PIEFOPIA, DALAM TIGA BABAK

Aku memejamkan mata, berpura-pura tidur. Tak tahan melihat pasangan itu—sepasang pasien yang saling menyuapi bubur di bangsal bedah kelas Melati ini. Sementara itu, di ranjang seberang, inilah aku, yang tak istimewa untuk dilihat, terbebani oleh kenangan tentang kekasihku yang malang dan sialan—di mana dia sekarang? Dua belas jam yang lalu, kami seharusnya mati bersama—dengan lengan terborgol dan terbaring dikelilingi pihak berwajib dan sejumlah jurnalis.

Untuk memahami kekacauan ini, aku membagi ingatanku menjadi tiga babak, sekalian menyaring beberapa detail untuk bapak-bapak polisi yang duduk di kedua sisi ranjangku—saat pertama kali kami bersama, tadi malam, dan siang ini pukul satu.

Babak 1. Pertemuan Pertama.

Kami pertama kali bertemu di pertemuan tertutup—sebuah kelompok pendukung pecandu alkohol yang telah berjalan selama lima tahun terakhir, membantu beberapa anggotanya untuk benar-benar berhenti minum. Pertemuan diadakan dua minggu sekali, baik di gedung L atau gedung B di Jakarta. Di pertemuan-pertemuan ini, anggota baru, anggota lama, mereka yang sudah pulih, anggota keluarga yang mendukung, atau bahkan mereka yang hadir untuk orang yang telah tiada, akan memperkenalkan diri. Ini adalah kunjungan pertamaku, dan aku berkata kepada semua orang, “Hai, aku Pief, dan hari ini aku hanya ingin menjadi pendengar,” berharap giliranku berbicara akan berlalu begitu saja dan jatuh kepada orang lain. Aku tak terlalu ingin berbagi kisah hidupku yang berantakan. Aku datang untuk terguncang keluar dari kebiasaan burukku dengan menyaksikan cacat hidup orang lain. Orang-orang terus membicarakan diri mereka sendiri hingga terhenti ketika seorang gadis masuk dengan tiba-tiba tanpa salam, bergerak seperti figur tanah liat kaku. Selama sesi cerita bersama sepuluh dari kami, dia bertindak seperti penonton. Akhirnya aku merasakan kecanggungan itu—sekali pun aku tidak ikut berbagi cerita—yakni rasanya menemukan seseorang duduk di dekatku, seperti manekin di etalase toko pakaian, memata-matai tidak hanya kesialanku hari itu, namun cara berjalan dan berbicaraku. Seseorang sepertiku—tapi lebih parah! Apa yang dia lakukan di sini? Nah, sejak pertama bertemu itulah, aku merasa tertarik kepadanya.

Pada sesi pertemuan kedua, dia datang terlambat lagi. Namun kali ini, saat kami hendak bertepuk tangan atas keberanian seorang anggota baru, dia bertingkah lebih aneh lagi; dia menonton video ‘Tomorrow’s World’ di YouTube. Kenneth Williams, pembawa acara tamu, mengoceh tentang kelebihan sebuah jam tangan seperti seorang penjual yang tercekik oleh dasinya. Perempuan itu tertawa terbahak-bahak dan aku tersadar bahwa satu-satunya hal yang lucu bagiku adalah waktu yang kami semua buang. Tawanya menggema hingga seseorang berteriak memintanya berperilaku baik, dan tentu saja dia membalas berteriak, memicu konfrontasi yang semudah bernapas. Kalau aku tak salah ingat, pertemuan itu dibubarkan dan aku tak pernah melihatnya lagi selama berbulan-bulan.

