Hari ini ia kembali memarahiku. Toko sedang ramai dikunjungi oleh pembeli. Ada lima perempuan beragam umur berkeliling toko, mengamati rak demi rak, memilih barang-barang yang mereka cari. Seorang perempuan tua bertubuh pendek dengan rambut dipenuhi uban memintaku mengambilkan sebuah barang dari rak atas ketika Bu Maria—bosku—berteriak dengan suara yang menggetarkan sepenjuru toko.
“Mardi! Cepat keluar! Ada barang datang.”
“Sebentar lagi saya akan ke sana, Bu.”
“Dasar kunyuk! Kenapa kamu tidak langsung saja turuti perintah saya, heh?!”
Aku tidak menyahuti perkataannya. Ia mengatakan semua itu dari meja kasir. Sementara aku berada di bagian tengah toko. Ada banyak tumpukan barang dan rak yang menghalangi pandangan Bu Maria terhadapku. Namun ia tahu ia bisa memanggilku kapan saja dengan suara lantangnya. Ia tak mau peduli sedikit pun pada apa yang kulakukan. Kalau aku tak langsung mematuhi perintahnya, ia akan mencercaku dan tak segan mempermalukanku di depan banyak orang. Padahal apa yang membuatku tertahan dari segera mematuhi perintahnya adalah pekerjaan lain—pekerjaan yang kuperbuat untuk keuntungan tokonya dan dirinya sendiri.
Sambil pura-pura menganggap tidak ada hal buruk terjadi, aku mengambilkan barang yang diminta oleh perempuan tua. Setelah aku menyerahkan barang itu kepadanya, perempuan tua itu menepuk-nepuk pundakku seraya menasihatiku supaya sabar. Aku mengangguk demi kesopanan. Segera selepas itu aku pergi ke luar. Mobil box berisi stok-stok produk baru sudah terparkir di halaman toko. Ada beberapa kardus besar yang menunggu untuk kubawa ke dalam toko. Meskipun pundakku sudah terbiasa menanggung kardus-kardus itu, tetap saja ini bukan pekerjaan enteng.
Kernet mobil box mengeluarkan kardus-kardus dari dalam mobil. Kuhitung ada dua puluh kardus dengan berat rata-rata dua puluh kilogram. Aku mengangkutnya satu per satu ke dalam toko. Kardus-kardus awal selalu terasa lebih ringan. Namun, ocehan Bu Maria menggangguku. Berkali-kali ia memperingatkanku untuk berhati-hati, teliti, dan meletakkan barang di tempatnya. Hal tersebut tak akan jadi masalah seandainya ia mengucapkannya dengan baik-baik atau minimal santai belaka. Sayangnya bukan demikian tabiat Bu Maria. Ia mengutarakan semua peringatan itu dengan suara tinggi seolah-olah ia adalah ketua pasukan baris-berbaris dan aku adalah pasukannya yang baru belajar berbaris. Ia juga menyelingi tegurannya dengan beraneka makian yang membuatku geram sekaligus malu. Saat ada pelanggan di dekatnya, ia sengaja mengeraskan suaranya seolah-olah ingin menegaskan kepada semua orang betapa berkuasanya ia dan betapa payahnya diriku.
Semenjak bekerja di agen miliknya, aku belajar untuk tegar dan tak mudah memasukkan kata-kata buruknya ke dalam hati. Kadang-kadang aku berhasil melakukannya. Kadang-kadang aku tak bisa menahan rasa sakit yang menggumpal di dada, yang menjelma jadi keinginan untuk balas dendam. Bukan satu-dua kali aku berniat untuk membakar tokonya atau membunuhnya. Namun sebagaimana semua keinginan jahat, hal-hal semacam itu hanya melintas sekilas di benakku, ibarat colekan ringan seekor iblis.
Aku sudah membawa sebagian besar kardus ke dalam toko. Di sisi lain, Bu Maria sedang sibuk melayani pembeli yang mengantre di kasir. Kesibukan itu membuatnya berhenti mengocehiku untuk sejenak. Dengan kesadaran Bu Maria tidak terlalu memperhatikanku, aku sengaja memperlambat kerjaku. Bukannya aku malas. Aku hanya berusaha meringankan tugas tubuhku yang mulai kelelahan. Lagi pula, dengan membeludaknya pelanggan di dalam toko membuatku tak bisa bergerak luwes untuk memasukkan kardus-kardus.
