Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir

Beliau adalah ‘Ali bin Ja’far bin Dawud Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir. Beliau dari Sirwan al-Maghrib. Beliau adalah murid dari Syaikh as-Sirwani al-Kabir. Beliau bersahabat dengan Syaikh ‘Ali al-Khawwash di Mesir. Beliau tinggal di Mekkah dan wafat di sana di umurnya yang keseratus dua puluh empat.

Beliau juga merupakan murid dari Syaikh Mu’adz al-Mesri. Beliau sempat menyaksikan Syaikh Abubakar al-Mawazini, Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Abubakar asy-Syibli, Syaikh Abu al-Khair at-Tinati, Syaikh Abubakar al-Kattani, Syaikh Abu ‘Ali bin al-Katib, Syaikh Abubakar al-Mesri dan lain sebagainya.

Di dalam Kitab Tarikh ash-Shufiyyah, Syaikh as-Sullami menulis bahwa Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir merupakan sufi yang sangat terkenal pada masanya di Tanah Haram Mekkah, juga sebagai satu-satunya sufi yang fokusnya kepada Allah Ta’ala tak perlu dipertanyakan lagi.

Di akhir umurnya, beliau tidak bisa berdiri, senantiasa duduk. Ketika seorang muadzdzin telah mengatakan qad qamat ash-shalat, beliau segera berdiri karena takut tidak bisa. Kemudian beliau shalat. Lantas duduk lagi sebagaimana semula. Beliau tetap duduk seperti itu ketika berada di dalam sema dan tarian.

Syaikh ‘Ammu dan Syaikh ‘Abbas: keduanya sama-sama bangga dengan pemikiran Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir. Keduanya pasti bangga dengan pemikirannya itu. Karena bangga dengan pemikirannya itu bagi keduanya adalah fardu, tidak boleh tidak. Itu adalah wajib. Harus.

Ditanyakan kepada Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir, apakah tasawuf itu? Beliau memberikan jawaban bahwa tasawuf adalah sendirian dan menyendiri, bukan apa pun yang lain. Ketika seseorang sudah sadar bahwa dia sendirian dan senantiasa menyendiri maka dia telah masuk dunia tasawuf.

Ketika dia merasa sendirian dan selalu menyendiri, maka di saat itulah dia menemukan kebersamaan dengan Allah Ta’ala. Bahkan yang ada hanyalah hadiratNya. Langit dan bumi dan yang dikandung oleh keduanya bahkan terhitung tidak ada. Sebab, segala sesuatu yang ada dan sebelumnya tidak ada, tercatat tak ada.

Hanya Allah Ta’ala yang ada. Sebab, dari dulunya dulu cuma hadiratNya yang ada, satu-satunya. Tidak ada siapa atau apa pun yang lain. “Allah Mahaada, tidak ada apa pun yang lain yang bersama hadiratNya. Dia, sekarang, sebagaimana yang dulu-dulu juga, tetap sendiri.” Sabda Nabi Muhammad Saw.

Berarti kebersamaan dengan segala sesuatu yang lain mutlak tidak ada. Atau kalau disebut ada, itu mutlak telah diperankan oleh segala sesuatu yang lain. Yang ada di balik peran itu pastilah Allah Ta’ala, bukan siapa atau apa pun lain. Berarti isi hidup ini hanyalah Allah Ta’ala dan realitas kehendakNya.

Karena Allah Ta’ala itu Mahabesar dan Mahaagung, tentu pengejawantahan dari hadiratNya itu bisa dibilang sangat kecil, walaupun umat manusia belum mengetahui batas-batasnya. Sebab, segala yang di langit dan yang di bumi, dari yang kecil sampai terbesar, semua itu tidak bisa dikatakan apa pun kecuali sebagai pengejawantahan hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!