AKAR SEBATANG POHON

 Lewat Maya, mantan istrinya, Johan mengajak Dewa bertemu. Dia berkata demikian tanpa rencana, karena awalnya Johan hanya ingin bicara dengan Maya.

“Ayah akan menjemputmu,” kata Johan.

“Ya,” sahut Dewa.

Johan mengutuki diri karena dia berpikir seharusnya mengajak Dewa bertemu di suatu tempat saja. Johan tidak yakin sanggup bertemu dengan Maya, apalagi suami baru perempuan itu, tetapi dia sudah terlanjur berjanji.

Sekarang, Johan bersiap mandi.

Ini hari Minggu dan waktu menunjukkan pukul tujuh pagi; akan banyak waktu yang bisa Johan habiskan bersama Dewa. Namun, dalam pikiran Johan saat ini bukan ke mana dia akan mengajak Dewa pergi, tetapi bagaimana nanti jika bertemu Maya. Berbagai skenario bermain di kepalanya.

Seperti yang Johan pikirkan, setelah memencet bel, pintu dibuka oleh Maya.

“Aku mau menjemput Dewa,” kata Johan.

“Ya,” sahut Maya, lalu menutup pintu. Johan masih berdiri di depan pintu, sedang menimbang apakah sebaiknya duduk di kursi teras itu atau tetap di sana, sambil berpikir apa yang akan dikatakannya nanti ketika Maya mengantarkan anaknya keluar.

Ketika Johan memutuskan untuk duduk dulu di kursi teras, pintu sudah terbuka lagi. Dewa keluar dan menutup pintu; Maya tidak mengantarkannya.

Johan hendak mengatakan sesuatu kepada Maya; dia berpikir bahwa seharusnya dia berbasa-basi kepada Maya dengan mengatakan akan pergi ke mana atau mengatakan apa saja selain hanya pergi begitu saja. Namun, Maya tidak keluar lagi dan Dewa sudah sampai di samping motor Johan. Johan menyusul ke sana.

Segala skenario di kepala Johan ketika mandi tadi tidak ada yang berjalan.

Motor Johan melaju; pelan.

“Kita akan ke mana?” tanya Johan.

“Terserah Ayah.”

“Ke pantai?”

“Boleh.”

Pantai ramai pengunjung. Sejak dulu tempat ini selalu ramai pengunjung. Dari pagi sampai malam; benar, sampai malam pun masih ramai. Johan ingat, pada suatu malam ketika dia dan Maya pacaran di pantai ini dan hujan deras mengguyur disertai angin kencang menderu. Maya ketakutan, tetapi Johan memeluknya dan mereka tidak berteduh, melainkan membiarkan hujan membasahi sekujur tubuh. Seolah mencoba menciptakan hangat, bibir mereka saling memagut.

Mengapa aku mengingat itu? Johan memarahi diri sendiri. Mereka sudah bercerai dan Maya sudah menikah lagi dengan orang lain.

Dewa duduk pada sebuah bangku kayu. Johan duduk di sampingnya. Mereka memandangi laut. Di kejauhan tampak kapal bergoyang-goyang. Kapal itu membuat Johan teringat pernikahannya; pernikahan sering diumpamakan sebagai kapal.

Ketika perceraian itu terjadi, kapalnya hancur. Namun, sekarang, kapal yang sudah hancur itu telah Johan perbaiki dan dia berpikir telah siap untuk mengangkut penumpang lagi, tetapi ternyata Maya sudah pindah ke kapal lain. Dewa ikut bersama Maya di kapal lain itu.

“Bagaimana sekolahmu?” tanya Johan.

“Dewa tidak bersekolah.”

“Tidak sekolah? Kamu tidak melanjutkan ke SMP?”

“Tidak.”

“Seharusnya ibumu menyekolahkanmu. Dia punya uang, punya gaji, apalagi sekarang ….”

“Dewa menolak melanjutkan sekolah.”

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa.”

“Kamu seharusnya sekolah.”

“Ya.”

“Ayah menyesal.”

“Kenapa?”

“Ayah dan ibumu ….”

“Sudah lima tahun, Yah.”

“Dia baik-baik saja?”

“Ayah tadi bertemu.”

“Tidak lama. Ayah tidak tahu dia sudah menikah lagi. Ayah hanya ingin tahu apakah dia baik-baik saja setelah ….”

“Ya. Ibu baik-baik saja.”

