Yang Terkisah dari 1000 Tahun Layla Majnun

/1/

Sejak awal abad ke-19, setidaknya di Timur Tengah seperti Mesir dan Istanbul, dunia kawasan mayoritas muslim menyaksikan satu hentakan kesadaran akbar: ternyata mereka menjadi koloni-koloni jajahan Eropa. Inilah luka akbar yang menjadi kesadaran kolektif muslim di seluruh dunia.

Salah satu alasannya yang terus saja menerus diperdebatkan sampai sekarang: Islam, baik sebagai agama atau sebagai ideologi (politik). Ada kubu yang justru menganggap bahwa penyebab kemerosotan, kemunduran dan akhirnya semacam ketersingkiran muslim di seluruh dunia adalah Islam. Tentu, ada kubu yang sebaliknya: justru karena muslim tidak mengamalkan Islamlah maka mereka mundur dan tersingkir. Terjadilah polemik kolosal antara dua kubu: pihak yang menyerukan modernisasi dan kubu yang menghendaki kembali pada Islam, dengan berbagai variannya, tentu saja. Dalam polemik ini, kedigdayaan sains modern (Eropa) menyelinap bagaikan jiwa yang berkilat-kilat: menggugah, menyilaukan, tapi juga menggugat.

Polemik panjang nan historis inilah yang membayangi saat membaca novel sastrawan Turki Iskender Pala, Death in Babylon, Love in Istanbul (Bentang Pustaka, 2017). Iskender Pala yang lahir pada 1958 barangkali memang tidak semasyhur Orhan Pamuk di Indonesia. Dari novel Death in Babylon, Love in Istanbul, karya Pala satu-satunya dalam terjemahan bahasa Indonesia, kita bisa menduga bahwa cakupan peta imajinasi geografis-historis Iskender Pala sangat dipengaruhi oleh imajinasi nasionalistik.

Barangkali visi kepengarangan Iskender Pala bisa sedikit disamakan dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang mencoba melacak akar sejarah panjang kemunculan kekuasaan dan keruntuhan kekuasaan politik (tradisional) sampai kemunculan nasionalisme. Death in Babylon, Love in Istanbul adalah sejenis interpretasi modern dan narasi panjang terhadap kebangkitan puisi (berbahasa) Turki, kuasa imperium Ottoman dalam sejarah global, dan akhirnya juga menjadi kisah panjang perihal keruntuhan imperium Ottoman secara perlahan sejak akhir abad ke-19. Tak mengherankan jika Iskender Pala mendapatkan penghargaan Writers Union of Turkey Award pada 1989 dan 1996 serta Presidential Culture and Arts Grand Award pada 2013.

/2/

Sejak bagian pertama, sebagai novelis yang begitu sadar terhadap kedigdayaan sains modern, Iskender Pala merasa perlu memulai bab pertama novel Death in Babylon, Love in Istanbul dengan gedung institusi sains: “Cahaya menjalar ke dalam perpustakaan Akademi Sains. Bangunan itu tampak seperti basilika kuno yang menjulang di atas Sungai Tigris. Setiap kali perpustakaan diguncang tembakan meriam, jantung lelaki itu serasa berhenti berdetak. Dia tidak begitu khawatir terhipnotis oleh irama rebana yang ditabuh di sepanjang tembok kota yang dipenuhi orang; dia lebih mengkhawatirkan perubahan yang melingkupi kota.”

Begitulah, Iskender Pala membuat kontras yang sangat tajam antara dua aktivitas. Yang pertama adalah dua orang manusia yang sibuk dengan buku, sejarah, puisi, dan sains di satu perpustakaan di Bagdad: gairah dunia intelektual. Kedua, hiruk-pikuk karnaval kedatangan pasukan Sultan Ottoman, Sulaiman sang Pemberi Hukum (1494-1566 M), yang menjadi penguasa baru di kota itu: pertunjukan kekuasaan politik. “Pohon-pohon kurma muda yang menenuhi lembah Sungai Tigris terguncang oleh dentuman 11 tembakan meriam, dan kerumunan penduduk kota yang bersorak-sorai kembali muncul. Sang Pembeli Hukum memasuki kota.”