Tinggal tiga kardus tersisa untuk kuangkut saat Bu Maria mulai mengocehiku lagi. Sudah tidak ada pelanggan di kasir. Bu Maria memandangiku dengan mata melotot, memeriksa kardus-kardus di luar.
“Ngapain saja kamu dari tadi, Mardi? Kok masih ada kardus di luar? Masih banyak kerjaan lain yang harus kamu lakukan, tolol! Kalau kamu selalu nggak becus begini, bisa bangkrut toko saya. Memangnya kalau toko saya bangkrut, kamu mau tanggung jawab, hah?”
Aku tidak menanggapi ocehannya. Akan tetapi kata-katanya membuat konsentrasiku berkurang. Saat sedang mengangkat salah satu kardus terbesar, aku membopongnya dengan cara yang kurang tepat, sehingga posisi kardus itu tidak seimbang di pundakku. Beratnya kardus dan lemahnya keseimbangan membuat kardus itu berdebam jatuh.
Begitu melihat apa yang barusan terjadi, Bu Maria berjalan keluar dari singgasananya di meja kasir. Ia bertolak pinggang, berdiri di depanku tanpa berkedip, dan melontarkan nama-nama binatang ke arahku.
“Saya minta maaf, Bu. Saya tidak sengaja.”
“Halah! Nggak ada gunanya kamu minta maaf. Kamu pikir dengan permintaan maafmu kardus yang kamu jatuhkan tadi jadi tidak jatuh, hah? Tidak. Kardus itu sudah jatuh. Barang-barang di dalamnya pasti berkurang mutunya. Dan itu artinya kerugian untuk toko saya. Kalau sudah begini, memang mau kamu ganti rugi?”
“Saya tidak akan mengulanginya lagi, Bu.”
“Memang sudah seharusnya begitu! Gila saja kalau kamu mengulanginya lagi.”
“Iya, Bu.”
“Iya iya saja bisanya. Kamu sadar dong, Mardi, sudah sering kamu melakukan kesalahan selama bekerja di sini. Kalau saya hitung-hitung, kesalahanmu itu sudah membuat saya rugi banyak. Bahkan, seharusnya saya tidak lagi menggajimu, karena total kerugian yang kamu lakukan untuk saya jauh lebih banyak daripada jumlah gajimu.”
“Tapi saya tidak pernah melakukan kesalahan yang fatal, Bu.”
“Apa? Kamu bilang kamu tidak pernah melakukan kesalahan fatal? Dasar anjing buta! Kamu ini memang nggak tahu diri. Sudahlah sering melakukan kesalahan, sekarang tidak mau mengakui kesalahan. Seandainya saya tidak baik hati, saya pasti sudah mengusirmu dari lama, Mardi. Dan saya yakin tidak akan ada orang di luar sana yang mau menerima orang tidak becus sepertimu sebagai pekerja.”
“Saya sudah berusaha sebisanya, Bu. Saya bukan orang tidak becus seperti yang Bu Maria bilang!”
Mendapati aku berani menyahuti kata-katanya dengan nada tinggi, Bu Maria tampak terkejut. Kemudian, tanpa kusangka ia menghadiahiku sebuah tamparan. Tamparan itu kencang sekali sehingga kepalaku terasa melayang sesaat. Pipiku memang sakit. Tapi ada bagian yang merasakan sakit lebih parah di dalam diriku. Aku tahu Bu Maria berperangai buruk dan membenciku. Namun aku tidak pernah mendapat perlakuan semacam ini. Ia memang kerap mengomeliku dan mencelaku, tapi ia tidak pernah melakukan kekerasan fisik kepadaku. Dan ketika ia menamparku, bagaikan ada minyak menyambar api yang tertanam jauh di dalam diriku.
