Pantai Sawarna
Akhirnya jalan menurun
Di bibir bukit, lembah dan gua
Ranting-ranting pohon membingkai
Gulung ombak di tepian pantai,
Seperti jendela yang menyimpan lautan.
Aku tergoda hamparan pasir, kelak
Menyimpan jejak kata-kataku. Langit
Serupa layar biru, terbentang
Dari ujung ke ujung. Menaungi
Laut dalam dan karang Tanjung Layar
Dan kulihat sepasang kekasih
Saling membelitkan lengan
Pada tubuh masing-masing. Bibir mereka
Berubah jadi pengisap wc. Di langit
Camar-camar berkejaran dengan angin.
Segala yang kutemukan menjelma lukisan
Setiap potongan gambarnya melemparku
Ke luar waktu. Aku seperti berdiri
Di hadapan keagungan sekaligus keganasan
laut selatan. Tiba-tiba
Alam menjelma tempat sujud batinku
Yang kucari dan tak kutemukan di masjid
Gereja, kuil atau vihara. Justru di hadapan
Laut dan karang, tubuhku menjelma buih
Keyakinanku berubah jadi butiran pasir.
Baduy
Di Kanekes, hijau hutan serupa permadani
Sayap-sayap angin menyeret aroma dedaunan
Lekuk bukit, pohon-pohon yang kami puja
Matahari menyala di langit keyakinan kami
Rumah kami dari kayu dan anyaman bambu.
Kami urang Kanekes, tumbuh dan mengakar
Seperti pohon. Penyeimbang alam
Turunan Adam. Pohon dan batu
Adalah tempat semayam sang pencipta Nu Kawasa,
Yang menghamparkan hijau hutan dan subur tanah
Bagi mata dan kaki-kaki telanjang kami.
Dia yang lahir mesti menetap dan dikubur
Di tanah ini. Dia yang pergi, jangan pernah kembali.
Sekali seseorang jalan ke luar
Melewati batas yang kami tetapkan,
Ia akan hidup di luar bumi batin kami.
Menjaga kemurnian adalah menahan diri
Dari hasrat untuk bebas mengembara
Ke tempat-tempat jauh dan asing.
Di Kanekes, hijau hutan serupa permadani
Sayap-sayap angin menyeret aroma dedaunan
Dari pohon-pohon yang tumbuh subur
Di lubuk hati kami. Sungai keyakinan mengalir bening
Di sepanjang urat nadi kami.
Di Tubuhmu
Di tubuhmu jemariku merambat
Seperti kegelapan
Menyeret selimut malam dengan tenang
Pada kelopak matamu,
Pada dagu dan leher.
Dalam temaram lampu
Bibirmu berkilau bagai permata,
Napasmu hangat dan liar,
Aroma tubuhmu tak dimiliki perempuan mana pun
Kurapatkan daun telinga pada kulit dadamu
Kudengar derap kuda hasrat,
Berlari,
Meringkik dan memburu
Ciuman-ciumanku.
Ingin kukecup jantungmu
Seperti kecupan bibir ombak pada lambung perahu
Seperti air menetes pada batu,
Seperti kata-kata yang jatuh pelan-pelan
Ke jurang batinmu.
Sepasang tanganku adalah angin
yang tak letih mengembara
Sepasang tanganku
mengitari pinggang dan dadamu,
Kau terbuka bagai hidangan terakhir
Bagi pengemis lapar,
Kau terbuka bagai pulau asing
Di mata Columbus
Kutelusuri tiap jalan pada peta tubuhmu
Setapak demi setapak
Kumasuki hutan rahasiamu
Seperti kumasuki hutan tropis negeriku
Kudaki bukit-bukit keagunganmu
Putingmu yang tegak dan
Dingin menikam kalbu
Kulepas mantel keyakinan
Surga-neraka adalah bayang
Yang timbul tenggelam
Tiap kali matamu terbuka
Dan terpejam.
Lagu Pengembara
Akulah pengembara yang tersesat
Di negeri yang penuh peperangan
Setiap jalan yang kulalui
Mengantarku ke medan laga
Setiap kali kupandang langit biru,
Langit menghujani tanah ini
Dengan bom dan duka lara
Tanah ini penuh ledakan
Kudengar angin menjerit
Di gurun sejarah
Setan-setan mengenakan jubah keyakinan
Mereka turun ke batin orang-orang
Seorang ibu berjalan tanpa arah
Di pangkuannya, ada bayi menjeritkan tangis penghabisan
Seorang lelaki kehilangan kakinya,
Mengerang dan memanggil-manggil nama
Yang telah tiada
Musim-musim runtuh
Ajal berpesta di lengan hari
Arwah-arwah mencari jalan ke langit
Sedang aku berkelana seorang diri
Antara kehidupan dan kematian
Hari-hari perlahan membusuk di tanah ini
Kuseret jiwaku
Sepanjang napas waktu.
Bersandar Pada Kata
Dunia telah mengubur ribuan hikayat
Dan menenggelamkan ribuan dongeng ke dasar waktu
Orang-orang menanam gedung dan menara tinggi
Di bumi yang letih dan hilang arti
Masih kusandarkan detak jantungku pada kata
Keriangan dan kesedihan menjadi nyanyian
Yang dilantunkan angin di panggung musim
Aku tak akan menyerah menapak jalan ini
Mendorong batu peristiwa ke langit bahasa
Menjatuhkannya kembali ke jurang sunyi
Mendorong batu peristiwa ke langit jiwa
Menjatuhkannya kembali ke jurang bunyi
Sebab satu-satunya cara mencintai kehidupan
Adalah dengan menikmati segenap kutukan
Nasib yang digariskan di telapak tangan
Adalah firman yang remuk di genggaman.
- Puisi-Puisi Irwan Segara; Di Tubuhmu - 13 March 2018