Tak hanya itu, Iskender Pala juga mengimplikasikan pengisahan ulang terbunuhnya Archimedes sebagaimana termasyhur di Eropa: terbunuhnya (bunuh diri?) pustakawan tua asal Asyhur yang sangat memahami syair dan sains. Pustakawan tua ini, sebelum meninggal dan sangat sadar bahwa dia akan segera meninggal, mengambil sekian tumpuk bundelan (buku) antik langka nan ampuh, yang memang disengaja untuk ditunjukkan pada Hilleli Mehmet Efendi Fuzuli, penyair tua yang berusia 50-an tahun yang kemudian bakal menulis ulang kisah termasyhur putri gurun Layla & Majnun. “Kau mau buku-buku ini atau hendak pergi menonton parade kuda Sultan seperti salah seorang pedagang kurma dari Basra itu?” kata pustakawan dari Asyur itu. Tentu ini bukanlah sejenis pertanyaan, tapi adalah gugatan bagi integritas iman belajar sang penyair.

Bundelan pertama adalah 100 logia (kumpulan perkataan Kristus yang tidak ada dalam Injil) yang ditulis dalam bahasa Ibrani dan Aramaik oleh biarawan-biarawan yang hidup di gurun. Bundelan ini diperkirakan dibawa dari Yerusalem saat terjadi pejarahan pada tahun 70 Masehi. Tapi, gulungan yang penuh gambar salib dan Kristus ini bahasanya tidak bisa dipahami Mehmet Efendi. Bundelan kedua berisi berkas-berkas yang acak-acak. Ada risalah-risalah sepanjang 20 sampai 24 halaman yang dijahit jadi satu, yang ditulis dalam bahasa Arab. Isinya beragam: mulai dari anatomi tubuh manusia, lukisan lelaki atau perempuan telanjang, obat-obatan, sketsa burung, dan sebagainya. Inilah yang ingin dipelajari Mehmet Efendi Fuzuli.

Namun, saat Mehmet Efendi membuka-bukanya, tersadarlah akal intelektualnya: ia sedang memegang harta karun ilmu. Pustakawan tua itu ternyata memberikan kitab-kitab ampuh: “Risalah Demam Kuning yang Diperoleh Ptolemy I Stoter dari Perpustakaan Kerajaan Aleksandria, Risalah Penyembuhan Ibnu Sina tentang Kehidupan Embrio di Rahim Ibunya, Risalah tentang Sirop yang Diperoleh dari Akar Tanaman di Serapaeum dan Metode-Metode Pengobatan, Risalah Plato mengenai Roh dan Kematian.”

Kita bisa mengatakan bahwa sejak awal, Iskender Pala hendak membuat kontras yang sangat tajam: Mehmet Efendi itu apakah seorang ilmuwan (scientist) atau seorang penyair. Tentu, seperti cukup banyak ulama-ilmuwan padanya, Mehmet Efendi mempelajari dua-duanya. Tanpa perlu ada pembedaan atau perbedaan yang diteguhkan dengan prioritas atau institusi keilmuan. Namun, bukan tentang sainslah Hilleli Mehmet Fuzuli akan terkenal dan dikenang oleh publik Turki. Bukan sebagai ilmuwan, tapi sebagai penyair. Dan sepanjang menceritakan ruang-ruang istana para sultan dan penguasa, yang mendominasi kisah Death in Babylon, Love in Istanbul, kita justru terperosok dalam keasyikan kehidupan berpuisi. Praktis sains tersingkirkan bahkan, dalam satu adegan meteor jatuh, Iskender Pala mengejek publik (muslim) Turki pada masa itu yang begitu ketakutakan dan membuat-buat dalil teologis: meteor itu adalah hukuman dari Tuhan, bukan dianggap sebagai peristiwa alam semesta.

Yang asyik masyuk dalam syair, bersiap terjatuh cinta, seperti Layla dan Majnun. Dan, kelak, seribu tahun kemudian, akan sadar betapa pilihan berasyik dengan puisi, tanpa menyeimbangkan dengan sains, adalah sejenis eskapisme peradaban.

/3/

Sesaat sebelum meninggal, kepada Mehmet Efendi Fuzuli, pustakawan tua dari Asyur itu memberikan belati berhias permata dengan gagang dicetak berbentuk ular bertanduk dua yang lidahnya bercabang. Dia mengeluarkan belati itu dari sarung yang bertatahkan zamrud dan batu giok dan, seakan-seakan membaca tulisan pada bilah pisaunya, mengatakan, “Bagi mereka yang tahu cara untuk mati, belati ini berarti kehidupan; ada tujuh rahasia sejati bagi seseorang yang mengenal cinta, dan orang yang memiliki tujuh rahasia itu akan menguasai dunia.” Perkataan ini membuat Mehmet Efendi Fuzuli penasaran dan melakukan riset di perpustakaan itu.

