Fobia
Aku liur anjing liar, bapak
Hari itu, kuucapkan salam sebagaimana bapak mengajarkannya
Pelafalan yang aneh saat kuucap, kucecap
“Berdoalah” sepercik cahaya di dalam dinding tanah
Menginginkan getar doamu
Bapak, sekelabat kematian selalu siaga
Meski dua anjing penjaga
Melarang, menghadang di setiap sisi rumah
Ada yang lebih lihai dari badai
Apakah ia melolong di hadapanmu?
Kuantar bapak ke tujuan
Tujuan paling sempit, gelap, lembab
Mengapa secuil tujuan itu, perlu bapak perjuangkan
Hingga betah menggelayut dalam kantung mata
Mengeras di sisi kanan dan kiri keningmu?
Namun, kali ini aku yang hendak mengingatkan
Jika tiba di antaranya ia yang bersenjatakan gada
Jawablah dengan saksama, sekhusyuk bapak melatihnya
Pada sepotong malam yang dikepung angin gunung
Jangan sekali-kali, terpikir jawaban yang culas
Karena nama ia bagiku bagai bunga sepatu
Di tepi jurang cadas
Jangan pernah menggunakan jawaban
Dariku yang tremor tiap merindukanmu
Sungguh benar ia lebih besar dari pabrik-pabrik
Lebih cepat dari kendaraan yang kita impikan
Ia telah menciptakan ketakutan lebih dulu dalam diriku
Dibandingkan mencatat namaku pada daun yang menguning
Lantas gugur sewaktu-waktu
Ia penggiling sementara aku daging
Sleman, 2023
Kayu Bakar Terlalu Basah
Apa yang kau ingat dari kotak korek api yang aku kirimkan padamu tempo hari?
Gambar burung perenjak di sekeliling gemintang tengadah seolah mencari api?
Padahal di dalamnya orang-orang membalur fosfor di serpih kayu, di kuncup itu
Kilau langit November bagai letupan sekeping-sekeping yang dikata surga
Namun, itu hanya perumpamaan. Tidak ada yang menyala. Satu dua nyawa
Dibalur lumpur, meresapi sisa hujan mengguyur di perbukitan. Membengkak
Lantas nyalakan perapian. Hujan di luar terkenal begitu basah
Kita sudah sama-sama tahu.
Sleman, 2024
Bahasa Ibu II
Ambil saja jantung beku ini
Dari sekian banyak bagian
Tinggal ini yang paling hangat
Aku biar berdebar hambar
Satu-satunya bagian yang kuingat
Kemarahan harus terus dilampiaskan
Pada daging yang dinamai kelemahan
Jadi, biar kusajikan dengan darah dan nanah
Tulang tengkorak dan garis mata
Berulang retak dan membengkak
Berharap sendirinya rekat dan reda
Tapi, dinding tak boleh pucat
Lantai tak boleh bersih dari keringat
Benturkan lagi, benturkan, benturkan
Kepal tangamu memang tidak sekeras batu
Satu-satunya pelajaran yang kudapat
Angkuh kegagahan harus beranak-pinak
Jadi, biar kubesarkan dengan vodka dan xanax
Kata ibu: penyayang
Pernah gagal menerjemahkan amarah
Sleman, 2024
Kecintaan
Ketika lahir, seorang bayi menangis. Suara pertama dari gumpalan daging lembek
Dalam pejam matanya tidak ada gerak dunia terekam, teringat serpihannya
Bayi tidak mengetahui debu-debu di luar gedung dapat meredupkan cahaya mata
Jika seandainya kita hanya bercinta dan melucuti segala ambisi, kekuasaan, dan
Menihilkan keinginan terlihat gagah dan besar
Tidak seorang pun akan menggambar belenggu di tembok
Tidak sejengkal pun tanah dibalur sengketa atau diretak-ratakan
Kita hanya akan terbangun dari cinta semalam dan bergegas mandi bersama
Jika seandainya kita tidak terbiasa mengakui sepetak tanah sebagai kepemilikan
Atau membangun teritori pada sejarah
Bukankah pagar pembatas tidak perlu adanya
Sleman, 2024
- Puisi Ng. Lilis Suryani - 19 November 2024
- Puisi-Puisi Ng. Lilis Suryani; Tak Pernah Kulihat Kau Sesepi Itu - 1 October 2019