Puisi-Puisi Kiki Sulistyo

 

Lilin Strawberi

pernah ada saat di mana pohon-pohon

membuat naungan bagi jalan, dan kita

berjalan untuk melupakan lilin dalam kamar

kau merah strawberi dipadamkan api

lidah naga yang kubangkitkan dalam mimpi

akan masih kau kenang tangan yang saling

melepaskan, cuaca membuat kapal-kapal

bergerak ke luar lintasan.

akan masih kukenang apa yang telah dibaringkan

dengan mata terbuka, menangkap tiap tanda

selintas nyala, bunyi cinta yang retak di batu kata

pernah ada saat di mana jalan menghapus

semua pepohonan. kita binatang bimbang

mencari untuk menghilang dalam kumpulan

tak kutandai lagi bintik api di merah strawberi

tak kaudengar lagi lidah yang lelah menerangi

(2022)

 

Jaco Pastorius

ia mendengar laporan cuaca dalam komposisi jaz

untuk tunawisma. badai akan datang, perkelahian

di bar murah. seseorang mati dan para musisi jadi tuli

enam senar heroin menyembunyikan skizofrenia

di mana rumah? gramofon yang membunyikan

piring untuk perbudakan.  orang-orang kulit hitam

menyeret blues dari ladang-ladang kapas

tapi rambutnya terang kolonial, kulitnya putih

penindasan. maka bercukur ia, setelah membuang

sumber suara ke laut Hiroshima.

jari-jarinya bisu, mulutnya cuma membilang:

“beri aku pekerjaan!”

badai sudah datang. di bar murah, jaz regular

membangkitkan hantu-hantu pendahulu.

di mana rumah? seseorang mati berkali-kali

untuk membunuh binatang pop dalam dirinya.

(2022)

 

Juni

Juni, aku sedang berjalan dalam lukisan

tentang perang. batas kemunculanmu

belum juga terang. ada pengungsi menghadap

dinding. menghitung nama-nama bulan.

kakiku menuju perundingan, tapi tak ada

tempat berlindung bagi perawan yang ditolak

dunia.

Juni, akrilik demikian tenang, membawa bunyi

mesin tik ke dalam gaun merahku.

ke mana berjalannya hujan, sedang para penjahat

telah bersijingkat, mencuri semua payung

dari pos perbatasan. aku bermimpi,

melihat kupu-kupu hinggap di ujung jari

sayapnya basah, warna-warna memekarkan

derita.

Juni, aku belum sampai. kenapa pintu ditutup

dan penjaga mematikan semua cahaya?

aku mendengar suara kuas bergerak,

seperti batu yang digelindingkan, dinaikkan,

digelindingkan lagi.  

 (2022)

 

 

Empat Setengah Milyar Tahun 

empat setengah milyar tahun untuk Tara bersinar

tapi padaku ia berkata: “aku tak bisa

menjadi matahari.”

ia memang bukan matahari. ia mungkin bunga

matahari yang diciptakan Vincent dari telinganya

sendiri. aku ingat bagaimana laki-laki itu mati

setiap kali malam mengombak, beri biru

bagi dinding kesunyianku.

tapi padaku ia berkata: “mungkin ia juga matahari.”

ia memang matahari. bintang katai yang mati

menembak perutnya sendiri. dunia jadi terang

setelahnya. di mana manusia bangkit bekerja.

membuat cinta, dan percaya, itulah satu-satunya

sumber cahaya.

empat setengah milyar tahun dinding kesunyian

dibangun. tapi padaku Tara berkata:

“aku tak bisa menjadi mungkin.”

(2022)

 

 

Di Bawah Arus Kesadaran

kaujentikkan jari, dan sungai-sungai meninggi

sekarang saatnya pagi jatuh ke mangkuk

di mana seorang pemancing duduk

menanti tiba, nabi yang buta

kaulihat aku terpejam menerima semua ajaran

kata-kata telah disucikan, dengan darah

dan wahyu, meski kautampik pula ikan-ikan

ketika mereka datang memikul salam

saatnya bernyanyi, kini, di bawah arus

kesadaran, mangkuk takkan pecah

biar sepalu sumpah mengayun di lidah

dan paku palang menyakiti suaramu

kudengar kau mulai menari, meniru kail,

di jantung kali, aku menanti di batu ini

pijar matahari membuat matamu nyala

mata seorang nabi, sempurna buta.

(2022)

 

 

Tikar Pandan dari Hutan   

tikar pandan dari hutan, dibawa terbang

burung malam, untuk ratu, karang telanjang

mengangakan liang lautan.

ada sampan si yatim, tersesat sendirian

kehilangan tanda bintang. awan meleleh

dari mata angkasa, membutakan tiap

pelayaran.

tapi hikayat selalu menemu simpang

untuk apa daratan, jika di keluasan itu

ranjang berayun, membuat dunia jadi

ringan, dan yang mustahil, cuma sekecil

kerling.

tikar pandan dari hutan masih menyimpan

napas dedaunan. dengan itu cinta dibangkitkan

di liang karang, di batang sampan, dan ratu

berlagu, meniru salam burung malam, si yatim

yang tak lagi mencari arah pulang.    

 (2022)   

 

 

Kucari Kitab ke Dua Pasar

  1. pasar gunungsari, pasar di jalan kecil,

belok kiri dari perempatan tempat seorang

ustaz pernah sembunyi. di situ sampah

serupa rempah-rempah, orang lalu lalang

bagai mamalia tak bersarang.

tak ada kitab, ada hanya buruh-buruh

bersepatu berat, mengangkat beban,

  • pasar bonroek, pasar yang robek oleh mulut

ojek. sekarang tidak boleh parkir di dalam. di depan

ada sekolah menengah. para remaja membayangkan

pendidikan sebagai zat kimia. tubuh mereka penuh

kurikulum, surga dipindah dari kaki ibu ke tangan guru.

tak ada kitab, ada hanya kios-kios pulsa

menyimpan sinyal untuk setiap nasib sial.

(2022)

Kiki Sulistyo
Latest posts by Kiki Sulistyo (see all)

Comments

  1. Deni herdiana Reply

    Puisi yang sangat indah, semoga saja puisi yang saya kirimkan bisa di publish disini juga aminn.

    • Ibnu sya'nah Reply

      Pengharapan kita sama kak

  2. Ujianto Sadewa Reply

    Mengapa ada diksi laporan cuaca dalam puisi Jaco Pastorius? Karena Jaco memang tergabung dalam grup jaz bernama Weather Report. Jaco Pastorius, sebuah puisi yang indah. Kiki mengangkat ketokohan pemain bas dan pencipta lagu jaz legendaris, mengingatkan saya pada penyair Adhimas dan Nandang R Pamungkas yang juga pernah mengangkat tema pemain jaz legendaris ke dalam puisi mereka.

    • Ujianto Sadewa Reply

      Maksud saya puisi Kiki berjudul Jaco Pastorius

  3. Mendena Singkil Reply

    Terima kasih atas puisi-puisinya. Saya banyak belajar dari puisi-puisi ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!