
Ayah tumbuh dari serumpun rerumputan liar dengan kawanannya yang sama kecil dan rapuh. Pinggangnya encok ditiup angin, kepalanya pening ditimpa hujan, sedang seluruh badannya selalu sakit-sakitan.
Terkadang, aku pun bertanya-tanya: bagaimana bisa ayah menikah dengan ibu, yang jelas saja terlahir sebagai manusia? Tidak ada yang ayah berikan kepada ibu selain makian dan terus menuntut untuk disirami tiga kali sehari, padahal ibu seharian bekerja sampai nyaris mati.
Setiap aku berjalan di halaman belakang, ayah mengajakku bicara. Namun, bukannya menyahut, aku malah menangis dan berlari ketakutan di atas tubuhnya. Saat itu, kukira dia adalah makhluk sejenis jin dan hantu; yang kadang bersuara, tapi menolak ditangkap mata.
Baru setelah ibu pulang, aku tahu yang berbicara di halaman belakang adalah ayah. Ibu bilang, jangan sampai membuat ayah sedih apalagi marah, karena sebelum ia pulang bekerja, ayahlah yang akan menemaniku di rumah. Dia juga ingin melihat kami saling menjaga.
“Nak, tolong sirami Ayah kalau Ibu belum pulang, ya?” pesan ibu sebelum meninggalkan rumah di pagi hari.
“Kenapa harus aku? Kenapa dia tidak bisa menyirami dirinya sendiri?” tanyaku heran.
“Karena dia ayahmu.”
Saat aku beranjak dua belas, ibu mulai mengajari cara berkebun. Di halaman belakang, ada tanaman umbi-umbian, sayur-mayur, dan ayah. Saat merawat mereka semua, aku pun bertanya-tanya. Tumbuhan lain tampak subur dan indah, tapi kenapa ayah tidak? Padahal, dialah yang paling serakah minta pupuk lebih banyak bahkan disiram lebih sering.
“Siram dan pupuk ayahmu dengan baik. Dia bilang, kamu sering lupa menyiraminya jika tidak disuruh.” Sore itu, ibu menegurku dengan wajah letihnya setelah pulang bekerja.
“Kenapa dia mengadu ke Ibu? Padahal aku hanya lupa menyiraminya sekali!” protesku sebal.
“Kamu tahu ayahmu memang suka membesar-besarkan masalah, kan?” tanya ibu yang lebih menjurus ke pernyataan.
“Lalu kenapa Ibu malah memarahiku?” Aku menyahut ketus.
“Karena dia ayahmu. Kamu harus tetap sopan meski dia kadang melakukan kesalahan.”
Pada usia lima belas, tubuhku menjelma menjadi rumput yang kurus kering, lebih jelek daripada ayah. Ibu sedih sekali sampai bermalam di halaman belakang. Ia meratapi nasibku dan ayah yang sama-sama butuh banyak pupuk untuk tetap hidup. Namun, pupuk itu hanya dijual di negeri seberang.
“Nak, Ibu mau pergi mencari pupuk. Nanti nenekmu yang akan menyirami kita selama Ibu belum pulang,” jelas ayah yang hari itu tampak begitu semringah.
“Ibu mau pergi meninggalkan kita.” Aku mengulangi sambil menghela napas berat.
“Iya, ibumu mau pergi mencarikan kita pupuk,” timpal ayah makin girang.
“Aku merepotkan Ibu sepertimu. Kenapa aku harus jadi sepertimu?” rutukku kecewa kepada diri sendiri.
“Karena aku ayahmu.”
Fakta menyedihkan itu lagi.
Menuju usiaku yang ketujuh belas, ibu tidak kunjung pulang. Sedang aku dan ayah bertengkar setiap punya waktu luang hanya karena berebutan makanan. Meski susah payah, nenek merawatku sampai aku jadi manusia lagi. Namun, itu pun bersyarat. Aku harus kembali merawat ayah.
“Ingat! Setelah ini, jangan lupa patuhi perintah orang tuamu. Jadilah anak yang baik dan penurut.” Nenek mengingatkan yang kuangguki setengah hati.
“Tidak perlu bilang begitu. Nenek tahu aku selalu mendengarkan nasihat Ibu,” sahutku sebal.
“Ayahmu juga. Orang tuamu bukan ibumu saja.” Nenek mengoreksi.
“Kenapa aku harus mendengarkan dia juga? Dia bahkan tidak tahu cara memberi anaknya makan!” Ucapan lembut nenek malah kubalas dengan hardikan.
“Karena dia ayahmu.”
Belasan tahun orang-orang terus mengingatkanku tentang hal menyebalkan itu.
Setelah jadi manusia, aku tidak menepati janji. Kubiarkan ayah mengering dan tak terurus. Pupuk yang dikirim ibu kutaburkan pada sayur-mayur dan umbi-umbian di halaman belakang; tanaman yang setidaknya bisa kumakan. Siapa suruh ibu hanya sibuk mengumpulkan uang untuk membeli pupuk? Ia tak peduli anaknya di rumah juga butuh uang untuk membeli lauk.
“Kenapa kamu tidak merawat Ayah dengan baik? Dia jadi marah dan melarang Ibu pergi lagi!” Sore itu, ibu pulang dari negeri seberang dengan oleh-oleh makian.
“Kenapa aku harus merawatnya dengan baik? Dia bahkan bukan Ayah yang baik!” Aku ikut memaki.
Setidaknya, aku anak baik untuk ibu, kan? Kenapa itu saja tidak cukup?
“Jaga bicaramu! Jangan pernah lupa kalau dia ayahmu!” Untuk pertama kalinya, ibu yang lembut dan penyabar bahkan meninggikan suara kepadaku.