“Suaminya?”

“Juga baik-baik saja.”

“Apakah dia baik kepadamu?”

“Tidak masalah.”

“Dia bukan ayahmu. Meskipun dia orang baik, dia bukan ayahmu. Seharusnya memang ….”

“Dewa tahu, Yah.”

Sudah lima tahun.

Ketika pertengkaran mereka memuncak dan perceraian menjadi keputusan, Johan merasa harga dirinya terluka. Dia tahu, sangat tahu, bahwa akar masalahnya adalah ekspektasi Maya atas rumah tangga mereka. Dan, ekspektasi Maya tercipta karena perubahan hidup.

Johan di-PHK dari pekerjaannya di pabrik tekstil yang bangkrut dan tidak berapa lama Maya diangkat menjadi pegawai negeri di kantor tempatnya mengabdi. Situasi sungsang. Johan tidak bekerja, sedangkan karier Maya menapak naik dari honorer menjadi pegawai tetap dengan gaji lebih besar. Sejak itu, di mata Johan, Maya memandang rendah pada Johan. Sejak itu dunia Maya tidak Johan kenali. Sejak itu pertengkaran demi pertengkaran seperti letupan petasan renteng.

Ketika sekarang mengetahui Maya telah menikah lagi, Johan mencurigai bahwa sejak sebelum perceraian Maya memang telah merencanakan ini. Bahwa perempuan itu memang sudah tidak menginginkannya. Bahwa dirinya memang sudah tidak mempunyai nilai di mata Maya karena hanya menjadi benalu tanpa penghasilan.

Awan bergerak di langit. Angin bertiup menggoyang ranting-ranting cemara. Ombak berdebur. Suara bocah kecil bercericau.

“Dulu kamu betah berlama-lama berendam di pantai,” kata Johan.

“Dewa ingat.”

“Ibumu selalu berteriak-teriak jangan jauh-jauh.”

“Ya.”

“Padahal Ayah menjagamu.”

“Dewa percaya pada Ayah.”

“Ibumu tidak. Ibumu tidak mempercayai Ayah. Mungkin memang sejak awal ….”

“Ibu pencemas.”

“Dia selalu mencemaskan apa pun, ya?”

“Sepertinya begitu.”

“Sampai sekarang masih begitu?”

“Masih.”

“Suaminya tahu?”

“Sepertinya tidak masalah.”

Johan menolehi Dewa. “Kamu tampak dewasa. Dulu ….”

“Aku empat belas tahun.”

“Tapi bicaramu seperti sudah dewasa. Dulu kamu sering menangis di sekolah, dan selalu Ayah yang harus datang. Ibumu tidak mau; malu sama guru-guru, katanya.”

“Dewa tidak mau mengingat sekolah itu.”

“Kamu lulus?”

“Teman-teman sekolah Dewa semuanya jahat. Guru-guru juga.”

“Itu pasti tidak benar.”

“Ayah tidak tahu.”

“Ayah juga pernah sekolah.”

Menjelang siang, Johan mengajak Dewa ke kedai makan. Langit kelabu. Gerimis turun ketika mereka sampai di kedai. Lalu hujan turun lebat.

Dia memesan ikan kakap bakar yang besar untuk mereka berdua. Johan ingat, bertahun-tahun lalu di kedai ini pula dia dan Maya sering makan selepas dari pantai. Kebiasaan itu masih berlanjut ketika Dewa masih kecil. Lalu, badai ekonomi menghantam dan Johan di-PHK sehingga mereka tidak pernah lagi ke mari.

Kalau saja Maya ingat apa yang Johan ingat, demikian pikiran Johan, mantan istrinya itu dulu tidak akan selalu menyulut pertengkaran, dan mereka tidak perlu bercerai. Semua hanya soal waktu; seperti panas, seperti hujan. Adakalanya panas, ada kalanya hujan.

Setelah perceraian itu, Johan pergi. Rumah itu milik Maya, pemberian orang tuanya, dan Johan tidak punya hak apa pun. Pada kenyataannya, di Pekalongan ini Johan hanya seorang perantauan yang menemukan tambatan pada Maya. Tidak ada sanak saudara.

Namun, Johan sudah tercerabut dari kampung halamannya dan dia tidak mau kembali ke sana, terlebih sebagai pecundang. Johan memilih ke Jakarta, menjadi gelandangan dari satu kediaman teman ke kediaman teman yang lain. Dia bekerja apa saja, bukan untuk mendapatkan uang, tetapi lebih untuk mengobati luka harga dirinya.

