Penangkapan

Pada malam itu, J bermimpi buruk. Dalam mimpinya seekor ular berkepala rubah melilit lehernya sampai ia merasa sesak. Rasa sesak dalam mimpi menjalar ke kenyataan hingga J terbatuk-batuk. Ia masih terbatuk-batuk dengan sisa-sisa kengerian melekat di kepalanya ketika pintu rumahnya terketuk. Ketukan itu keras sekali sehingga J tidak bisa mengabaikannya. Begitu ia membuka pintu, dua orang laki-laki berkumis tebal dengan seragam polisi meringkusnya, tanpa menyia-nyiakan waktu langsung memborgol tangan J.

            “Kami harus membawa Anda ke kantor polisi.”

            “Apa salah saya? Saya tidak melakukan apa-apa.”

            “Anda tidak perlu tahu alasan kami membawa Anda. Tapi sebetulnya, ucapan Anda barusan juga merupakan kesalahan. Menganggap diri sendiri tidak berbuat kesalahan sudah cukup menjadi alasan bagi kami untuk menangkap Anda.”

            J berteriak-teriak, mengajukan protes, berusaha melepaskan tangannya dari borgol. Namun, segala usahanya sia-sia. Borgol itu terkunci rapat. Lagi pula dua polisi itu siaga memeganginya dan kalaupun dua polisi itu tidak memeganginya, J bukanlah lawan sepadan bagi mereka. J kelewat kerempeng dan jarang berolahraga, sedangkan dua polisi itu berbadan tegap dan tampak terlatih.

            Dua polisi mendorong J dengan semena-mena ke dalam mobil polisi yang terparkir di pelataran rumah J. Mereka tidak mengatakan apa-apa, tapi sikap mereka memperlihatkan dengan jelas bahwa apa yang sedang J alami bukan main-main. Ini permasalahan serius. Tapi, sebenarnya apa yang sudah J lakukan sampai ia mendapat perlakuan semacam ini? Itulah pertanyaan yang menggelayuti pikiran J sepanjang perjalanan menuju kantor polisi. Ia mengingat-ingat apa-apa yang dilakukannya beberapa hari terakhir. Sejauh yang bisa ia ingat, ia tak pernah berbuat apa pun yang memiliki indikasi perlawanan terhadap pemerintah. Ia tidak menulis artikel kritis di surat kabar, tidak berdemo di depan istana, tidak menghina presiden, tidak juga menggunjingkan pemerintah bersama teman-temannya. Meskipun sesekali ia bicara soal politik, ia tak pernah menyampaikan gugatan secara khusus, apalagi yang berbau penghinaan atau kritik tajam terhadap penguasa. Ia rajin menulis di media sosial ataupun media massa tempatnya bekerja, tapi yang ditulisnya hanyalah masalah-masalah kebudayaan. Kalaupun ada bagian dari tulisan-tulisannya yang berisi kritik terhadap pemerintah, itu minor belaka, bukan jenis kritik yang berapi-api dan layak diganjar penangkapan dadakan.

            Setibanya di kantor polisi, dua polisi itu menyerahkan J kepada dua polisi lain yang tak berkumis. Mereka mendorong J seperti mendorong sekeranjang sampah. Kemudian dua polisi tak berkumis menarik J tanpa memedulikan J mengaduh kesakitan lantaran tarikan mereka begitu kuat dan borgol menggores tangannya.

            “Tolong pelan-pelan sedikit, Pak. Tangan saya sakit.”

            Saat dua polisi tak berkumis itu menyadari perkataan J, mereka memandangi J sebentar, lalu melanjutkan tarikannya. Alih-alih memperlambat tarikan, mereka memperkuat dan mempercepat tarikan terhadap J, sehingga rasa sakit yang diderita J semakin bertambah. J meraung-raung, tapi mereka tak peduli. Mereka sudah sering mendengar raungan yang lebih kencang dan memilukan daripada itu, jadi mereka tidak punya alasan untuk mengacuhkan raungan J.

            Dua polisi tak berkumis itu menjebloskan J ke dalam sebuah sel. Mereka membuka pintu sel sesaat. Setelah J terpuruk di salah satu sudut sel, mereka mengunci kembali pintu sel dari luar.