Pertemuan ketiga terjadi saat aku sedang bersantai di taman, menyesap sebotol tuak. Ia muncul entah dari mana, terlihat agak kelelahan, dan meminta seteguk dari minumanku. Kami mengobrol tentang hal-hal masuk akal, seperti bahwa ia sudah mulai minum-minum sejak usia sebelas, hingga entah bagaimana aku menyebutkan bahwa aku adalah jurnalis film untuk media daring dan dari leluconnya yang santai tentang The Blue Bouquet karya Oktavio Paz—betapa suramnya malam kami yang sangat cocok dengan cerita pendek itu—aku menyadari bahwa ia adalah seorang pekerja seks murahan yang gemar membaca buku. Malam itu terasa menyenangkan hingga ia menyarankan aku untuk menginap di tempatnya dengan setengah harga, berkata bahwa di luar terlalu dingin dan dia khawatir akan keselamatanku; lebih baik tidur di tempat hangat daripada bertemu pencuri bermata biru. Kamu punya mobil untuk mengantarku pulang, tanyanya, mataku hitam pekat—bukan biru—dan ya, aku punya mobil. Jadi, aku setuju.

Kami terjaga sampai fajar, berbicara tentang berbagai hal subtil. Pekerjaan, pendapatan tahunan, status hidup, orientasi seksual—semua yang dia katakan cocok denganku. Dia bahkan bilang sudah tertarik kepadaku sejak pertama kali bertemu. Aku tersanjung dia mengingatku. Aku juga menyukainya, tetapi aku memutuskan hanya tidur di sampingnya tanpa melampaui batas. Kami seperti dua bayi di unit neonatal. Telanjang, tapi tanpa ketegangan seksual, hanya keinginan untuk saling memahami dunia masing-masing. Dia memutar musik mambo di ponselnya untuk menghibur tiga tanaman sukulen kecil di kamarnya saat aku bertanya kenapa dia berhenti datang ke pertemuan kelompok dukungan. Dia bilang makanan di sana mengerikan, terlalu asin.

Dari satu pagi ke pagi berikutnya, aku mendapati diriku terbangun di sampingnya secara rutin. Aku mulai sering menginap di kamar sewanya, mulai mengenali aroma asam badannya, bau samponya, sabun mandinya, yang samar yang menempel di seprai, bantal, dan sentuhan intim. Ini satu dari banyak momen privat yang terjadi di kamar kecil ini, yang lebih mirip sudut baca. Aku terbiasa bergerak di antara lima atau enam tumpukan buku setinggi tubuhku, kadang tersebar atau kadang-kadang dibongkar untuk digunakan sebagai kursi dan meja-meja darurat.

Koleksi literaturnya—Borges, Ana Maria Shua, dan sejenisnya, yang tidak dibeda-bedakan apakah itu realisme magis, humor gelap, fantasi filosofis, eksperimental spekulatif—mengisi hampir setengah ruangan. Aku tak memiliki masalah besar, Anda tahu, karena kesenangan sejatiku datang dari jam-jam yang kami habiskan untuk berbincang. Meski dari semuanya ada tiga pertanyaan yang tak akan pernah ia jawab. Pertama, adalah saat aku bertanya mengapa ia tidak berhenti dari pekerjaannya dan menjadi penulis penuh waktu. Yang kedua tentang masa lalunya—apa yang membawanya ke kebiasaan minum berat dan, seperti yang sudah kuduga, ketergantungan rutinnya pada antidepresan. Yang ketiga adalah saat aku bertanya mengapa ia gelisah dalam kencan kami di sebuah kafe kecil di ujung jalan, sekali pun makanannya enak, kegelisahan yang juga kudapati saat kami menonton Ida di situs streaming ilegal. Ia malah balik bertanya kepadaku, seolah-olah akulah yang tenggelam dalam pikiranku sendiri, apakah menurutku Ida akan kembali ke biara setelah berhubungan seks atau apakah kematian Wanda entah bagaimana menghantuinya. Kami akhirnya berakhir dengan meringkuk berdua di bawah selimut, atau menyelinap keluar untuk merokok, atau saling berpura-pura tidak mendengarkan.