Sekarang Johan sudah mendapatkan pekerjaan lagi, pekerjaan tetap, di Jakarta, dan sudah menemukan irama hidupnya lagi. Dan dia ingat Maya.

Lima tahun.

Johan pulang ke Pekalongan dan mendapati Maya sudah menikah dengan orang lain. Lalu Johan, tanpa rencana, berkata bahwa dia ingin bertemu Dewa, anaknya.

Lima tahun. Tubuh Dewa sekarang lebih kurus dan lebih tinggi. Selain itu, Johan tidak tahu apa lagi yang berubah pada diri Dewa. Semenjak kehidupannya kacau, mereka jarang bicara. Atau mungkin sejak sebelum itu. Johan harus mengakui bahwa dirinya tidak terlalu dekat dengan Dewa. Johan menduga Maya memang sejak awal menanamkan jarak untuknya dan Dewa.

“Ayah sekarang tinggal di Jakarta,” kata Johan.

“Dewa tahu.”

“Kamu mau ikut Ayah ke Jakarta?”

“Entahlah.”

“Nanti Ayah yang akan bilang pada ibumu.”

“Dewa akan memikirkannya.”

“Kamu nanti sekolah lagi di Jakarta.”

“Tidak.”

“Kamu harus sekolah. Kerja. Laki-laki dihargai karena pekerjaannya. Lihat bagaimana ibumu memperlakukan Ayah. Dia ….”

“Ayah, Dewa tidak mau mendengar itu lagi.”

“Tapi kamu harus sekolah. Kamu akan tahu ketika kelak menjadi orang tua.”

“Dewa tidak mau menjadi orang tua.”

“Kamu akan menjadi orang tua pada akhirnya. Umurmu bertambah, mau tidak mau akan begitu. Dan, kamu akan bertemu perempuan, menikah, lalu ….”

“Dewa tidak mau.”

“Percaya sama Ayah, di sana teman-teman sekolahmu tidak akan ada yang jahat. Guru-guru juga. Semuanya baik-baik.”

“Ya.”

Pesanan telah dihidangkan.  

“Jika ibumu bekerja, kamu di rumah sama siapa?”

“Sendiri.”

“Suami ibumu tidak punya anak?”

“Punya; di Kedungwuni.”

“Kenapa kalian tidak tinggal bersama?”

“Dewa tidak mau.”

“Ibumu?”

“Kadang di sana.”

“Dia memang tidak becus menjadi Ibu. Dia memilih tinggal ….”

Dewa anak semata wayang. Calon adiknya mati sebelum lahir dan rahim Maya diangkat karena tumor. Meskipun Maya sudah menikah lagi, Johan tahu Dewa tidak akan memiliki adik.

Dewa makan dengan pelan. Piring Johan sudah habis, tetapi nasi di piring Dewa masih separuh. Johan menyulut rokok dan pikirannya mengembara selagi menunggu anaknya selesai makan.

Setelah Dewa selesai dengan makannya, Johan mengajaknya ke mal, tetapi Dewa tidak mau.

“Sekarang masih jam dua belas. Ayah akan kembali ke Jakarta jam tiga sore.”

“Dewa pulang saja.”

“Apa kamu ada acara lain?”

“Tidak.”

“Kita berkeliling dulu. Ayah lama tidak melihat kota ini.”

“Tidak berubah.”

“Ya, sepertinya begitu.”

Mereka menuju pulang. Dalam perjalanan, pikiran Johan belum lepas dari Maya.

“Apa nanti kita bisa bicara bertiga dengan ibumu?”

“Ini hari Minggu.”

“Ya.”

“Ibu selalu pergi bersama ayah itu dan anak-anaknya.”

“Ke mana?”

“Tamasya.”

“Kamu tidak ikut?”

“Aku tidak mau.”

Di selatan alun-alun, sebuah pohon ambruk. Sebagian akarnya tampak mencuat. Pohon tumbang itu menghalangi jalan, membuat macet. Dewa bertanya mengapa pohon itu bisa tumbang.

“Akarnya rapuh,” sahut Johan.

“Akar pohon kecil juga bisa rapuh?”

“Bisa; misalnya terkena hama.”

“Bisa disembuhkan?”

“Entahlah.”