            “Tunggu dulu, Pak! Kalian belum melepaskan borgol ini dari tangan saya.”

            “Ah, sayang sekali kami melupakannya. Tapi biarkan saja begitu. Anggap saja borgol itu sebagai bonus untukmu.”

            Dua polisi tak berkumis itu meninggalkan J sambil tertawa-tawa. J hanya bisa meringis dan mengutuk mereka dalam hati.

            Di dalam sel selebar 5×6 meter itu, sudah ada puluhan orang dengan pakaian bermacam-macam dan dari kalangan beragam. Kebanyakan mereka masih mengenakan pakaian tidur seperti J—J sedang mengenakan kaus kutang dan celana pendek—dan wajah mereka terlihat linglung, gabungan antara kebingungan dan sisa kantuk. Di dalam sel itu tidak hanya ada laki-laki dewasa seperti J. Ada juga gadis kecil memakai pakaian tidur bermotif bunga yang terus-menerus menangis, seorang ibu muda yang menutupi bagian atas dan bawah tubuhnya dengan kedua tangan lantaran ia hanya mengenakan pakaian dalam ketika ditangkap, seorang lelaki tua berpunggung bungkuk, hingga seorang nenek dengan kepala dipenuhi uban yang meneriakkan makian kepada polisi.

            J memperhatikan orang-orang di sekelilingnya, berusaha mencari pola tertentu pada diri mereka, siapa tahu bisa memberinya petunjuk atas penangkapan dadakan ini. Namun, ia tak menemukan pola mencolok. Satu-satunya yang bisa ia anggap sebagai pola hanyalah fakta bahwa ia dan orang-orang itu ditangkap pada tengah malam. Tidak ada ciri tertentu pada orang-orang itu seperti kesamaan jenis kelamin, tinggi badan, bentuk muka, warna pakaian, dan semacamnya yang barangkali menjadi alasan polisi menangkap mereka.

            J mendekati orang di sebelahnya, seorang laki-laki muda seusianya yang kelihatan sedang menahan geram.

            “Kalau boleh kutahu, apa yang terjadi saat polisi menangkapmu?” tanya J.

            “Ah, kawan, untuk apa kau menanyakan itu? Apa kalau kujawab pertanyaanmu, aku jadi bisa keluar dari tempat terkutuk ini?”

            “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu.”

            “Sebetulnya aku malu mengatakan ini,” ujar laki-laki muda itu sambil memelankan suara. “Tapi kalau kau pandai menjaga rahasia, aku akan mengatakannya.”

            “Katakanlah.”

            “Aku sedang bercinta dengan istriku saat polisi berengsek itu menangkapku. Sialan sekali! Aku baru saja mulai main dengan istriku dan aku terpaksa mengenakan kembali pakaian untuk mengecek siapa orang yang menggedor pintu tengah malam. Rupanya polisi dan mereka langsung menangkapku. Aku bahkan belum sempat pamit kepada istriku.”

            “Itu menyedihkan.”

            “Sangat menyedihkan, Kawan,” sahutnya menggeleng-gelengkan kepala. “Lalu, apa yang sedang kau lakukan saat polisi menangkapmu?”

            “Tidak ada yang istimewa. Aku belum menikah. Aku hidup sendirian. Aku sedang bermimpi buruk, seekor ular berkepala rubah melilit leherku saat ketukan pintu menyadarkanku dari tidur.”

            “Bersyukurlah, kawan! Polisi itu membangunkanmu dari mimpi buruk. Nasibmu lebih baik daripada nasibku. Sebab aku sedang mengalami kenyataan terindah saat polisi itu mengacaukan segalanya!”

            J bertanya kepada orang-orang lain tentang apa yang sedang mereka lakukan ketika polisi datang. Sebagian besar dari mereka sedang tidur, sebagian lain sedang memainkan gawai, sebagian lain yang lebih sedikit sedang membaca buku, dan hanya si laki-laki muda yang mengaku sedang bercinta saat polisi mengetuk pintu rumahnya. Bagaimanapun, keterangan dari orang-orang tak membantunya sama sekali, semua masih sama gelapnya seperti semula.