Setelah menamparku, Bu Maria kembali ke mejanya tanpa berkata apa-apa. Aku juga kembali ke luar untuk mengangkat dua kardus yang tersisa. Sepanjang sisa hari itu aku tetap mengerjakan tugasku dan Bu Maria sibuk mengurus pekerjaannya di meja kasir. Bedanya Bu Maria tidak lagi melontarkan ucapan apa pun. Ia tak menyapaku, mengomeliku, atau menyuruhku melakukan suatu hal. Ia seolah menganggapku tidak ada, seolah-olah sesudah ia menamparku, diriku terkubur di dalam perut bumi.
Ketika toko sudah tutup, aku pamit kepadanya. Tetapi ia tak menyahut apa-apa. Segala ketakacuhannya itu semakin membuatku panas. Aku merencanakan sesuatu untuk esok hari. Aku tahu aku tak bisa terus diam saja. Meskipun aku memerlukan pekerjaan darinya dan tak punya gambaran harus bekerja di mana kalau bukan di tokonya, aku merasa harus ada sikap yang kuambil. Jika tidak, harga diriku akan semakin rendah di matanya. Aku tak mau itu terjadi. Memang aku hanya pegawai dan ia adalah bosku. Tetapi biarpun status aku dan ia berbeda, aku masihlah seorang manusia, yang mempunyai hak dan perasaan.
Setibanya di rumah kontrakan sempit yang terletak tak jauh dari agen sembako Bu Maria, aku menonjok-nonjok dinding rumah. Aku melakukan itu untuk mengeluarkan seluruh emosi yang terpendam. Aku tak bisa lagi memaklumi perbuatan Bu Maria kepadaku. Ia memang membayar gajiku tepat waktu, tak pernah memotong gajiku seenaknya, dan tidak memecatku secara semena-mena—setidaknya sampai hari ini. Namun kata-kata dan tindakannya betul-betul membuatku jengkel. Perlakuannya kepadaku sangat tidak sebanding dengan bayarannya kepadaku. Dan tamparannya tadi adalah puncaknya. Kalau aku mengingat caranya menamparku, rasanya aku ingin melahapnya hidup-hidup. Ia menamparku tanpa sedikit pun terlihat bahwa ia menyesal, bahwa tak sepatutnya ia melakukan itu terhadapku. Ia menamparku seakan-akan itulah hal paling wajar di dunia. Apalagi ketakacuhannya selepas itu semakin menunjukkan ia memang tidak menganggap keberadaanku—setidaknya ia tidak menganggapku sebagai manusia semestinya.
Malam itu aku memikirkan matang-matang rencanaku. Aku akan tetap berangkat kerja esok hari. Aku akan tetap melakukan tugas-tugasku. Ada satu hal baru yang akan kulakukan. Dan aku akan melakukan hal itu pada tengah hari, pada waktu ketika toko sedang sepi.
Keesokan harinya, suami dan anak perempuan Bu Maria berada di toko. Kadang-kadang suami Bu Maria memang ikut membantu Bu Maria mengurus toko. Berbeda dengan Bu Maria, suaminya tidak pernah mengomeliku sedikit pun. Suaminya tak banyak bicara. Sementara itu, anak Bu Maria yang masih berusia lima tahun hanya berlari-lari dan mengacak-acak barang kalau sedang berada di toko. Biasanya anak Bu Maria mendekam di rumah pribadi Bu Maria bersama pengasuhnya.
Sampai menjelang siang, tak ada peristiwa besar yang terjadi. Bu Maria masih mengomeliku dan mengataiku macam-macam, tapi jauh lebih sedikit dibandingkan kemarin. Jika suami dan anaknya berada di toko, sikap Bu Maria memang agak membaik—atau tepatnya ia berusaha menampilkan citra yang rada terpuji di hadapan suami dan anaknya. Tetapi suami dan anaknya tak pernah berlama-lama di toko. Beberapa saat sebelum tengah hari, suami Bu Maria membawa anaknya pulang.