“Dicerabut saja?”

“Ya, lebih baik begitu. Kalau besar hanya akan roboh seperti pohon itu.”

“Dewa punya pohon di rumah. Ayah mau lihat?”

“Lain waktu saja.”

“Akarnya rapuh; lain waktu mungkin sudah mati.”

“Tanam lagi pohon baru.”

“Ya; lebih baik begitu.”

Dua hari setelah Johan kembali ke Jakarta, Dewa menelepon Johan dengan ponsel ibunya hanya untuk mengabarkan akan mencerabut pohon kecilnya yang akarnya rapuh. Ya; lebih baik begitu, kata Johan. Sehari kemudian, Johan kembali ke Pekalongan untuk melayat anaknya.

***

Aveus Har
Latest posts by Aveus Har (see all)

Comments

  1. Sekala Reply

    Such a … 😧

  2. Sri Bandiyah Reply

    Johan kamu tuh!!!

  3. Anisa Reply

    Haaaaa, 🙁

  4. Lanida Reply

    Plot twist yg sangat hmmm🙃

  5. rori Reply

    sebagai penyintas broken home juga, dari paragraf pertama ini cerita udah maen bogem aja. *menggelengkan kepala*

  6. Dewi Hastuti Reply

    Masya Allah. Saya kok seolah lagi bercermin diri saat membaca cerpen ini ya…😥😥😥

  7. Sabirna hayati Reply

    intinya ketika orang tua memilih berpisah, maka yang jadi korban adalah anaknya.
    Dalam rumah tangga, anak tidak akan pernah salah, yang salah sudah pasti orang tua.

  8. Putra Reply

    Judul: Sebatas yang Terlihat

    Di sebuah kota kecil yang indah, hiduplah seorang gadis muda bernama Sarah. Sarah tinggal bersama orangtuanya di sebuah rumah mungil di pinggir kota. Mereka hidup sederhana namun bahagia. Sarah adalah gadis yang ceria, penuh semangat, dan selalu menyebarkan kebahagiaan ke sekitarnya.

    Setiap pagi, Sarah selalu pergi ke taman untuk berlari, menikmati keindahan alam dan menikmati udara segar. Dia senang berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya dan selalu tersenyum kepada siapa pun yang dia temui. Sarah adalah gadis yang penuh kasih sayang, dia sering membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan.

    Suatu hari, ketika Sarah sedang berlari di taman, dia melihat seorang pria yang duduk sendirian di bangku taman. Pria itu terlihat sedih dan terlihat memikirkan sesuatu yang dalam. Sarah merasa iba melihatnya, lalu dia mendekati pria itu dan duduk di sebelahnya.

    “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Sarah ramah.

    Pria itu menoleh ke arah Sarah dan tersenyum tipis. “Tidak, terima kasih, Nak. Saya hanya sedang memikirkan beberapa hal.”

    Sarah mengangguk mengerti, lalu dia duduk di sebelah pria itu dalam keheningan. Mereka duduk bersama-sama menikmati keindahan taman sampai matahari terbenam. Pria itu menceritakan sepotong kisah hidupnya kepada Sarah. Sarah mendengarkan dengan penuh perhatian, dia merasa terharu mendengar kisah pria itu.

    Setelah itu, mereka saling berpamitan dan pergi meninggalkan taman. Sejak hari itu, Sarah sering bertemu dengan pria itu di taman. Mereka sering bercerita, berbagi cerita hidup, dan saling mendukung satu sama lain. Pria itu adalah seorang seniman yang sedang merasa kehilangan inspirasi. Sarah adalah sumber inspirasi baru bagi pria itu.

    Sementara itu, di tengah kota yang ramai, hiduplah seorang lelaki bernama Alex. Alex adalah seorang yang bekerja di sebuah perusahaan besar, dia memiliki segalanya yang diinginkan oleh kebanyakan orang. Namun, di balik kekayaan dan kesuksesannya, Alex merasa kesepian dan tidak bahagia. Dia merasa tidak ada yang bisa mengerti dirinya, bahkan keluarganya sendiri.

    Suatu hari, Alex bertemu dengan Sarah di sebuah acara amal. Sarah yang selalu ceria dan penuh semangat, berhasil membuat hati Alex terasa hangat. Mereka berdua berbicara banyak dan akhirnya menghabiskan waktu bersama. Alex merasa ada kebahagiaan yang hilang dalam dirinya, dan Sarah berhasil menemukan kembali percikan kebahagiaan itu.