            Karena orang-orang itu tak bisa memberinya petunjuk memuaskan, J meminta bantuan kepada dirinya sendiri. Ia memeras ingatannya lagi, berusaha mengingat lebih detail seputar hal-hal yang ia lakukan tempo hari atau hal-hal yang baru-baru ini terjadi. Tetap saja, ia tak menemukan suatu petunjuk khusus. Satu-satunya hal yang menarik perhatiannya adalah ingatannya tentang berita-berita seputar Presiden K. Sebagai seorang penulis yang bekerja untuk perusahaan media, ia rajin membaca apa saja, terutama berita-berita terhangat. Terkait Presiden K, belakangan ini ia membaca banyak berita Presiden K melakukan hal-hal yang sukar dicerna nalar. Dalam sebulan terakhir saja, ia ingat Presiden K diberitakan mengganti sepuluh menteri lamanya dengan sepuluh menteri baru yang semua namanya berawalan huruf K, memesan ribuan patung raksasa berbentuk dirinya tengah tersenyum untuk dipasang di setiap gerbang sekolah, dan mengadakan konser satu hari penuh berisi penyanyi-penyanyi lokal terkenal yang diminta menyanyikan lagu pujian kepadanya sepanjang konser. Semua perbuatan Presiden K itu memang terlihat ganjil, tapi J masih bisa memakluminya, sejauh hal itu tak merugikan masyarakat secara riil. Sepanjang sisa malam itu, masih dengan tangan terborgol, J memikirkan korelasi perbuatan-perbuatan ganjil Presiden K dengan apa yang sedang menimpanya. Saat J masih hanyut dalam pikirannya dan rasa kantuknya menguat, tiba-tiba segerombol polisi datang dan membuka pintu sel.

            “Sekarang kalian boleh pergi!”

            Orang-orang berseru riang mendengar pengumuman itu. Mereka pun sekonyong-konyong keluar dari sel.

            “Jadi, apa sebenarnya kesalahan saya? Dan kenapa sekarang saya dikeluarkan tiba-tiba?” tanya J kepada polisi.

            “Kau jangan banyak tanya. Kau tidak perlu tahu alasan dari setiap kejadian.”

            “Tapi saya perlu tahu.”

            “Sudahlah, berhenti bicara atau kau akan tetap ditahan di dalam sel!”

            J berhenti bicara. Polisi melepaskan borgol dari tangannya.

            Ketika keluar dari kantor polisi, J melihat langit sudah terang. Ia tak mengira malam berlalu begitu cepat. Padahal ia pikir ia berada dalam sel tak lebih dari satu atau dua jam saja.

            Sehari berselang, di kantor ia membicarakan penangkapan itu dengan teman-temannya. Di kantor, hanya J yang menjadi korban penangkapan. Teman-temannya bilang malam itu mereka baik-baik saja, tak ada sesuatu yang berbeda atau mengusik mereka. Belakangan J dan teman-temannya mengetahui alasan di balik penangkapan tiba-tiba itu. Pada malam itu, Presiden K mengalami sebuah mimpi selagi tidur di kamar istana. Dalam mimpinya, Presiden K mendengar sebuah suara dari atas langit yang menyuruhnya untuk menangkap orang-orang secara acak karena orang-orang itu suatu saat bisa menggulingkan kekuasaannya. Lantas, Presiden K segera menginstruksikan kepada para bawahannya untuk menangkap orang-orang. Saat para bawahannya bertanya siapa yang harus mereka tangkap, Presiden K menjawab, “Lakukanlah penangkapan secara acak di berbagai tempat. Tak peduli siapa orang itu. Tangkap satu orang pertama yang kalian temukan di rumah-rumah tersebut.” Setelah menitahkan perintah tersebut, Presiden K kembali melanjutkan tidurnya. Beberapa jam kemudian, ia terbangun dari tidur dan bicara kepada ajudannya bahwa ia baru saja bermimpi dan dalam mimpi itu sebuah suara dari atas langit—suara yang sama seperti sebelumnya—menyuruhnya untuk melepaskan kembali orang-orang yang telah ditangkap secara acak karena kini orang-orang itu sudah tidak akan lagi memiliki keinginan untuk menggulingkan kekuasaannya.

Begitu mendengar berita viral tersebut, J bertekat membikin suatu artikel khusus di media tempatnya bekerja untuk mengkritik perbuatan Presiden K yang bodoh dan tak masuk akal. Teman-temannya mengingatkan J untuk mengurungkan niatnya, tapi J bersikukuh akan melakukannya.