Aku tak ingin membuatnya lelah, dan mungkin ketegangan seksual telah digantikan oleh sesuatu yang lebih dalam. Rasanya seperti kami terlahir kembali, menemukan koneksi yang lebih pribadi, pertemuan pikiran, jenis ikatan yang hanya kau temui sekali seumur hidup, bila beruntung. Memiliki takdir seperti itu adalah hal luar biasa, dan tak bisa dipungkiri, sangat seksi.

Selain dari itu semua, kami berbicara bebas, mengutuk dunia, dan saling memberi nasihat yang tak diminta. Betapa indahnya. Kurasa justru ketidaksempurnaanlah yang benar-benar mengikat dua manusia menjadi satu. Jadi, itu dia—aku menginginkannya. Aku-meng-ingin-kan-nya. Alih-alih membayangkannya sebagai Wanda atau Ida atau karakter fiksi lain yang hanya muncul dalam beberapa adegan, aku ingin dia menjadi pasangan hidupku. Setelah dua minggu penuh kebahagiaan, tanpa banyak tanya, dia setuju. Kami makin tenggelam dalam kamar tidur itu, tak tertarik lagi untuk mengunjungi tempat-tempat lain yang menjanjikan solusi, terutama untuk masalah minum kami—yang tidak berubah sama sekali—karena mata kami tak hanya memerah karena alkohol, tapi juga rasa senang tiada hentinya sehingga malam-malam kami nyaris dilewati tanpa tidur. Kami menghabiskan waktu berjam-jam membicarakan segala hal dari hal-hal remeh hingga beban berat yang kami tanggung, lalu beralih ke topik konyol seperti mengapa kancil dalam cerita anak-anak selalu berakhir di ladang seorang petani, meski pada suatu malam yang terasa berat, kancil dalam cerita kamilah yang terjebak dalam jebakan pemburu.

Babak 2. Semalam.

Kini kita beralih ke babak kedua. Tadi malam, pukul satu dini hari. Ia memutar berbagai lagu latin di ponselnya dengan volume keras, Aku khawatir tetangga akan mengeluh, tapi ia meyakinkanku bahwa penghuni di sebelah-menyebelah adalah rekan kerjanya yang sedang shift malam. Dia? Libur—kepalanya bocor, aku mengantarkannya ke klinik murah, dan ia mendapatkan lima jahitan beserta painkiller. Malam itu, aku menjaganya dan dia tiba-tiba mencari kenyamanan dengan meminta izin untuk menciumku—sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya seolah-seolah hari ini dia bangun dan menemukanku sebagai si orang asing. Aku bertanya mengapa tiba-tiba menjadi formal, tapi dia malah menari, bergoyang mengikuti irama musik. Dengan canggung, kami berputar seperti gasing, melupakan semua aturan dasar tari berpasangan.

Aku juga minta izin dari kamu untuk mati duluan, katanya. Pikiran itu juga pernah terlintas di benakku. Aku ingin mati untuk melarikan diri dari dunia yang kacau ini. Tapi kalau kau mati, aku bagaimana? Kalau aku yang mati lebih dulu, apakah kau akan diam saja? Aku mengelus luka di kepalanya. Seorang tukang las yang menidurinya memukulinya beberapa jam lalu. Aku bertanya, apakah aku harus membunuh seseorang—tentu saja lelaki sialan itu, bukan perempuan yang kucintai ini. Tidak, jawabnya. Aku berkata lagi, baiklah, jadilah penulis, menikahlah denganku, berhentilah menjadi … untuk apa, dia memotong, kita tak bisa mengandalkan siapa pun bahkan diri kita sendiri. Aku memeluknya erat dan bertanya, kamu takut menjadi penulis yang depresi? Banyak penulis seperti itu yang karyanya tetap hidup. Dia menyergapku dengan jawabannya, o, sayang, mereka semua bunuh diri; Sylvia Plath, Virginia Woolf, David Foster Wallace, Anne Sexton, Hemingway, Van Gogh—tunggu, nama terakhir itu kami sepakati untuk dihilangkan karena dia pelukis, bukan penulis, dan dalam film yang pernah kuliput dan kutulis, dia sebenarnya mati terkena peluru nyasar—bagaimana dengan Kafka? Aku juga menyebut Roberto Bolano dengan nada bertanya. Tidak, katanya, keduanya mati sakit. Kalau maksudmu karya mereka terkenal setelah mereka tiada maka ya, itu benar.

