Syaikh Abu al-‘Abbas al-Amili #5

Syaikh Abu al-‘Abbas al-Amili mengatakan bahwa seluruh alam semesta, baik terkecil maupun yang terbesar, semuanya fokus kepada Allah Ta’ala, baik diterima atau tidak diterima. Kalau tidak seperti itu, tentu mereka dalam keadaan capek dengan menghadapkan diri pada hadiratNya.

Karena ketika engkau jatuh cinta kepada Allah Ta’ala, maka di dalam bencana itu engkau akan memandang Dia sebagai Pemberi bencana, bukan segala sesuatu yang lain. Di dalam Kitab al-Hikam yang ditulis oleh Syaikh Tajuddin Ibn ‘Athaillah as-Sakandari disebutkan bahwa cara seperti itu merupakan cara untuk meringankan bencana.

Di saat itu, bencana bukanlah bencana, tapi merupakan suatu kenikmatan. Orang itu tidak merasa ditimpa bencana, juga tidak merasa capek sama sekali. Tapi justru merasa segar bugar, merasa sehat wal ‘afiat. Hidupnya semakin gesit, semakin tidak terkalahkan oleh bencana.

Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak merubah qadha’ dan qadar, tidak merubah ketentuan dan pelaksanaannya, dengan rida dan murkaNya. Rida adalah sebab bagi datangnya bahagia, sementara murka adalah sebab bagi datangnya rasa sakit. Dalam konteks ini, bahagia dan sakit hanya dialami oleh manusia.

Siapa orang yang jatuh cinta kepada hadiratNya, maka dia akan senantiasa bahagia, akan senantiasa luas, tidak mungkin sumpek dan tergencet oleh persoalan. Dan siapa orang yang berpaling dari Allah Ta’ala, maka datangnya ketentuan dari hadiratNya, datangnya qadha, akan menjadikan dia terkejut dan lelah.

Sangat dapat dimaklumi bahwa Syaikh Abu al-‘Abbas al-Amili senantiasa bahagia, senantiasa bugar, karena beliau selalu siap untuk berjumpa dengan berbagai ketentuan dari Allah Ta’ala. Tidak pernah beliau menolak, tidak pernah beliau tak singkron dengan berbagai kepastian hadiratNya.

Pokoknya adalah bahwa seluruh yang datang dari Allah Ta’ala, selama tidak bertentangan dengan syari’at, seluruhnya adalah baik, semuanya pantas untuk diterima dengan senang hati. Tidak ada yang perlu dikecualikan, sepenuhnya. Karena itu, kuda-kuda rohani beliau senantiasa tegar.

Ketangguhan beliau dalam perkara menerima segala yang datang dari Allah Ta’ala itu karena hadiratNya “berdiri” di pihak beliau. Karena itu, pastilah beliau memiliki ketangguhan yang luar biasa, memiliki kekuatan yang tidak ada tandingannya. Itu pasti. Sebab, dari manakah kekuatan para sufi kalau tak dari Allah Ta’ala?

Mereka mengalami apa yang disebut sebagai hauqalah, La Haula wala Quwwata illa Billah, tidak ada kekuatan untuk menolak maksiat, tidak ada kekuatan untuk berbuat taat, kecuali dengan pertolongan Allah Ta’ala. Kepatuhan mereka pada hakikatnya adalah kepatuhan Dia kepada hadiratNya sendiri.

Allah Ta’ala memang merupakan Tuhan yang disembah. Tapi dalam konteks ini juga merupakan Tuhan yang menyembah. Al-‘Abid wa al-Ma’bud wahid, yang menyembah dan yang disembah itu satu. Itulah hakikat namanya. Ketika yang disembah adalah yang menyembah juga, bukan yang lain. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Admin
Latest posts by Admin (see all)

Comments

  1. natasya Reply

    bagus untuk menghilangkan stress

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!