Belajar Waras dari yang Tak Waras

Judul                            : Seorang Laki-Laki Yang Keluar dari Rumah

Penulis                         : Puthut EA

Cetakan                       : Agustus 2017

Penerbit                      : Buku Mojok

Jumlah Halaman         : vi + 342 halaman

ISBN                             : 978-602-1318-52-2

Suhu politik kembali memanas sejak dua tahun lalu. Api dalam sekam yang muncul karena polarisasi masa pilpres lalu kini kian membesar. Air yang sudah sangat keruh dibikin makin keruh oleh para pemancing (baca:  para praktisi politik kotor) dengan mendatangkan banjir berita-berita bohong. Masyarakat dibikin lupa atau bahkan tak mau tahu apa fakta sebenarnya. Di zaman edan seperti ini, banyak sastrawan terpanggil untuk ikut membersihkan lumpur-lumpur kegilaan itu. Salah satu yang menjawab panggilan itu adalah Puthut EA lewat novel Seorang Laki-Laki Yang Keluar dari Rumah.

Dalam dunia sastra, Puthut adalah salah satu nama yang cukup dikenal. Sebelum menjadi pengusaha seperti saat ini, ia sempat meramaikan jagat sastra koran di akhir masa Orde Baru. Setelah namanya sempat menghilang di dunia sastra, ia menerbitkan karya-karya sastra kembali. Seorang Laki-Laki yang Keluar dari Rumah, karya terbaru Puthut, muncul tak sekadar ikut meramaikan dunia sastra, melainkan tampak dimaksudkan pula sebagai usaha mengembalikan kewarasan masyarakat umum.

Seorang Laki-Laki yang Keluar dari Rumah berkisah tentang seorang laki-laki bernama Budiman yang kehilangan kewarasannya atau dalam istilah para tokoh lain “menyendiri”. Selama “menyendiri” itu, Budiman hanya duduk diam di beranda belakang rumah, tak mau menyahuti perkataan orang lain dan makan minum hanya dalam porsi sangat sedikit. Sebelum mengalami itu, ia sempat berpesan pada istrinya, Rukmi, untuk meminta bantuan kepada kenalannya yang bernama Pandu. Pandu diharapkan bisa membantu Budiman keluar dari keadaan “menyendiri” itu. Sepanjang cerita, pembaca tak hanya akan diajak menyelami keruwetan pikiran Budiman, tapi pula keruwetan kondisi kultural-politis yang sangat akrab bagi kita.

Cerita dituturkan dengan dua sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah aku-Budiman. Pembaca diajak menyelami jalan pikiran dan pengalaman Budiman lewat catatan hariannya. Sudut pandang kedua adalah aku-Pandu. Pembaca diajak mengikuti Pandu merunuti sebab-sebab Budiman menyendiri. Sudut pandang aku-Budiman dapat dibaca dalam tiap bab bernomor ganjil, sementara sudut pandang aku-Pandu dapat dibaca dalam bab-bab bernomor genap. Eksplorasi cara penceritaan inilah yang membikin pembaca “bisa membaca novel ini dari setiap bab bernomor ganjil sampai tuntas, baru kemudian membaca bab genap; atau membaca novel ini sebagaimana lazimnya, dari awal sampai akhir” seperti klaim di sampul belakang buku.

 

Cara Tuturan yang Unik dan Sederhana

Tuturan dengan cara penceritaan unik makin terasa “berbeda” karena kisah berjalan dalam bingkai, yang dapat disebut, realisme magis. Cerita menggunakan logika realitas layaknya kisah realis berikut cuplikan rekaman fenomena-fenomena yang dapat dirujuk di kehidupan nyata, tetapi dibumbui pula oleh elemen-elemen magis. Elemen-elemen magis ini dibangun dalam semesta yang nisbi dekat dengan budaya masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Ia mewujud dalam pengalaman-pengalaman berbau mistis khas Jawa yang dialami dan dilakukan tokoh Budiman, seperti praktik puasa pantangan, mengunjungi makam untuk meminta nasihat, menuruti nasihat “orang pintar”, dan melihat makhluk halus. Pengalaman-pengalaman berbau mistis ini membentuk konflik cerita, yaitu laku menyendiri Budiman. Bila menggunakan kacamata realis, pembaca akan melihat pengalaman-pengalaman Budiman adalah pengalaman yang cenderung skizofrenik, seperti diam dalam waktu lama, merasa dikejar-kejar orang, berhalusinasi. Namun, ada pula pengalaman yang bahkan tak bisa dijelaskan oleh akal, dalam konteks ini ilmu psikologi, karena pengalaman-pengalaman itu terjadi pula pada karakter-karakter lainnya.

Di luar alur dengan rasa realisme magis itu, gaya tuturan Puthut adalah salah satu nilai lebih. Puthut memilih menggunakan gaya tuturan yang sederhana. Karena pemilihan gaya itu, cerita dapat mengalir dengan baik dan pembaca yang paling awam pun dapat memahami tuturan dengan mudah.

