Puisi Ng. Lilis Suryani

 

Fobia

 

                                       Aku liur anjing liar, bapak

 

Hari itu, kuucapkan salam sebagaimana bapak mengajarkannya

Pelafalan yang aneh saat kuucap, kucecap

“Berdoalah” sepercik cahaya di dalam dinding tanah

Menginginkan getar doamu

 

Bapak, sekelabat kematian selalu siaga

Meski dua anjing penjaga

Melarang, menghadang di setiap sisi rumah

Ada yang lebih lihai dari badai

Apakah ia melolong di hadapanmu?

 

Kuantar bapak ke tujuan

Tujuan paling sempit, gelap, lembab

Mengapa secuil tujuan itu, perlu bapak perjuangkan

Hingga betah menggelayut dalam kantung mata

Mengeras di sisi kanan dan kiri keningmu?

 

Namun, kali ini aku yang hendak mengingatkan

Jika tiba di antaranya ia yang bersenjatakan gada

Jawablah dengan saksama, sekhusyuk bapak melatihnya

Pada sepotong malam yang dikepung angin gunung

 

Jangan sekali-kali, terpikir jawaban yang culas

Karena nama ia bagiku bagai bunga sepatu

Di tepi jurang cadas

 

Jangan pernah menggunakan jawaban

Dariku yang tremor tiap merindukanmu

Sungguh benar ia lebih besar dari pabrik-pabrik

Lebih cepat dari kendaraan yang kita impikan

Ia telah menciptakan ketakutan lebih dulu dalam diriku

Dibandingkan mencatat namaku pada daun yang menguning

Lantas gugur sewaktu-waktu

 

Ia penggiling sementara aku daging

 

Sleman, 2023

 

 

Kayu Bakar Terlalu Basah

 

Apa yang kau ingat dari kotak korek api yang aku kirimkan padamu tempo hari?

Gambar burung perenjak di sekeliling gemintang tengadah seolah mencari api?

Padahal di dalamnya orang-orang membalur fosfor di serpih kayu, di kuncup itu

Kilau langit November bagai letupan sekeping-sekeping yang dikata surga

Namun, itu hanya perumpamaan. Tidak ada yang menyala. Satu dua nyawa

Dibalur lumpur, meresapi sisa hujan mengguyur di perbukitan. Membengkak

 

Lantas nyalakan perapian. Hujan di luar terkenal begitu basah

Kita sudah sama-sama tahu.

 

Sleman, 2024

 

 

 

Bahasa Ibu II

 

Ambil saja jantung beku ini

Dari sekian banyak bagian

Tinggal ini yang paling hangat

Aku biar berdebar hambar

 

Satu-satunya bagian yang kuingat

Kemarahan harus terus dilampiaskan

Pada daging yang dinamai kelemahan

Jadi, biar kusajikan dengan darah dan nanah

 

Tulang tengkorak dan garis mata

Berulang retak dan membengkak

Berharap sendirinya rekat dan reda

Tapi, dinding tak boleh pucat

Lantai tak boleh bersih dari keringat

Benturkan lagi, benturkan, benturkan

Kepal tangamu memang tidak sekeras batu

 

Satu-satunya pelajaran yang kudapat

Angkuh kegagahan harus beranak-pinak

Jadi, biar kubesarkan dengan vodka dan xanax

 

Kata ibu: penyayang

Pernah gagal menerjemahkan amarah

 

Sleman, 2024

 

 

Kecintaan

 

Ketika lahir, seorang bayi menangis. Suara pertama dari gumpalan daging lembek

Dalam pejam matanya tidak ada gerak dunia terekam, teringat serpihannya

Bayi tidak mengetahui debu-debu di luar gedung dapat meredupkan cahaya mata

 

Jika seandainya kita hanya bercinta dan melucuti segala ambisi, kekuasaan, dan

Menihilkan keinginan terlihat gagah dan besar

Tidak seorang pun akan menggambar belenggu di tembok

Tidak sejengkal pun tanah dibalur sengketa atau diretak-ratakan

Kita hanya akan terbangun dari cinta semalam dan bergegas mandi bersama

 

Jika seandainya kita tidak terbiasa mengakui sepetak tanah sebagai kepemilikan

Atau membangun teritori pada sejarah

Bukankah pagar pembatas tidak perlu adanya

 

Sleman, 2024

Ng. Lilis Suryani
Latest posts by Ng. Lilis Suryani (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!