Semakin siang toko semakin sepi. Biasanya pelanggan datang ketika toko baru buka ataupun akan tutup—pagi dan sore hari. Sementara siang hari adalah waktu di mana aku bisa sedikit bersantai dan mengerjakan tugas-tugas sepele seperti menata barang yang terletak bukan pada tempatnya atau membuang sampah. Namun siang hari itu adalah siang yang berbeda. Itu adalah siang yang kutunggu-tunggu sejak semalam. Siang yang akan tercatat dalam sejarah hidupku dan hidup Bu Maria.
Tepat tengah hari ketika udara sedang panas-panasnya, Bu Maria duduk di kursi plastik yang ada di meja kasir sambil mengipasi dirinya dengan kipas mainan milik anaknya. Diam-diam aku memperhatikannya. Bu Maria tampak kelelahan. Biasanya ia akan tidur sebentar di siang hari saat toko sedang sepi dan itulah yang sedang kutunggu-tunggu. Setelah sepuluh menit menunggu, kudapati Bu Maria tertidur di meja kasir dengan kepala beralaskan kedua tangannya yang terlipat. Waktu itu tidak ada satu pun pembeli. Aku menutup sedikit pintu geser toko. Ini adalah waktu yang tepat untuk menjalankan rencanaku.
Setelah memastikan tidak ada orang yang melintas atau berdiam di depan toko, aku melangkah pelan-pelan menuju meja kasir. Aku melangkah sambil mengingat-ingat semua perbuatan buruknya kepadaku. Semakin dekat diriku dengan meja kasir, semakin besar nyala api di dadaku. Sementara itu Bu Maria tampak tenang di kursinya. Ia tidak pernah tidur lama-lama, tapi tiap kali tidur ia selalu lelap. Dan aku harus memanfaatkan sebaik mungkin waktu yang ada.
Kini aku berada tepat di depan meja kasir. Aku bisa melihat wajah berminyak Bu Maria, alisnya yang diwarnai, serta jerawat-jerawat kecil di pipinya. Mulutnya yang tak pernah menunjukkan senyuman kepadaku tertutup rapat sebagaimana kedua matanya. Kudekatkan wajahku ke wajahnya sampai aku bisa merasakan embusan napasnya. Aku melakukan itu sehati-hati mungkin agar jangan sampai membuatnya terbangun. Lalu aku menuju ke belakang kursinya. Aku akan melaksanakan rencanaku sebaik-baiknya. Aku mengambil sepucuk sapu tangan dari saku celanaku. Aku mengangkat kedua tanganku dan membentangkannya lebar-lebar. Kini aku berada tepat di belakangnya, menatap dengan jelas rambut panjang nan tebalnya yang tersibak sehingga menampakkan lehernya. Tapi aku tidak akan melakukan apa pun pada lehernya. Aku tidak akan mencekiknya. Aku hanya ingin membekapnya, membuatnya meronta-ronta, membuatnya kehabisan napas, perlahan-lahan.
Kedua tanganku sudah berada di atas kepalanya. Aku sudah siap untuk membekapnya. Aku yakin kedua tanganku cukup kuat untuk membuat dirinya tak berdaya. Aku tak memerlukan pisau atau senjata api. Aku tak perlu membuat kehebohan. Aku hanya perlu menggunakan kedua tanganku dengan sedikit bantuan dari sapu tangan untuk melakukan rencanaku. Bu Maria bisa menamparku seenaknya dengan tangannya. Lantas, mengapa tidak aku membalasnya dengan tanganku juga. Kurasa itu sebuah pembalasan yang adil.
Tangan kananku yang memegang sapu tangan sudah tiba di depan mukanya. Sebentar lagi waktunya akan tiba. Embusan napas dan samar bau keringatnya dapat kurasakan. Setelah ini ia tidak akan bernapas lagi dan tak akan ada bau yang terembus dari tubuhnya selain bau busuk. Aku senang sekaligus gemetar membayangkan bahwa inilah hari terakhirku bersamanya.
Aku berhitung sampai tiga dalam hati. Aku akan menyelesaikan rencanaku di hitungan ketiga. Satu. Bu Maria masih terlelap, sapu tanganku semakin dekat ke mulutnya. Dua. Toko semakin hening, tubuhku semakin tegang. Ti … sebelum hitunganku selesai, tiba-tiba Bu Maria terbangun dan mengangkat kepalanya. Sapu tanganku masih berada persis di depan mukanya. Aku terlalu kaget sampai tak bisa berbuat apa-apa. Dengan ketenangan yang menakjubkan, Bu Maria memandangiku yang berdiri di belakang kursinya sambil bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Mardi?”
