Beliau adalah Muhammad bin Ja’far Abubakar asy-Syabhi. Beliau merupakan bagian dari golongan para pemuda di Nisapur. Beliau bersahabat dengan Syaikh Abu ‘Utsman al-Hiri. Beliau wafat pada tahun 360 Hijriah.
Jarang sekali adanya penjelasan tentang beliau. Saya menemukan sedikit nuktah tentang beliau hanya berada di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami. Saya tidak mendapatkannya termaktub di dalam kitab-kitab thabaqat yang lain.
Tidak ada dalam Kitab Thabaqat as-Sufiyyah. Tidak ada dalam Kitab Manaqib al-Abrar. Tidak ada dalam Kitab Thabaqat al-Awliya’. Tidak ada dalam Kitab Thabaqat asy-Sya’rani. Tidak ada dalam Kitab al-Kawakib ad-Durriyyah. Tidak ada juga dalam Kitab Hilyah al-Awliya’. Semua kitab itu menampung biografi para sufi.
Tapi tak apalah. Satu ungkapan beliau yang termaktub dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi telah menjadikan saya tergerak untuk menulis tentang beliau. Bukan lantaran apa pun yang lain, tapi murni semata karena kalimat beliau yang bagi saya pribadi sangat kuat kandungan maknanya.
Apa kalimat yang telah disampaikan oleh beliau? Tidak lain beliau telah menyatakan bahwa keluhuran itu adalah akhlak yang indah dan menganugerahkan segala yang baik terhadap sesama. Sebuah kalimat yang terdengar sangat biasa dan mungkin selalu kita dapatkan di dalam kehidupan ini.
Padahal efeknya sangat jelas bagi kita semua. Seandainya kita telah mendapatkan akhlak yang indah itu, baik secara vertikal maupun secara horizontal, tentu kita akan merasakan tentang betapa indahnya hidup ini. Tidak ada rasa kemaruk. Tidak ada rasa iri dan dengki kepada siapa pun. Tidak ada kedongkolan hati. Tidak ada penyakit hati apa pun yang lain.
Pada saat yang bersamaan, hati kita akan senantiasa berkhidmat kepada Allah Ta’ala, begitu lengket dengan hadirat-Nya, tidak pernah mengalami kesenggangan sedikit pun baik di dalam jaga maupun di saat tidur. Sedangkan terhadap umat manusia, kita senantiasa memberikan semua yang terbaik. Hati kita begitu jembar. Pikiran kita menjelma cakrawala yang tidak terhingga. Sanggup menampung segalanya.
Tidak ada beban apa pun di dalam diri kita. Karena telah menjadi jelas bagi kita bahwa seluruh gerakan kita bukanlah kita yang telah memandunya, melainkan mutlak datang dari arah hadirat-Nya, bukan dari segala sesuatu yang lain. Karena apa yang disebut sebagai yang lain itu hakikatnya murni tiada.
Selain hal-ihwal tersebut, kita akan dengan senang hati memberikan segala yang terbaik kepada sesama sebagai suatu tindakan yang akan menjadikan siapa saja merasa gembira karenanya. Tidak ada sedikit pun hambatan di dalam diri kita, sepenuhnya telah menjadi tiada.
Bukan saja kita telah menjadi baik ketika bersikap demikian, tapi sepenuhnya sudah tidak ada dimensi kekitaan lagi. Yang tetap ada dan eksis adalah dimensi keilahian yang tetap tertampung di dalam diri kita, di dalam kehidupan kita. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Hasan al-Hamadzani - 13 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #3 - 6 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #2 - 29 November 2024