Buku Harian Terakhir

PAKET itu kutemukan tergeletak di lantai di luar pintu rumah ketika aku pulang kantor pukul 10-an malam. Paket yang aneh: tanpa alamat, hanya ada nama tujuan (namaku), tanpa nama dan alamat pengirim, dan cap posnya bulan Januari 1985. Tiga puluh tahun dan baru sampai? Ah, bercanda. Pasti seseorang sedang bermain-main. Bisa saja dia bersekongkol dengan orang kantor pos. Lagi pula, bagaimana bisa sampai kalau tidak ada alamat tujuan?

Apakah istriku tidak tahu ketika seseorang datang membawa paket ini? Kami tinggal berdua di sebuah kompleks perumahan. Dua anak kami kuliah di kota lain. Aku biasa pulang malam—maklumlah, kerja di sebuah surat kabar harian—ketika istriku kadang sudah tidur.

Paket buku, pikirku. Bentuknya persegi panjang, tebalnya sekitar satu setengah sentimeter, sudah termasuk kertas tebal pembungkus paket. Kalau benar buku, memang tidak aneh. Aku sering mendapat kiriman buku, baik dari penerbit sebagai bahan resensi maupun kiriman atas pembelianku secara online.

Tapi apakah aku pernah membeli buku secara online tiga puluh tahun lalu? Pasti saat itu belum ada toko buku online. Dan tentu saja belum ada internet!

Kusobek kertas pembungkus paket itu, kertas cokelat yang sudah kusam dan rapuh, menunjukkan bahwa kertas itu sudah berumur panjang—entah sudah dipegang berapa tangan dan berapa tahun diterpa udara atau terkena matahari atau tersimpan di gudang. Isinya bukan buku cetak seperti dugaanku, melainkan buku tulis bersampul tebal. Warna sampulnya biru tua polos dengan tempelan kertas putih persegi panjang di paruh bagian atas. Tapi tak ada tulisan apa pun di kertas putih persegi panjang itu. Keempat sudutnya sudah aus, menegaskan usia buku itu.

Halaman pertama buku itu diawali tulisan tangan dengan pulpen bertinta hitam yang masih jelas terbaca meski sudah agak pudar: Senin, 1 Januari 1984. Itu masa ketika aku kelas tiga SMP. Di bawahnya kubaca tulisan tangan juga: “Sekolah masih libur. Jadi malam ini aku belum mau belajar. Aku berjalan dengan dada berdebar menuju rumahmu. Tapi aku hanya terpaku di bawah pohon jambu. Gelap rumahmu karena tidak ada nyala lampu. Aku pulang dan tetap bahagia meskipun hanya melihat rumahmu….”

Sepenggal adegan yang menggelikan….

Tapi…, ya, Tuhan, rasanya aku mengenal tulisan tangan dan adegan yang ditulis. Itu tulisan tanganku sendiri dan rasanya aku pernah mengalami peristiwa seperti itu. Aku mengenal bentuk tulisanku tak ubahnya seperti aku mengenal wajahku sendiri. Sejak sekolah dasar aku selalu mendapat nilai delapan dalam pelajaran menulis halus. Jika Pak atau Bu Guru berhalangan, aku sering diminta untuk menuliskan pelajaran di papan tulis.

Tulisan di buku itu rapi meskipun terkesan ditulis dengan cepat. Sekilas mirip tulisan ibuku. Bedanya, tulisan ibuku miring, khas orang-orang zaman dulu, sedangkan tulisanku tegak. Tentu saja ada perubahan bentuk tulisan ketika aku baru belajar menulis di kelas satu dan kelas-kelas terakhir SD, ketika SMP, saat SMA, dan seterusnya. Namun bentuk dasarnya tetap.

Ketika kubuka halaman demi halaman, hampir semua halaman buku itu, sampai halaman terakhir, berisi tulisan tangan yang benar-benar mirip tulisan tanganku. Buku itu diakhiri dengan catatan tanggal 31 Desember 1984. Ketika kubuka kira-kira di bagian tengah, kubaca catatan tanggal 18 Mei 1984: “Matahari masih menggantung rendah di atas Gunung Slamet di timur ketika pertama kali kami berangkat. Ke arah mentari aku menuju, menjauhi desaku di barat. Di Pertigaan Bumiayu, kami turun, lalu menyetop mobil colt serupa menuju Purwokerto….”

Ya, Tuhan, itu hari ketika aku pergi ke Yogya untuk kali pertama, hendak meneruskan sekolah di SMA. Selama ini aku tidak pernah mengingatnya.

Jadi, buku harian rupanya. Buku harian selama setahun, mulai pertengahan kelas tiga SMP hingga pertengahan kelas satu SMA. Apakah “aku” dalam buku itu benar-benar aku? Apakah aku yang menulisnya? Bagaimana bisa? Seingatku, aku tidak pernah menulis buku harian—atau buku harian seperti itu di buku tulis tebal bersampul biru. Apakah aku lupa pernah menulisnya?