Tentu saja, tujuh rahasia itu bukanlah sejenis petuah politik nan mujarab, obat ajaib yang mampu menciptakan jutaan pasukan militer dalam sekejap, mesin ampuh yang bisa menciptakan komoditas ekonomi yang bisa menjadi kebutuhan seluruh umat manusia, dan seterusnya. Tujuh rahasia itu adalah sandi untuk membuka Kuil Ishtar yang menjadi Pusat Riset Ruang Angkasa dari Perhimpunan Babilonia, perkumpulan ilmuwan yang selalu hanya terdiri dari tujuh orang.

Dalam riset astronominya, Perhimpunan Babilonia mengetahui bahwa bumi berbentuk bulat, mengelilingi matahari, dan memunculkan banyak teori revolusioner tentang susunan jagat raya dari galaksi, kemungkinan perjalanan antargalaksi, komunikasi dengan planet lain, kemungkinan adanya makluk luar angkasa, dan sebagainya. Namun, Perhimpunan Babilonia tidak mungkin mengungkapkannya kepada masyarakat karena Raja Nippin, generasi ketiga keturunan Nebukadnezar, sangat lalim dan bisa dengan entang menghukum ilmuwan. Maka, Perhimpunan Babilonia itu membangun kuil yang menyimpan seluruh hasil riset mereka agar bisa diteruskan generasi masa depan. Mereka juga menyimpan harta berlimpah sebagai modal meneruskan usaha riset mereka demi kemajuan sains dan kemanusiaan.

Pendeta Akeldan menyandikan kunci pintu Kuil Ishtar dalam bentuk huruf A-K-E-L-D-A-N dan angka 6-0-0-3-3-2-0. Sandi ini tertera pada belati dan talinya yang telah diberikan pustakawan tua itu kepada penyair Mehmet Efendi Fuzuli. Beberapa bulan kemudian, saat Fuzuli menggubah syair kisah Layla Majnun yang termasyhur dalam bahasa Turki, Fuzuli memasukkan sandi-sandi Kuil Ishtar dari Pendeta Akeldan itu ke dalam syair-syairnya.

Dan itulah yang membuat dan mengiringi perjalanan sekitar 1000 tahun syair termasyhur Layla & Majnun: keasyikan dalam buaian puisi cinta bergaya liris dan ketegangan perburuan harta karun, dalam bayang-bayang sains peninggalan Perhimpunan Babilonia yang semakin diabaikan.

 

/4/

Tentu, seperti orang yang begitu kasmaran pada buku, Iskender Pala menjadikan buku (manuskrip tulis tangan) sebagai tokoh utama: bisa berbicara, melihat, berjalan bahkan berkelana dari Turki sampai ke Roma dan beberapa tempat, selayaknya manusia. Di sini, Iskender Pala seakan sudah mentasbihkan: yang ditulis dan dijadikan tokoh utama bukanlah buka sains, tapi buku sastra.

“Akulah Majnun, budak yang hidup dalam bait-bait majikanku, Hilleli Mehmet Fuzuli… Dahulu aku stroberi, tetapi mereka melemparku ke dalam kuali, lalu menjualku sebagai kertas di pasar. Serat-seratku menghasilkan dua berkas; aku ditukar dengan dua ekor domba di bazar Bagdad dan menyadari bahwa diriku akan menjadi budak penyair liris dari Hilla. Aku mengenal cinta di rumahnya, lalu menjadi terbiasa dengan penderitaan, dan mempelajari Layla, tahun demi tahun, di perguruan cinta,” kata sang buku, sebagai tokoh utama novel, yang menjadi sosok Kays si Majnun.

Petualangan pertama tokoh Layla & Majnun atau L&M yang jika diucapkan dalam bahasa Turki bisa berarti ‘kepedihan’ atau ‘penderitaan’, beberapa bulan setelah ditulis, dijilid dengan menawan, dan diberi ilustrasi yang sangat apik, adalah kamar Sultan Murat di Istana Topkapi, Istanbul. Tokoh Layla & Majnun menyaksikan berbagai perjamuan irama musik makams, suznak, zirefkend, nihavend, ruhavi, dan hicaz yang dimainkan, bersama perbincangan perihal puisi.

