Dalam salah satu hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman bahwa Dia heran terhadap orang yang meyakini kematian namun senantiasa bergembira-ria. Hadis qudsi ini tentu saja mesti kita pahami dengan baik. Di samping agar kita tidak salah paham, juga terutama agar kita tulus dan senang hati mengimplementasikannya di dalam menjalani hari-hari yang membujur sepanjang sisa usia kita.
Pernyataan heran itu tentu saja merupakan bagian dari bahasa manusia, sama sekali bukan bahasa Tuhan dengan segenap absolusitas yang disandangNya. Idiom itu dipakai dalam hadis qudsi agar bisa diresapi dan direspons dengan sebaik mungkin olah umat manusia. Alasannya jelas. Bagaimana mungkin idiom itu merupakan “bahasaNya”, sementara segala sesuatu itu sudah “rampung” di hadapanNya sejak jauh sebelum dimulai. Jika demikian adaNya, bagaimana mungkin Dia bisa heran?
Idiom itu juga digunakan untuk menyentak perhatian. Dan benar bahwa objek dari idiom itu biasanya merupakan segala peristiwa yang tidak gatuk atau tidak klop di akal. Dan kalau sampai Allah Ta’ala yang menyatakan heran, maka tidak boleh tidak setiap orang beriman mesti mengaksentuasikan perhatian mereka terhadap objek idiom tersebut dalam firmanNya itu.
Kematian itu ibarat salah satu sisi dari sebuah gobang. Sedang sisi yang lainnya adalah kehidupan. Keduanya itu tidak mungkin berdiri sendiri-sendiri secara mandiri. Mustahil. Siapa pun yang tengah mengalami hidup, suka atau tidak suka pastilah suatu saat akan tiba waktunya dia dicengkeram oleh kematian. Dan siapa saja yang sedang diregang ajal, pastilah dia sebelumnya sudah mengalami hidup.
Hal yang sangat penting untuk kita perhatikan bukan terutama datangnya kematian yang memang niscaya itu, tapi sejumlah peristiwa setelahnya yang begitu panjang membentang hingga hari keabadian di alam akhirat kelak. Dan peristiwa demi peristiwa itu, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, semuanya tak lain merupakan “duplikasi” dan cerminan dari kualitas rohani dan perilaku umat manusia di dalam kehidupan yang fana ini.
Dengan menggunakan akal sehat sebagaimana semestinya, tentu saja dapat dipastikan bahwa tidak akan pernah ada seorang pun yang ingin digebuk dengan penderitaan dan siksaan yang pedih. Baik di dunia ini apalagi di akhirat yang abadi kelak. Pasti yang ada itu sebaliknya: semua mereka ingin selamat dan berbahagia. Ingin senang untuk selamanya.
Untuk mendapatkannya, karena Allah Ta’ala yang lebih tahu tentang lika-liku proses manusia yang seharusnya ditempuh untuk sampai pada taman bahagia yang hakiki itu, tentu tidak bisa ditawar lagi bahwa mereka wajib tunduk terhadap berbagai ajaran yang telah diturunkanNya kepada mereka melalui perantara Nabi Muhammad Saw. Tidak ada satu ajaran pun di dalam Islam yang tidak diproyeksikan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Dengan kesadaran spiritual itulah umat manusia mesti “berangkulan” dengan hadiratNya. Cara dengan mengamalkan dan menyelami sejumlah ajaran yang aplikasinya telah diteladankan seindah mungkin oleh Imam al-Muttaqin, Nabi Muhammad Saw. Sama sekali bukan dengan bersukacita menari dan mengikuti irama gendang nafsu amarah yang kebak tipu daya dalam menjerumuskan umat manusia ke jurang kenistaan dan malapetaka. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025