Aku memang senang menulis puisi, cerpen (atau begitulah menurutku saat itu), atau apa saja di buku tulis, dan aku selalu mencatat tanggal, bulan, dan tahun penulisannya, di bagian akhir tulisan. Tapi aku tidak menulis buku harian, apalagi selengkap dan serapi itu.

Apakah selama ini aku telah kehilangan banyak kenangan? Mungkinkah aku sebenarnya mengidap amnesia—entah ringan entah berat?

Melalui halaman demi halaman buku itu, dua jam aku disedot mesin waktu menuju puluhan tahun lalu. Aku juga serasa menonton film remaja lama dengan peran utama diriku sendiri. Hampir semua peristiwa diceritakan, hampir tiap hari, kecuali ketika sakit. Semua peristiwa itu ditulis dengan pulpen yang tintanya berganti-ganti warna: biru, hitam, dan merah. Mungkin dengan pulpen three in one: tiga warna dalam satu pulpen.

Aku nyaris tidak bisa tidur memikirkan teka-teki buku harian itu dan semua kejadian yang tercatat di dalamnya: tulisan itu tersusun dengan rapi, dengan kata-kata terpilih dan kalimat-kalimat yang runtut dan enak dibaca. Benarkah aku waktu itu mampu menulis seperti itu? Rasanya tidak. Nilai pelajaran mengarangku paling tinggi tujuh saja.

Barulah setelah bangun—kesiangan—aku mulai dapat melupakan teka-teki itu. Sudah pukul sembilan dan istriku tentu saja sudah ada di sekolahnya. Mungkin sedang memberikan pelajaran di depan para siswa. Di meja sudah tersedia nasi goreng dengan telur mata sapi dan kerupuk ikan tenggiri. Sudah dingin, tapi bukan masalah besar. Persoalan sehari-hari kemudian menenggelamkan teka-teki buku harian itu. “Kang, tolong benerin keran di dapur, ya,” SMS istriku. “Pah, tolong transfer, ya, buat beli buku dan jaket himpunan,” pesan WhatsApp anak pertamaku.

Malamnya, ketika aku pulang kantor pada jam yang lebih kurang sama, kutemukan paket lagi di depan pintu. Melihat kertas bungkusnya yang sudah kusam, aku jadi ingat kiriman paket sebelumnya. Benar saja: cap pos paket itu bulan Januari 1986.

Mungkin aku harus menanyakan ke Kantor Pos dan menelusuri bagaimana mungkin paket yang dikirim puluhan tahun lalu baru sampai sekarang. Dua kali pula.

Buku yang kedua ini sama tebalnya, sekitar satu setengah senti. Sampulnya juga tebal, warna cokelat dengan motif batik parang kusuma. Seperti buku sebelumnya, buku ini diawali langsung dengan tanggal, bulan, dan tahun: 1 Januari 1985, dan diakhiri tanggal 31 Desember 1985. Itu artinya catatan harian selama setahun mulai pertengahan kelas satu hingga pertengahan kelas dua SMA. Astaga… bagaimana mungkin? Sekali lagi, seingatku, aku tak pernah menulis buku harian selengkap itu. Lagi pula, aku tidak pernah punya buku tulis dengan sampul tebal.

Hampir dua jam pula aku serasa kembali ke masa remaja melalui halaman demi halaman buku harian: masa mulai berani malu naksir cewek di kelas, belajar mencuci di kosan, nyaris berkelahi dengan teman sekelas, mendapat nilai nol, mulai merokok karena diajak teman, kena hukuman karena ikut bolos, dipinjami buku Valentino, dan seterusnya. Seperti di buku sebelumnya, hampir semua peristiwa dituliskan cukup detail, hampir tiap hari, kecuali ketika sakit. Dan seperti di buku pertama, semua peristiwa itu ditulis dengan pulpen three in one: biru, hitam, dan merah.

Tunggu. Ada yang berbeda dari buku sebelumnya.

Penggunaan tiga warna itu bukan kebetulan supaya lebih indah. Kubaca lagi dari awal dengan cepat.

Aku berdebar. Meski tidak terlampau mencolok bedanya, tulisan dengan pulpen merah rasanya lebih banyak dibandingkan dengan warna lainnya. Jadi, ada maksud tertentu dari perbedaan warna itu.

Namun aku tidak sempat menelusuri lebih lanjut karena jam sudah menunjukkan pukul satu dan kepala rasanya pening. Aku mencoba tidur dengan mendekap istriku dari belakang. Meski agak lama, akhirnya aku tertidur juga. Paginya, seperti hari-hari sebelumnya, hidup terus bergulir dengan persoalan sehari-hari yang tak pernah berhenti sehingga dengan cepat aku melupakan buku harian itu.

Namun malamnya, paket yang baru kutemukan lagi di depan pintu ketika aku pulang kantor. Cap posnya: Januari 1987.

Buku yang sama tebalnya dengan buku sebelumnya, tapi dengan sampul depan bercorak batik biru tua. Aku hanya melihat tanggal catatan pertama, 1 Januari 1986, dan tanggal terakhir, 31 Desember 1986. Itu berarti catatan harian selama setahun mulai pertengahan kelas dua hingga pertengahan kelas tiga SMA.

