
Di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami disebutkan bahwa Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani memiliki seorang murid yang lebih memilih ‘uzlah ketimbang hidup berbaur dengan masyarakat. Ketika sedang ‘uzlah itu, ada seekor ular yang berbisa sedang mendekat kepadanya.
Murid sang syaikh itu mengambil ular berbisa dengan tangannya. Ular itu kemudian menggigitnya. Dia membuang ular itu. Orang-orang memberi tahu kepada Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani tentang kejadian tersebut. Beliau mengutus mereka untuk menjemput sang murid ke hadapan syaikh.
Ketika telah datang di hadapannya, Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani berkata kepada si murid: “Kenapa kau mengambil ular dengan tangannya hingga ia menggigitmu?” Jawab si murid itu: “Wahai tuanku, wahai junjunganku. Engkau berkata bahwa selain Allah Ta’ala itu tidak ada. Karena itu, kuambil ular tersebut dengan tanganku.”
Beliau menanggapi: “Kalau kau menyaksikan Allah Ta’ala mengenakan baju keperkasaanNya, larilah engkau dariNya, jangan mendekat kepadaNya. Jika tidak, ya seperti ini jadinya.” Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani meletakkan tangannya di bawah kepala si murid. Beliau kemudian mendudukkannya.
Beliau berkata kepada muridnya itu: “Setelah ini, jangan kau lakukan lagi hal seperti itu. Ini adalah su’ul adab. Jangan kau lakukan. Hingga kau mengenalNya dengan sebaik mungkin.” Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani lantas mendoakan muridnya itu. Beliau meniup lukanya. Dan Allah Ta’ala menyembuhkan bekas gigitan ular itu.
Sedemikian berpengaruh kata-kata Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani kepada si murid itu. Ketika beliau mengatakan bahwa apa pun yang selain Allah Ta’ala itu tidak ada, apa pun yang selain hadiratNya itu tidak bermanfaat dan tidak bermudarat, si murid berani mengambil ular berbisa dengan tangannya.
Dengan berpegangan kepada kalimat “sakti” tersebut, si murid tidak gentar kepada apa pun. Termasuk kepada ular yang sangat berbisa sekali pun. Akan tetapi ketika ular berbisa itu akhirnya menggigitnya, dia sadar bahwa manfaat dan mudarat itu adalah milik Allah Ta’ala, bukan milik siapa pun dari kalangan makhluk.
Termasuk mudarat yang telah disemburkan oleh ular berbisa tersebut. Dengan demikian, sah bagi hadiratNya untuk menggunakan apa pun sebagai sarana untuk bermanfaat dan bermudarat kepada siapa pun. Jadi dengan demikian, kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari mudarat yang ditimbulkan oleh hadiratNya.
Raja Namrud, sang musuh Tuhan, musuh Nabi Ibrahim, mati oleh sesuatu yang sangat lemah dan kecil. Yaitu, nyamuk. Seekor nyamuk masuk ke dalam hidungnya, menciptakan “keributan” di dalam hidung. Tangan Namrud menggaruknya, nyamuk itu tidak keluar, digaruk lagi, tetap tidak keluar, terus begitu, akhirnya dia mati karena menggaruk hidungnya.
Sebaliknya, Nabi Muhammad Saw, di dalam pelariannya dari Mekkah ke Madinah, masuk ke dalam sebuah goa. Itulah Goa Tsur yang berada di puncak Gunung Tsur di Mekkah. Di dalam goa yang sangat sakral itu, beliau hanya dilindungi oleh makhluk yang amat lemah. Yaitu, dilindungi oleh burung dara dan laba-laba. Burung dara itu mengerami telurnya di mulut goa. Sedangkan laba-laba menciptakan sarangnya di mulut goa juga. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Qasim al-Basyar bin Yasin - 4 July 2025
- Syaikh Abu ‘Ali asy-Syabuyi al-Marwazi - 27 June 2025
- SYAIKH ABU ‘ALI AD-DAQQAQ #3 - 20 June 2025