Kami menangis, dalam keheningan, tanpa isak, dalam kabut mabuk kami, duduk berdua sambil membelai tubuh masing-masing; di punggungnya, ada tato Marilyn Monroe yang tertawa, dan di lengan kiriku, gambar yang seharusnya menyerupai naga tapi tak terlihat seperti naga sama sekali. Rasanya seolah kami berada di persimpangan jalan tanpa arah yang jelas. Apakah pertemuan kami akan sia-sia dalam kehidupan yang rapuh ini? Dia berkata ada toko serba ada di dekat sini yang buka dua puluh empat jam. Pergilah. Cari-sesuatu-yang-mematikan. Aku akan menunggumu selama dua puluh menit. Kita adalah orang-orang yang tidak berfungsi di dunia ini jadi mari kita mati bersama.

Beberapa menit kemudian, aku sudah berdiri seperti orang tersesat di depan petugas kasir. Aku ragu, tak yakin apa cara tercepat untuk mengakhiri hidup. Mungkin itu adalah krisis kepercayaan atau sekadar anggapan bodoh bahwa seorang pahlawan akan muncul di jalan kami. Pada akhirnya aku hanya membeli beberapa cemilan murah. Terhuyung kembali ke tempatnya, aku berusaha mempertahankan harapan itu. Aku merasa seperti bukan Ida yang kehilangan arah, melainkan Ida yang di akhir film meyakinkan diri bahwa dia telah menemukan jalan pulang. Aku adalah Ida yang menghibur pacarku, kembali tidak dengan tangan kosong. Aku adalah Ida yang ini, aku bukan Ida yang itu … tanganku mengetuk pintu kamarnya … tiba-tiba tujuh pria bertubuh kekar menyerbu dari belakang tepat di ketukanku yang ketiga.

Mereka menerobos masuk ke kamar sewa, menggeledah setiap sudut sementara pacarku berdiri membeku, seperti orang yang melihatku untuk pertama kalinya. Mereka merampas ranselku dan mengocoknya hingga isinya tumpah berhamburan; di antara itu semua, ada pipa ganja kosong. Aku bersumpah bahwa aku tak pernah menyentuh benda sialan itu. Ketika mereka menanyai pacarku—ia jelas telah melihat camilan yang kupegang di tanganku untuknya—ia bilang bahwa pipa itu milikku.

Babak 3. Siang Ini Pukul Satu.

Ia dibawa lebih dulu ke kantor polisi, sementara aku, yang merasa sedikit longgar dari pengawasan, mencoba melarikan diri. Ini membawa kita semua ke babak ketiga dari hari malang yang kualami. Aku tak perlu banyak bicara tentang pelarian yang gagal itu. Betisku berdenyut karena terkena tembakan, kepalaku masih berputar dari kekacauan yang terjadi. Makin banyak petugas berseragam yang mengawasiku, duduk di sekitarku, bersama teman-teman jurnalisku yang lain. Aku berharap bisa mengatakan bahwa aku hanya akan menjadi pendengar saja saat diinterogasi. Tapi mustahil. Lebih baik aku tetap menutup mataku lebih lama. Daripada terpaksa bicara karena kudengar mereka mengatakan hal-hal lain seperti … kami juga butuh urinnya, jadi kami menunggunya bangun … dia pingsan setelah aku menyebutkan bahwa istrinya sedang dalam perjalanan kemari.

Seseorang bahkan menyebut-nyebut nama pacarku, si pengadu sialan itu, tapi aku tak bisa benar-benar memastikan siapa [].

Dyta Utari
Latest posts by Dyta Utari (see all)

Comments

  1. Wahyu Reply

    Sangat sangat sangat menarik.

  2. Dea Ratih astuti Reply

    Ceritanya begitu menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!