Sudah tiga buku catatan harian tentang tiga tahun masa remaja. Apakah akan datang lagi buku-buku berikutnya?

Benar saja. Malam berikutnya, paket itu kutemukan, seperti biasa, di depan pintu tanpa aku tahu jam berapa tukang pos datang. Selanjutnya, paket yang serupa kutemukan setiap malam. Aku makin yakin si pembawa paket bukanlah tukang pos yang biasa mengantar surat atau paket biasa. Tak mungkin tukang pos membawa paket malam-malam.

Tapi siapa?

Di hari Minggu, hari liburku, pernah kucoba mengintip untuk melihat siapa yang membawa paket itu. Tapi aku tak memergokinya. Tahu-tahu paket itu sudah ada di depan pintu—mungkin ketika aku ke kamar kecil sebentar. Dengan bantuan seorang teman yang ahli, aku juga memasang CCTV, yang diarahkan khusus ke depan pintu. Dan hasilnya tetap. CCTV itu mati pada saat tertentu dan ketika menyala lagi paket itu sudah ada.

Setelah kira-kira sebulan, buku harian pun makin berderet di rak buku. Satu buku berisi catatan setahun. Sudah sekitar tiga puluh buku. Berarti catatan harian selama sekitar tiga puluh tahun. Sebagian besar sudah kubaca, tapi aku belum bilang istriku. Mungkin menunggu waktu nanti kuberi tahu. Sudah semakin tak masuk akal saja: aku makin yakin tidak pernah menulis buku harian sebanyak itu. Tapi pikiranku buntu mengenai siapa yang menulisnya dan apa maksudnya.

Bukannya senang membaca catatan harianku, aku malah makin lama makin serasa diteror. Aku diteror oleh buku harian—lebih tepatnya oleh teka-teki tentang siapa sebenarnya yang menulis dan siapa yang mengantar, serta isinya: makin lama tulisan dengan pulpen merah makin banyak saja. Jelas tulisan dengan tinta merah berisi catatan kejadian dan kegiatan buruk. Yang sebaliknya ditulis dengan pulpen biru. Pulpen hitam lebih banyak menuliskan kegiatan netral atau opini, baik opini orang lain maupun opini pribadi.

Buku terakhir yang sudah kuterima memiliki cap pos Januari tahun lalu. Artinya, tinggal satu buku lagi yang kutunggu.

Anehnya, setelah buku yang terakhir, kutunggu dua, tiga, empat, bahkan sampai lebih dari seminggu belum juga datang. Apakah buku terakhir itu tak akan tiba? Atau sengaja memberikan kesempatan bagiku untuk membaca buku-buku yang sudah kuterima dan merenungkan semua isinya?

Aku pasrah akhirnya. Tak dapat lagi menebak-nebak siapa yang menulis, siapa yang mengirim, dan apa maksudnya. Sudah kutanyakan ke kantor pos, tapi orang kantor pos bilang tidak mungkin ada paket tanpa alamat yang bisa datang dengan tepat.

Tepat sepuluh hari sejak kedatangan buku harian terakhir, aku pulang hampir pukul sebelas malam dan di depan rumah sudah menunggu dua lelaki berpakaian rapi. Tamu malam-malam? Ada apa?

Dilihat dari usianya, mungkin sekitar 30-an. Wajah mereka sama-sama tampan dan bersih.

“Siapa kalian?”

Salah satu dari mereka melangkah menyambutku. “Kami berniat memberikan buku ini langsung kepada Bapak. Buku harian terakhir Bapak. Kami akan menunggu sampai Bapak membaca tuntas buku ini.” Orang itu tersenyum. “O, ya, nama saya Rakib. Ini teman saya, Atid.”

Aku ternganga.

“Dan kalau sudah Bapak baca, nanti ada teman kami yang ke sini.”

Mendadak lututku gemetar tak tertahan. “Si … siapa?”

“Teman kami nanti namanya Izrail.” ***

Hermawan Aksan
Latest posts by Hermawan Aksan (see all)

Comments

  1. Nadia Reply

    Apakah buku tersebut mencerminkan amal dari si bapak yang dilihat dari warna pulpennya?

    • Liana Reply

      Mungkinkah tinta merah itu untuk keburukannya si tokoh utama?

  2. Rumaisha Khan Reply

    Penasaran sampai ke akhir, ternyata alurnya menarik.

  3. Makiyah Heriyanto Reply

    Jadi takut

  4. aria setia Reply

    Dari awal pikiran saya melayang ke mana-mana. Apakah ini cerita horor? atau science fiction? dan di akhir cerita saya jadi deg-degan.. 😀

  5. andriana Reply

    alur yang menarik. bikin penasaran ketika membacanya.

  6. nazz Reply

    kereeenn cerpennyaa

    • Ayu Reply

      Ga nyangka

  7. fitman Reply

    buku harian mulai di tulis ketika kelas 3 SMP atau seorang anak memasuki usia Baliq,

  8. sa Reply

    Benar-benar bikin merinding.

  9. Niskala Kelana Reply

    Wahhh

Leave a Reply to Liana Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!