Aku tak bisa berkata apa-apa. Yang kutahu hanyalah rencanaku telah gagal. Aku mundur dan kembali ke tengah toko, ke tempat biasa aku melakukan pekerjaanku. Tak lama setelah itu, pembeli bermunculan.
Sepanjang sisa hari itu aku benar-benar gelisah. Yang membuatku semakin gelisah adalah sikap Bu Maria kepadaku. Tiba-tiba saja perangainya berubah. Setelah pembunuhan yang gagal itu, Bu Maria tak lagi mengomeliku apalagi menghinaku dengan nama hewan. Ia memperlakukanku dengan baik. Bahkan ia juga tersenyum kepadaku! Seharusnya aku gembira dengan perubahan sikapnya. Tetapi tidak. Yang ada aku malah cemas. Aku takut semua itu ia lakukan hanya untuk mengelabuiku. Aku takut setelah ini ia akan melaporkanku ke polisi dengan tuduhan telah melakukan upaya pembunuhan. Namun, aku pun tak bisa memastikan apakah tadi ia menyadari apa yang kulakukan terhadapnya atau tidak. Apakah ia tahu bahwa aku berniat membunuhnya? Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan sekarang dan aku juga tidak mungkin bertanya kepadanya soal itu.
Ketika toko sudah tutup dan aku hendak pulang ke rumah, Bu Maria menghampiriku.
“Ini sapu tanganmu, kan?”
Bu Maria menyerahkan kepadaku sapu tangan itu, sapu tangan yang tadinya kuniatkan sebagai alat untuk menghabisi nyawanya.
Aku mengambil sapu tanganku dengan perasaan ngeri. Aku khawatir ia telah menyadari semuanya. Aku takut kelembutan dan kebaikannya saat ini hanyalah bagian dari tipu dayanya untuk menjebakku.
“Lain kali kamu harus berhati-hati, Mardi. Jangan sampai sapu tanganmu terjatuh lagi.”
Aku tidak sanggup mengatakan apa pun. Aku berbalik arah, ingin cepat-cepat tiba di rumah dan merasakan kelegaan bahwa Bu Maria memang tidak menyadari kejadian siang tadi.
“Tunggu dulu, Mardi. Ada satu hal lagi yang ingin saya katakan kepadamu.”
Aku menoleh kepadanya. Ia memandangiku sambil tersenyum. Bu Maria masihlah seorang ibu muda. Jika diperhatikan baik-baik, wajahnya cantik. Namun, alih-alih terpesona dengan wajahnya, aku malah merasa takut. Aku takut sebentar lagi ia akan mengatakan bahwa ia tahu apa yang ingin kulakukan tadi siang, bahwa ia akan melaporkanku kepada polisi, bahwa ia akan membuatku menghabiskan sisa hidupku di dalam penjara.
“Terima kasih, Mardi.”
Itu yang ia katakan. Setelah itu, ia kembali ke dalam toko dan meninggalkanku terpaku sendirian. Aku tidak tahu apa maksud ucapannya. Apakah ini artinya aku sudah bisa merasa aman? Aku tak bisa memastikannya. Kenapa ia mengucapkan terima kasih kepadaku—sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya? Apakah ia mengucapkan itu lantaran kerjaku selama ini? Ataukah ia mengucapkan itu karena aku tak jadi membunuhnya? Kemungkinan terakhir membuatku bergidik. Aku berjalan cepat menuju rumah. Meskipun aku tak jadi membunuhnya, aku tahu ini adalah hari terakhirku melihatnya. Aku tidak akan kembali lagi ke tokonya. (*)
Tambun Selatan-Bekasi, 19 September 2022
- Penangkapan - 25 October 2024
- Pembalasan Seorang Pegawai Toko Sembako - 11 November 2022
- Kemarahan Ayman - 24 June 2022
Nadya Tifa
cerita yang memberi suatu makna tersembunyi