Nilai lebih lainnya adalah cuplikan-cuplikan pribadi para tokoh cerita dan bahkan kejadian dalam kisah ini terasa nyata. Tampaknya hal itu karena Puthut mengambil inspirasi dari kehidupan pribadinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Tokoh bernama Cak Mathari, misalnya, diinspirasi oleh sosok teman Puthut bernama Rusdi Mathari. Sosok Budiman dan Pandu pun tampak diinspirasi oleh sosok Puthut sendiri. Profil pribadi keduanya sebagai pengusaha dengan seorang istri dan seorang anak mirip dengan profil Puthut dan keluarganya. Karena tokoh-tokoh cerita diilhami oleh sosok-sosok nyata, penokohan dibangun dengan nisbi baik. Detail-detail seperti makanan kesukaan, deskripsi fisik, kebiasaan, dan kepribadian para tokoh cerita membuat cerita terasa berwarna. Menyitir kata-kata sastrawan sekaligus jurnalis Gabriel Garcia Marquez, detail-detail fakta itu dapat melegitimasi keseluruhan cerita, sehingga cerita akan terasa nyata bagi pembacanya.

Namun, ada sebuah cacat besar dalam penokohan yang membuat alur cerita tidak mengalir mulus. Sikap seorang tokohnya, tepatnya istri Pandu, Winda, yang juga berkawan akrab dengan keluarga Budiman berubah-ubah. Namun, perubahan sikap ini terasa tidak logis dan tak ada penjelasan apa sebab terjadinya. Pada halaman 160 Winda mengatakan,”Menurutku keluarga mereka (Budiman dan Rukmi, keterangan) tidak sebahagia yang kita kira, dan mungkin ini problem utamanya.” Namun, di halaman 275 Winda malah menyatakan tak percaya bahwa keluarga Budiman adalah sebuah keluarga yang tak harmonis: “Bukankah sejak dulu rasanya kita bersepakat bahwa salah satu keluarga yang bahagia yang pernah kita saksikan adalah keluarga Mas Budiman dan Mbak Rukmi.” Walau terlihat remeh, sikap Winda ini signifikan mengubah alur cerita. Pernyataannya pada kesempatan pertama memicu penyingkapan sebuah konflik baru dalam kisah: konflik asmara dari masa lalu Budiman. Ketika kemudian ia menyangkal dugaan Budiman pada kesempatan kedua, ini membuat narasi jadi tak koheren.

Cerita pun menjadi menarik karena latar cerita, terutama latar kultural digambarkan dengan baik. Salah satu yang paling terlihat adalah penggunaan kata-kata dari bahasa Jawa dalam senandika atau ucapan para tokohnya. Ruang eksplorasi pada bahasa daerah ini tentu dapat memperkaya jagat dunia Sastra Indonesia, tidak melulu kaku berada dalam bingkai bahasa Indonesia. Sayang, kata-kata yang berasal dari bahasa Jawa tersebut tidak dilengkapi dengan keterangan padanan atau terjemahannya dalam bahasa Indonesia, sehingga akan menyulitkan pembaca, yang tak akrab dengan kata-kata bahasa Jawa, memahami maksud perkataan narator atau tokoh cerita.

Menyentil Fenomena Nyata

Sepanjang tuturan kisah, Puthut menyisipkan fenomena dan wacana yang begitu dekat dengan masyarakat kita. Itu terutama dilakukan lewat tokoh Budiman. Pembaca diajak menyelami pemikiran Budiman terkait kasus kriminal Dimas Kanjeng, pembunuhan Salim Kancil, dan eksploitasi tambang, isu PKI yang santer terdengar tiap tahun, riuh-rendah politis yang didalangi para elit politik, bahkan juga mengenai Indonesia sebagai bangsa yang terus dihantui kejayaan di masa lalu. Sisipan-sisipan yang bertebaran di sekujur bab-bab bernomor ganjil itu mengajak kita berpikir.

“Hantu itu dihidupkan oleh mereka. Memang ada orang-orang yang sepertiku, ingin semua masa lalu dintuntaskan. Tapi, ada yang ingin menghidupkan hantu Komunisme itu terus. Agar selalu punya alasan untuk bisa mengeruk negeri ini.” (hal. 294)

Walau begitu, Puthut paham sebagai sebuah novel, ia mesti berusaha menghindari usaha mengkhotbahi pembacanya. Puthut menggambarkan Budiman sebagai seorang yang mencintai begitu dalam keadilan dan masyarakat kecil. Senandika Budiman selalu ditampilkan layaknya curahan hati seorang yang resah dengan keadaan sekelilingnya. Senandikanya tidak secara langsung menyampaikan apa yang ingin disampaikan oleh Puthut. Puthut justru memberi kesempatan pada tokoh lain untuk memberi wejangan, seperti kutipan di atas yang disampaikan oleh tokoh Om Tan. Karakter Budiman, yang dengan sengaja digambarkan tidak mengambil sikap politis dan agak malas mendengar perdebatan juga wejangan, membantu memperhalus isi wejangan itu.

Secara ironis, justru lewat tokoh yang di kemudian hari terganggu kewarasannya itu, Puthut menyentil fenomena-fenomena yang mengganggu akal sehat kita. Lewat tindakan Budiman yang menyendiri, diam tak berbicara ketika kehilangan kewarasannya, Puthut seakan juga menyampaikan pesan: diam adalah pilihan terbaik bila tidak bisa menjaga kewarasan akal sehat. Diam mendengarkan lebih baik ketimbang menularkan ketidakwarasan dan kemarahan kepada orang lain.

Akhirnya, Seorang Laki-Laki Yang Keluar dari Rumah adalah sebuah bacaan yang baik. Konon, Edgar Allan Poe pernah menyebut, “Sastra itu menyenangkan, sebagian lainnya memberikan pelajaran”. Novel ini terbukti dapat memberikan dua hal itu. Ia cukup menyenangkan dan tetap dapat memberi pelajaran bagi pembacanya.

Ahmad Zuhhad A.
Latest posts by Ahmad Zuhhad A. (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!