“Lalu kenapa? Apa semua orang bisa disebut Ayah asal punya anak?” Amarah ibu jadi pemantik amarahku yang lebih besar. “Aku tidak mau menjadi anaknya! Aku tidak mau Ayah sepertinya!” pungkasku sebelum meninggalkan ibu yang sudah bersiap untuk meledak.
Mungkin, dia ingin bersumpah serapah, mungkin juga ingin memukul kepalaku yang dianggapnya pelupa. Namun, yang kutahu pasti, hari itu ibu tidak punya keinginan untuk memelukku, apalagi mengatakan rindu. Padahal, sudah tiga tahun sejak kami terakhir bertemu.
Pada akhirnya, ibu kembali terjebak di rumah bersama rumput jelek di halaman belakang itu. Sedang aku yang mulai beranjak dua puluh, memutuskan merantau karena muak dipaksa menyirami ayah. Belum sempat menikmati lingkungan baruku, nenek menelepon dan mengabarkan ibu telah berubah jadi padi.
Aku pulang dengan tujuan menanam ibu di sawah, berniat menjauhkannya dari ayah yang kata para petani bisa jadi hama. Rumput liar hanya akan menghalangi ibu untuk tumbuh subur, bahkan bisa saja membuat padi rusak dan mati. Aku tentu saja tidak mau ibu mengorbankan diri demi ayah lagi.
“Ayah juga perlu dirawat. Kalau Ibu dipindahkan, ayahmu juga harus ikut.” Bahkan setelah jadi padi, ibu masih saja memikirkan rumput jelek itu.
“Aku hanya akan merawat Ibu,” putusku tidak ingin dibantah.
“Tapi dia suami Ibu ….”
Hubungan tolol macam apa yang kami punya sebenarnya? Bahkan kotoran sapi yang mengganggu pun bisa berguna jika dijadikan pupuk, tapi kenapa ayahku tidak?
Aku tentu saja tidak mau melakukan hal bodoh. Jika ayah juga dipindahkan ke sawah, bukan hanya ibu, tapi padi yang lain juga pasti mati. Masalahnya, tanah di belakang rumah sudah terlalu gersang. Musim kemarau datang. Manusia pun kesulitan mendapatkan air, apalagi hewan dan tanaman.
“Kalau mau beri Ibu, beri juga untuk Ayah. Jangan pilih kasih!” Sekali lagi, aku dimarahi setelah bersusah-payah mencari air.
“Minum sajalah!” pintaku sedikit memaksa
“Beri ayahmu juga,” sahut Ibu tetap dengan pendiriannya.
“Hanya cukup untuk Ibu.”
“Kalau begitu minumlah sendiri,” tolaknya tanpa pikir panjang.
“Baiklah, jika itu maumu. Matilah kehausan!” pungkasku muak.
Siang itu, ibu menolak air yang susah payah kudapatkan. Dia tetap dengan pendiriannya untuk memintaku berbagi dengan ayah, rumput jelek yang selama ini selalu serakah mengambil jatah air dan pupuk. Tentu saja aku tidak terima. Kemudian, air itu kuminum sendiri.
Esoknya, ibu mati kehausan; daunnya melayu, batangnya kering kerontang. Sedang ayah, menatapku penuh cela seolah aku seorang pendosa. Perutku kembung dipenuhi perasaan bersalah.
“Karena membunuh istriku, kamu dihukum merawatku sampai tua!” Di hadapan warga sekampung yang menghadiri pemakaman ibu, rumput jelek itu berteriak dengan nada menghakimi.
Anehnya, semua setuju dengan apa yang dikatakannya.
“Seburuk apa pun mereka, orang tua tetaplah orang tua.”
“Murka Tuhan bergantung kepada kemurkaan orang tua.”
“Haram bagi mereka yang menyakiti hati orang tua, bahkan untuk mencium wangi surga.”
Berarti, setiap hari yang kuhabiskan untuk menyirami ayah selama ini adalah hal wajar. Semua anak melakukannya. Semua anak harus melakukannya. Tapi kenapa kami harus terus melakukannya? Kenapa hidup sebagai rumput jelek dan merepotkan tetap menjadikannya ayah, sedangkan merasa lelah malah menjadikanku anak durhaka? Apa aku tidak berbakat menjadi anak baik?
Oleh karena itu, kubakar seluruh tanaman yang kurawat sejak lama di halaman belakang, termasuk si rumput jelek yang ibu selalu ingatkan bernama ayah. Setelah pembakaran kecil-kecilan yang kulakukan tersebar, satu kampung murka dan menghajarku tanpa ampun. Anak setan, kata mereka. Anak setan? Aku tersenyum, mungkin untuk pertama kalinya.
Lombok, 27 Maret 2025.
- Ayahku Tumbuh di Halaman Belakang - 9 May 2025
Aryan
Cerita yang unik. Puas dengan endingnya. Love it!!
nunuu
kerenn
Zuuu
ngapain pake fotokuu, jelekk bgt buset T_T
Nuraini Musrifah
Menarik sekali ceritanya, keren
Elivia
Keren!
Miya
Ceritanya menyentuh😭
Fitrah
Lanjut terus kak. Menarik ceritanya
Arif Rahman
Cerita yang menarik kak,lanjut kak🥳
Galih Santoso
Gilaaaaa…suka banget sama gaya surealis dan endingnya
radja
gak kalah seru sama ceritanya
la
kerennn
Nana
Keren bgt kak ceritanya
Rani
Mantap
Putrawan
Keyen kaks
Orange Jus
Bagus, tapi ga bagus-bagus amat, wkwk