujung gang, menuju sungai.
***
Ia tidak gila. Ia memang seperti itu.
Dunia hanya sebuah pasar. Orang-orang yang punya modal bisa menjual banyak hal. Orang-orang yang punya duit bisa membeli banyak hal. Dan orang yang tidak punya apa-apa bisa melihat banyak hal. Hanya melihat.
Ia janda. Ia miskin. Ia tidak cantik. Dan ia menua. Di dunia ini yang bisa ia lakukan hanya melihat-lihat. Melihat ribuan peristiwa yang tak lagi ia pedulikan. Melihat kebahagiaan orang. Melihat penderitaan orang. Melihat gelak tawa orang. Melihat isak tangis orang. Ia hanya agak kesulitan melihat dirinya sendiri, seperti berjalan pelan di hamparan kabut tebal yang menyelimuti nasibnya sendiri.
Hidup hanya ada dirinya dan anak semata wayangnya. Dua anak manusia yang sama-sama menua. Kini, usianya anaknya sudah 40 tahun. Kalau putranya baik-baik saja, mungkin sudah menikah dan menjadi ayah dari beberapa anak. Dan ia bisa menyebut dirinya nenek. Dengan keriput yang sedemikian melimpah, sebutan itu sangat pantas. Namun, pasar bernama kehidupan berkata lain. Ia benar-benar tak ingin terlibat, tapi juga tak ingin mati. Kalau ia mati, bagaimana nasib bocah tua itu?
Satu-satunya cara agar ia tidak terlibat dengan kehidupan pasar adalah dengan menjalani hidupnya sendiri, dengan caranya sendiri. Hanya berdua dengan bocah tua semata wayangnya.
Sebuah ladang peninggalan nenek moyang di perbatasan hutan adalah tempat yang paling tepat untuk mereka berdua. Selama tiga puluh tahun terakhir ia tinggal di gubuk itu. Ia tak merasa cocok tinggal kampung ramai bertetangga. Semenjak tiga puluh tahun silam, ia tak percaya lagi kepada orang-orang, kepada bocah-bocah cilik, kepada para tetangga, kepada guru ngaji, dan kepada siapa saja. Ia hanya percaya kepada dirinya, dan sebab itu ia berjanji akan menghabiskan sisa hidupnya dengan bocah tua itu di gubuk mereka. Hanya berdua. Sampai maut menjemput salah satu dari mereka atau keduanya sekaligus.
Dari tahun ke tahun ia selalu mengusir orang-orang yang datang membawa sumbangan atau beras atau bahan makanan. Mereka mungkin ada maksud buruk. Beras itu mungkin diracun. Bahan makanan itu mungkin diguna-guna. Sepetak ladang miliknya telah cukup memberinya makan. Ia tanami padi di musim hujan dan singkong atau kacang di musim lain. Ia menyemainya sendiri, memanennya sendiri, mengolahnya sendiri. Dan restu Tuhan datang dengan sebuah bukti: selama tiga puluh tahun terakhir ia tak pernah ditimpa sakit parah. Bocah tua itu juga demikian. Sesekali ia demam dan batuk dan diare, tapi itu semua bisa diatasi dalam hitungan hari atau paling lambat hitungan pekan.
Sungai, hutan, dan ladang adalah tetangga paling karib dan welas asih yang pernah ia jumpai seumur-umur. Anaknya yang kepala empat itu senang bermain di ladang, di sungai, dan di hutan. Tak perlu anak manusia lain untuk membuatnya ceria. Itu benar.
Orang-orang mengatakan, anak kecil tak mungkin berbohong. Namun, ia tak percaya. Anak kecil, selama ia anak manusia dan telah pandai berbicara dan menyaksikan banyak hal, ia akan pandai berbohong dan melakukan perbuatan-perbuatan kurang pantas.
Suatu malam, nyaris dini hari, kira-kira tiga puluh tahun silam, anaknya mengendap-endap ke pelukannya dengan mata seperti terpejam. Ia mengira anaknya sedang mengigau sebab mimpi buruk. Malam itu anaknya meleter, bahwa di kamar mandi sekolah usai jam istirahat pelajaran olahraga, empat orang teman lelakinya membawanya masuk ke kamar mandi, melucuti pakaiannya untuk melihat apakah sebenarnya ia laki-laki atau perempuan. Ia tidak berani melaporkan kejadian itu kepada wali kelas sebab temannya mengancam akan menusuknya dengan pensil runcing. Selain itu, wali kelasnya juga pernah menanyakan hal yang sama, persis yang dilakukan teman-temannya, “Sebenarnya kamu laki-laki apa perempuan?”
Itu pertanyaan konyol, jelas-jelas ia laki-laki, meski ia tak benar-benar tahu apakah bergaul dengan perempuan lama-lama akan membuatnya jadi perempuan.
Atas pertanyaan itulah, keempat temannya melucuti pakaiannya, memeriksa kemaluannya, dan melakukan hal-hal lain yang sangat aneh. Sehari berselang setelah kejadian itu, pada siang bolong anaknya keluar rumah sambil mesam-mesem. Bocah itu bilang mau keluar cari teman buat main. Hari itu anaknya tidak pulang. Bocah itu menghilang selama satu hari dan ditemukan di sebuah lubang di bawah rumpun bambu di tepi sungai. Linglung. Tangannya kaku mendekap tubuhnya sendiri seperti mendekap seseorang.
Sejak hari itu, ia tak pernah percaya kepada anak manusia. Orang-orang menyebut mereka sebagai sepasang gelandangan gila. Anak beranak yang bertetangga dengan hantu-hantu hutan. Para orang tua mencatut nama-nama mereka untuk menakut-nakuti anak yang badung.
Ia tak peduli. Ia yakin, menjadi hantu hutan jauh lebih baik ketimbang menjadi manusia.***
Ngalam, 2024
- Keladi Bercak Darah - 22 November 2024
- Hantu Hutan - 26 July 2024
- Hakim di Dapur - 26 January 2024
Dali Budaya
Cerita yang benar-benar mendekap kalbu. Another great story!
Ika
Nangis baca ini… Deep banget pesan moralnya
ayaadna
Campur aduk rasanya habis baca cerita ini…
DWI FIKRIYAH
sederhana tapi biki ndredeg dan geram sekaligus
Taufan
Cerpennya indah sekali, terima kasih sudah menuliskannya.
Alfa
ceritanya emang sederhana, tapi kritiknya bukan maen. sering terjadi adanya upaya sedikti-dikit maskulin. dikit-dikit jantan. dikit-dikit pria. bahkan mungkin jika ada laki-laki yang bersuara perempuan justru diledek perempuan. padahal secara fisik sudah jelas laki-laki. realita yang menyayat hati.
Abdi Galih
Isi cerita yang baru, bagus, tidak klise. Keren.