Para penyair penting hadir untuk membacakan puisi mereka, memperbincangkannya, mendengarkan musik, dan berharap Sultan akan memberi mereka hadiah. “Aku [buku Layla & Majnun] mengalami momen ketika hiburan berbaur dengan politik dalam acara bincang-bincang yang diselenggarakan oleh Sultan, setelah setiap kemenangan atau kabar penaklukan.” Puisi dan politik memang tak pernah cukup jauh-jauh dalam sejarah sastra di dunia, termasuk sekarang di zaman kita.

Pertemuan dan perbicangan terus berlanjut, bersama tokoh Layla & Majnun yang dihadirkan oleh pemiliknya yang terus berganti dari satu tokoh ke tokoh yang lain. “Bait tanpa pengetahuan adalah seperti dinding tanpa dasar,” kata Feridun Bey saat membuka halaman Layla Majnun dan membacanya, “dan dinding tanpa dasar ditakdirkan untuk hancur sebelum saatnya.” Feridun Bey adalah cendekiawan yang belajar sains positif seperti logika, geometri, astronomi, dan kedokteran, selain belajar sains keagamaan: tafsir al-Qur’an, hadits, teologi klasik, dan ilmu hukum. Ini masa kejayaan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Di Istana Topkapi yang megah itu, tokoh-buku Layla & Majnun bertemu dengan Rukal, perempuan berumur 17 tahun yang diculik dari kampungnya, Mingrelia di Gregoria. Rukal dijadikan harem: diajari musik, melukis, sejarah, geografi, dan sastra. Di antara semua itu, Rukal adalah pencinta sastra yang fanatik dan romantis. Maka, saat Sultan memberikan manuskrip Layla & Majnun, Rukal menghabiskan malam-malam bergairah romantis dalam buaian kisah Kays dan Layla. Namun, nasibnya di istana yang gaduh dan penuh persaingan itu berakhir tragis. Rukal dibunuh dan manuskrip Layla & Majnun berpindah tangan.

Dan begitulah terus, Iskender Pala mengisahkan perjalanan dan petualangan tokoh-buku Layla & Majnun bersama tokoh politik, penyair besar Turki seperti Mahmut Abdülbaki Efendi, Galib Dede, bahkan perjalanannya sampai ke Vatikan bersama Arabian Nights, Tutiname, Panchatantra, karya-karya ilmiah yang mempengaruhi sains Timur, karya sejarah dan pengobatan dalam bahasa Yunani, Syria, Latin, Arab kuno, dan lain-lain.  “Puisi Fuzuli sama indahnya dengan lukisan-dinding Signorelli,” kata Antonio yang memimpin pusat studi masalah Ottoman di Kepausan Vatikan.

Dalam satu perjalanan ke Barat, tokoh-buku Layla Majnun berkata: “Selama bertahun-tahun berada di Roma, aku melihat puisi tanpa rima diucapkan dengan bebas dan sangat dihargai kaum bangsawan. Namun, di Istanbul, kata-kata hanya bernilai jika berrima, dan kata-kata tanpa rima, bahkan tidak bisa disebut puisi. Akibatnya, semua ucapan hebat dibingkai dalam format puitis. Di sini [Roma], mereka punya genre tertulis yang disebut novel…. Novel menunjukkan tidak adanya privasi, ketika atap rumah diangkat dan pembaca dituntun langsung ke kamar tidur. Puisi memberikan semua sensasi pada hati, jadi puisi mempertahankan keluhurannya. Novel adalah sebentuk pengungkapan, sedangkan puisi adalah luka, dan memajankan luka hanya akan meningkatkan rasa nyeri….

Bagiku, novel adalah hiburan untuk kaum borjuis. Sementara puisi menggambarkan yang ideal, novel mencerminkan sesuatu yang biasa. Novel bisa menawarkan banyak hal kepada masyarakat yang diguncang konflik kelas, tetapi mengapa harus ada kebutuhan akan novel di negera yang telah memecahkan semua masalahnya? Puisi sudah memadai. Seorang penyair di Istanbul bisa menjejalkan emosi seluruh novel dalam satu kuplet, dan masih memungkinkan pembaca untuk mengalami semua emosi ini lewat jendela yang membuka di antara dua bait.”

“Sesuatu yang bisa dipangkas menjadi sebaris kuplet di Istanbul mungkin disusun dalam bentuk buku di sini. Di Sini, kata diucapkan hanya sebagai pembicaraan, di sana kata menjadi pidato yang fasih. Yang penting di sini adalah pengembangan, sedangkan di sana yang penting peringkasan,” kata tokoh Layla & Majnun.