    Mereka berdua saling jatuh cinta. Sarah membawa kebahagiaan yang Alex cari-cari, sementara Alex membawa kejutan yang Sarah tidak pernah bayangkan sebelumnya. Mereka membicarakan banyak hal, termasuk tentang impian mereka. Sarah bercerita tentang rencananya untuk membuka lembaga amal untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung. Sementara Alex bercerita tentang keinginannya untuk meninggalkan pekerjaannya dan membuka restoran sendiri.

    Namun, takdir berkata lain, sebuah kejadian tak terduga mengubah hidup Sarah dan Alex selamanya. Saat sedang dalam perjalanan pulang dari acara amal, mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Sarah terluka parah, sedangkan Alex hanya mengalami luka ringan. Sarah harus menjalani operasi besar dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk pulih.

    Setelah kecelakaan itu, Alex merasa sangat bersalah dan merasa tidak ada artinya lagi menjalani hidup tanpa Sarah. Dia merasa kehilangan dan tidak tahu bagaimana cara mengatasi perasaan itu. Dia berusaha memberikan yang terbaik untuk Sarah selama masa pemulihannya, namun Sarah tetap merasa kesepian dan putus asa.

    Di sisi lain, pria yang sering bertemu dengan Sarah di taman juga merasakan kehilangan. Sarah adalah sumber inspirasi yang membuatnya kembali percaya pada dirinya sebagai seorang seniman. Dia merasa kehilangan dan tidak bisa berkarya lagi tanpa kehadiran Sarah.

    Ketika Sarah mulai pulih dari kecelakaan, dia merasakan sebuah tekanan dalam dirinya. Dia merasa harus berterima kasih pada Alex yang telah berusaha sebaik mungkin untuknya. Namun, di sisi lain, Sarah merasa ada yang tidak lengkap dalam hidupnya. Dia merindukan kebersamaan, kebahagiaan, dan cinta yang hanya dia temukan bersama pria itu.

    Sarah lalu membuat keputusan yang sulit, dia berkata jujur kepada Alex bahwa dia tidak bisa melanjutkan hubungan mereka. Sarah berkata bahwa dia masih mencintai Alex, namun hatinya memilih untuk bersama dengan pria yang dia temui di taman. Ini adalah keputusan yang sangat sulit bagi Sarah, namun dia yakin bahwa dia harus mengikuti hatinya.

    Tak lama setelah keputusan itu, Sarah bertemu dengan pria itu di taman. Mereka saling memandang mata, dan akhirnya pria itu menyatakan perasaannya kepada Sarah. Sarah terharu, dia juga menyatakan perasaannya kepada pria itu. Mereka berdua merasa bahwa hanya bersama-sama, mereka bisa menyempurnakan kehidupan masing-masing.

    Pada akhirnya, Sarah bersama pria itu memutuskan untuk pergi meninggalkan kota kecil itu. Mereka berencana untuk membangun kehidupan baru di sebuah kota besar, di mana mereka dapat mewujudkan impian masing-masing. Mereka memulai petualangan baru dengan penuh semangat, cinta, dan kebahagiaan.

    Di sisi lain, Alex merasa kehilangan yang sangat dalam. Dia merasa bahwa kebahagiaannya telah dicuri oleh seorang pria lain. Dia merasa tidak ada artinya lagi menjalani hidup tanpa Sarah. Namun, dengan waktu, Alex akhirnya menemukan kembali arti kebahagiaan dalam hidupnya. Dia memutuskan untuk fokus dalam mencapai impian dan membangun kebahagiaan yang sesungguhnya bersama dengan orang-orang terdekatnya.

    Akhirnya, setiap orang menemukan kebahagiaan mereka masing-masing. Sarah bersama pria yang dia temui di taman, Alex menemukan kebahagiaannya dengan mengejar impian dan membangun kembali hubungan dengan di sekitarnya. Kehidupan terus berputar, begitu juga dengan kebahagiaan. Tetapi dalam kisah ini, mereka semua mendapat apa yang mereka cari: kebahagiaan yang sesungguhnya.

  9. Ricardo Reply

    Awok Awok

  10. intan Reply

    aaaaaa gabisa gabisa aaa

  11. Dalbo Reply

    Anak anak cuma mau didengar tidak mau mendengar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!