O, Primata
dari jendela, dinding bata rumah tetangga memisahkan
ia dengan dunia. ia hirup bunyi-bunyi doa, nukilan kitab
yang dinyanyikan dengan pelantang suara. o, primata,
katakan: apakah air jatuh seperti butir atau terjulur
seperti tali.
pukul 15:15, kucing bersijingkat dalam dengung hujan
tulang-tulang ikan tersusun kembali sebagai cakar di kaki
tapi binatang itu sudah jinak, sebagaimana ia, manakala
di seberang dinding bata, tetangga menggugurkan daun
jendela untuk musim yang menyalak tiba-tiba.
kemarin, dikunjunginya si mati. hari ini, ditinggalkannya
si hidup, dan runcing kutub antara keduanya telah
melukai yang berlalu. o, primata, selalu kini, selalu
di sini, butir atau tali tak penting lagi, cakar di kaki
mengembalikannya ke depan, melontarkannya ke belakang,
ke bisu tulang-tulang.
(2022)
Paku Kata
dengan paku kata, kaugurat dinding hampa
satu rahasia terbuka dan melompatlah dunia
mungkin itu peta, itu petunjuk bagi siapa saja
yang diciptakan oleh bahasa dengan menyebut
namanya; ia, yang bukan apa-apa.
lalu kau bernapas di dalamnya, terpejam dan kembali
membayangkan, ada penciptaan, ada yang dijatuhkan
setelah sebutir pengetahuan membekas di bidang dada
kepalang luka, selalu ada lubang-lubang disembunyikan,
maka kausebutlah kelahiran; jalan melingkar
untuk mengingkari bahwa sesungguhnya
kau bukan apa-apa
sebagaimana ia.
maka, dengan paku kata, kaugurat dinding hampa
satu rahasia mesti dirahasiakan, supaya ia
membuat kau tetap ada, membuat ia selalu terbuka
untuk diciptakan.
(2022)
Terlalu Banyak Kafe untuk Terlalu Sedikit Puisi
kupanggil kau di satu kafe, kau memanggilku
di kafe lainnya; banyak sekali kafe di kota kecil ini
terlalu banyak kafe untuk terlalu sedikit puisi
dalam puisi tak ada kursi-kursi, cuma ada bubuk api
tinggal kau taburkan, dan kata-kata mendidih
dengan sendirinya. tapi kata-kata tak bisa membuatmu
bergembira, kata-kata membuatmu mesti menyiapkan
bahtera; melihat air belajar berenang di keluasan
cangkir.
kupanggil kau seakan mengigau, kaubaca menu
dengan menyebut namaku. kafe itu jadi kuil
tempatmu memuja ketiadaanku. kafe ini jadi
candi untukku mengenang penciptaanmu.
tapi di dalam puisi, laut meruapkan wangi kopi
ke langit pagi, akan jatuh nanti, membasahi bunyi
yang kudengar dalam mimpi
membasuh mimpi yang kaubunyikan
berkali-kali
(2022)
Di Lubang Tambang
di lubang tambang kauhidu bau rambut anakmu
serupa bau maut, selembut tabir kabut
fajar yang benderang baru saja melintas
tangannya ringan terayun nyanyian dari hutan
para leluhur telah mengetuk tidurmu semalaman
tapi tangan istrimu teramat hangat, bikin padam
api malam.
semenjak tanah dibongkar, sebintang jalan kelihatan
terang. barangkali dapat kaujentik, dan terbentang
ladang keemasan. anakmu akan memakai gaun kekupu,
istrimu akan berlagu securah madu.
tapi bintang bisa jatuh, tanah bisa runtuh, tak sempat
kaulontar sisa pengharapan, ketiga gelap, cuma gelap
bersidekap seperti pemimpin yang zalim, mengisapmu
ke dalam, hingga tak bisa kaulihat, di luar sana,
api malam, bangkit dari mulut istrimu, dari jerit anakmu.
(2022)
Pascakolonial
dengan bobot baru kau keluar dari cerminku
temperatur tak membiarkanmu larut,
sosokmu yang dingin cocok untuk melintasi
tangga spiral menuju kamar lain,
tempat ia yang terbaring, menanti kemerdekaan
jatuh dari lidahku.
tapi kau tertahan, gaunmu mekar bagai payung mawar.
di luar, kelelawar bercicit pada tiang gantungan.
hantu para budak terus menyiangi ladang.
belum kaubilas sejarahku dengan darah
dari perang-perang terdahulu.
lihat kulitku, putih lagi cemerlang, bukan?
aku tak tahu bagaimana cara merenggutmu,
ia yang terbaring kini telah bangkit
berdandan di depanmu, meniru kekuasaanmu,
menyiapkan jam proklamasi untuk diumumkan
melalui lidahku.
(2022)
Untuk Bunyi Retak di Pucuk Senapan Itu
untuk bunyi retak di pucuk senapan itu
kau akan mencium rasa sakit dari darah
yang meresap ke tanah gelap, menjelang
tertutupnya lanskap.
semua sudah di sana, telanjur ada
menghadapi kabar buruk tanpa jalan
memutar ke lain fajar.
adakah matahari tadi adalah matahari nanti?
dalam ketiadaan cahaya, kaki-kaki waktu
demikian berat terangkat, kau mendengarnya
dan membayangkan jangkar terbenam di dasar
sebentang segara, dengan peri-peri karang
ringan dan telanjang; di latar belakang
bom cendawan meledakkan dinding awan
untuk siapa kata-kata yang kau pertahankan?
(2022)
- Puisi-Puisi Kiki Sulistyo - 15 November 2022
- Kelipatan Waktu - 2 September 2022
- Puisi-Puisi Kiki Sulistyo - 5 July 2022
Andy SW
Uwuwuwuw… Berwibawa ala Poskolonial. Fufufuu…