Pada tahun 1000 Hijriah, karya-tokoh Layla & Majnun pulang dari pengembaraannya di Eropa (Vatikan) menuju tanah airnya, Turki. Selama 300 tahun sejak milenium pertama penanggalan Islam itu, sampai awal abad ke-19, kita pun kembali mendapati perbincangan para penyair Turki generasi mendatang yang membandingkan karya-karya mereka dengan karya Fuzuli, Layla & Majnun. Di sini, setidaknya kita bisa membaca penilaian penyair Syekh Galib Dede tentang karya Fuzuli.

Kata Galib Dede: “Ini mesnevi paling menakjubkan dan aku cemburu. Lupakan Hüsn ü Ask yang sedang kutulis, Esra, yang kugubah hanya untuk menjengkelkan Hayrabad Nabi. Buku inilah yang sesungguhnya aku ingin kalahkan! Ketakutan di hatiku bahwa aku mungkin tidak berhasil, menggerogotiku setiap malam dan aku tidak pernah mengucapkan hasrat rahasiaku ini….

Bahkan, aku tidak akan pernah bisa menyandingkan Hüsn ü Ask dengan buku ini karena buku ini, dari awal hingga akhir, menjelaskan penderitaan. L&M juga merepresentasikan puncak puisi Islam. Banyak penyair berupaya menuliskan kisah ini, tetapi sedikit sekali yang berhasil menulisnya seindah karya Master Fuzuli. Seandainya aku berani menulis L&M, kecemburuan mengungguli master Turki itu akan mengancamku. Inilah sebabnya aku mencoba menawarkan mesnevi-ku dengan tema baru, kisah yang hingga kini belum dipikirkan oleh siapa pun. Setidaknya Hüsn ü Ask tidak akan terus berada dalam bayang-bayang L&M sehubungan dengan temanya.”

Mehmet Efendi Fuzuli yang meninggal pada 1556 M memang masih dianggap sebagai penyair terbesar sastra (berbahasa) Turki, terutama terkenal sebagai penyair cinta, yang menjelajahi implikasi filosofis cinta duniawi (metaforis) dan cinta ilahiah (sejati).

/5/

Begitulah, sekitar seribu tahun Layla & Majnun dipuja, diperbincangkan, dan diperbadingkan sebagai patokan puisi kelas atas di Turki Timur Tengah. Gerak kehidupan intelektualitas tampak didominasi oleh perbicangan perihal puisi, dengan semakin mengesampingkan sains.

Namun, menjelang abad ke-19 atau selama 1000 tahun perjalanan Layla & Majnun, terjadilah perubahan besar yang bergerak dari Eropa (dan Amerika Serikat). “Dunia telah memasuki era baru. Regionalisme dan nasionalisme telah mengemuka. Hingga hari ini, perang agama menentukan takdir negara, sementara mulai saat ini dan seterusnya, kedaulatan nasional yang akan menentukan.”

Kita pantas menyimak kata tokoh-buku Layla Majnun: “Aku khawatir betapa kemajuan ilmiah telah melambat di tanah asalku sehingga potensi mereka untuk mendominasi dunia telah hilang dan mereka berisiko untuk diabaikan sepenuhnya. Apa yang terjadi pada Islam yang terbuka terhadap sains? Di mana Ibnu Sina, Ghazali, dan Ibnu Khaldun, dan penulis buku-buku bersulam emas? Aku pergi ke negeri Kristen dan melihat banyak kota dan gedung/ Aku menjelajahi dunia Islam dan melihat keruntuhan semesta.

Bersama semua itu, cendekiawan dan penyair muda Turki yang melihat dan terpesona Eropa atau terdidik di Eropa dan terpukau sains modern, terutama yang tergabung dalam Perhimpunan Ottoman Muda (termasuk Kemal Attaturk), seperti dikatakan tokoh-buku Layla & Majnun, “mulai menulis wasiat sekaligus testamen terakhir puisi…. Ketika tiba pada era surat kabar, ketika novel dan drama mulai ditulis, aku merasakan diriku menua dalam keadaanku saat ini, dan kupikir kematianku sudah dekat.”

Simaklah ketidakpahaman dan ratapan tokoh Layla & Majnun pada akhir abad ke-19, saat teknologi cetak sudah mendominasi kehidupan intelektual dunia muslim: “Perkamen-perkamen, yang dahulu ditulis oleh serangkaian juru tulis dengan memaksakan mata selama berhari-hari, telah berubah menjadi lembaran yang bisa diperbanyak oleh mesin menjadi ratusan dan bahkan ribuan salinan. Semuanya lalu diperjual kepada orang-orang dalam bentuk surat kabar. Aku teringat salinan-salinanku sendiri. Kuperkirakan bahwa aku telah disalin sebanyak hampir 600 kali. [Bertapa sedikitnya! Mengingat ini terjadi hampir selama 1000 tahun!]…. Sesungguhnya aku tidak mengerti mengapa Namik Kemal dan Ziya Paşa [anggota Perhimpunan Ottoman Muda] begitu asyik dengan prosa walaupun masing-masing adalah penyair…. Lagi pula, mengapa orang menulis prosa, padahal ada puisi?”

Begitulah, puisi Layla & Majnun karya Hilleli Mehmet Fuzuli, seperti halnya estetika puisi di Nusantara akibat percetakan modern, terseret arus sejarah baru yang memaksakan estetika baru. Kisah Layla Majnun dalam bentuk estetika puisi tersungkur bersama kemunduran dan keruntuhan imperium Ottoman. Buku Death in Babylon, Love in Istanbul adalah kisah panjang perihal cinta, perbincangan asyik-masyuk para penyair, perjalanan estetika puisi, sejarah nasib bangsa, pertarungan kekuatan politik global, berakhir dan munculnya era baru.

Puisi lama itu menjadi klasik, tapi sekaligus tersungkur menjadi puisi yang tak lagi diminati penyair atau sastrawan muda. Prosa menjadi bentuk yang sangat dominatif hampir di seluruh dunia. Kisah-kisah lama yang banyak ditulis dalam bentuk puisi dipaksa ditulis ulang dalam bentuk prosa demi menyelamatkan isinya di hadapan pembaca baru.

Di akhir kisah, Iskender Pala menutup dengan kalimat ini: “Aku Kays, budak majikanku Fuzuli. Mungkin beberapa orang akan menceritakan kisahku sesekali….”

/6/

Tentu saja, sebagai generasi yang lahir tahun 1958, yang tentu saja sangat menyadari arti nasionalisme dan begitu sadar perihal kuasa sains, Iskender Pala mengutip puisi Hilleli Mehmet Fuzuli sebagai peringatan bagi generasi muda atau cemooh bagi sang penyair terbesar sastra klasik Turki: Mencapai kedudukan tinggi lewat studi ilmiah/ ternyata hanya angan-angan…/ Segala di dunia ini tersusun dari cinta,/ pengetahuan hanyalah desas-desus kosong. Tentu saja, tak ada seorang pun, kecuali yang belum mengenal perubahan besar paradigma-epistemologis sains modern, yang akan akan mengatakan bahwa pengetahuan-sains adalah desas-desus omong kosong. Ini disadari oleh tokoh-buku Layla & Majnun, tapi tidak hendak disadari oleh penyair cinta itu, barangkali.

Nah, siapakah yang berhasil mendapatkan tujuh rahasia yang disimpan Hilleli Mehmet Fuzuli dalam karya Layla & Majnun, terutama hasil riset sains ilmuwan yang tergabung dalam Perhimpunan Babilonia yang dipahat pada dinding-dinding Kuil Ishtar? Di sini, Iskender Pala mengakhiri dan memberikan kisah yang sangat ironis bahkan tragis, yang menggambarkan satu kesimpulan telak terhadap sains umat Islam: lempengan itu dihancurkan, demi perburuan harta karun yang tak seberapa bagi generasi mendatang, juga oleh ketololan terhadap sains.

Memang tidak ada salahnya terpukau dalam puisi-puisi cinta bahkan selama sekian abad. Sungguh, tidak ada salahnya. Namun, dalam tafsir kaum modernis-muslim, satu komunitas politik, budaya, atau bangsa yang hendak merengkuh kehidupan dunianya, setidaknya bagi kelompoknya sendiri, mereka wajib menguasai sains modern, apa pun harga, termasuk dengan merombak teologi atau etika dengan memutar balik orientasi berhidup secara radikal: dari bergerak hanya demi akhirat menuju kehidupan duniawi dengan segala hukum alamnya. Tentu, kita tidak hanya butuh berhidup dalam naungan sains.

M. Fauzi Sukri
Latest posts by M. Fauzi Sukri (see all)

Comments

  1. Wirda Rahmiita Reply

    Saya juga sangat tetTarik dgn kisah dlm buku ini.
    Mau tanya ni min, apa dari admin ada referensi buku yg patut utk di baca?
    Karna saya juga sangat tertarik mengenai kisah yg beginian

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!