“Aku tidak takut apa yang akan terjadi padaku nanti. Aku harus tetap menulis soal itu karena tingkah Presiden K sudah tak dapat dimaklumi lagi.”

J betul-betul mewujudkan tekatnya. Ia membikin artikel tersebut dan menerbitkannya lewat media tempatnya bekerja. Mulanya teman-teman sekantornya memperingatkan J untuk mempertimbangkan ulang apa yang akan dilakukannya. Namun J tetap bersikeras dan ia mengancam akan menerbitkan lewat media lain jika media tempatnya kerja tak mau menerbitkan tulisannya. Dengan terpaksa media tempatnya bekerja menerbitkan tulisan J.

            Selepas artikel itu terbit, teman-teman sekantor J dilanda waswas seolah-olah badai besar akan menerjang mereka. Apalagi artikel itu menjadi viral dalam waktu sekejap. Jutaan orang membacanya, ribuan orang menyebarluaskannya, dan tak terhitung orang membicarakannya. Banyak di antara orang-orang yang membaca, menyebarluaskan, dan membicarakan artikel itu adalah orang-orang yang memiliki kedekatan dengan presiden. Teman-teman sekantor J pun sudah siap bila tiba-tiba sekelompok polisi menggeruduk kantor dan membawa mereka ke penjara karena media mereka telah menerbitkan tulisan agitatif dan provokatif.

Kekhawatiran mereka tak menjadi nyata. Yang terjadi sebaliknya, sekelompok orang dari istana mengirimkan surat undangan khusus untuk J karena telah menulis artikel itu. J dan teman-teman sekantornya kaget. Bahkan J menaruh curiga bahwa surat undangan itu tak lebih dari muslihat. Orang-orang dari istana memaksa J yang sempat menolak undangan itu untuk lekas datang ke istana. Terdesak, J pun terpaksa memenuhi undangan itu. Ia berangkat ke istana dengan hati diliputi ketakutan.

Sebagaimana kekhawatiran teman-temannya, kekhawatiran J tak menjadi nyata. Di istana ia mendapat perlakuan istimewa. Presiden K memuji-mujinya, menyuguhkan makanan terlezat yang pernah ia cicipi, memberinya uang saku dalam jumlah sangat banyak, dan para pejabat serta pelayan di istana menghormatinya seakan-akan J adalah raja dari negeri tetangga. Lantaran tak ada hal buruk yang terjadi, J pun menikmati semuanya. Ia menikmati semuanya meskipun masih ada secuil kecurigaan dalam dirinya. Selepas menghadiri undangan itu, J merasa sangat bungah. Terlebih Presiden K memberinya hadiah tambahan berupa berbungkus-bungkus makanan dan sebuah jam mahal.

Pada hari-hari sesudah itu, J masih mempertanyakan motif Presiden K mengundangnya ke istana dan memperlakukannya sedemikian baik. Ia tidak menyangka artikel yang ia maksudkan sebagai kritik keras terhadap Presiden K malah ditanggapi Presiden K dengan sangat positif. Bukannya menangkapnya di tengah malam atau menembaknya di siang bolong, Presiden K malah memberinya segambreng pujian dan hadiah. Ini benar-benar di luar dugaan J. Lebih dari itu, ini terlihat ganjil.

            J masih membaca berita-berita terbaru soal Presiden K. Selalu ada berita-berita terbaru soal Presiden K dan berita-berita itu kebanyakan berisi hal-hal ganjil yang dilakukan Presiden K. Namun kali ini pandangan J terhadap Presiden K berubah. Ia tak lagi bersikap sinis atau menggerutu saban kali membaca berita-berita itu. Sekarang ia mendahulukan prasangka baik terhadap apa pun yang dilakukan Presiden K. Ia menganggap keganjilan-keganjilan Presiden K tak lebih daripada keeksentrikan seorang pemimpin. Sama sekali bukan hal yang perlu dikritisi.

            J menikmati hidupnya sekarang. Meskipun keadaan di luar makin liar karena demonstrasi-demonstrasi kian marak, harga-harga bahan makanan dan bahan bakar terus melambung, kasus korupsi membeludak, dan Presiden K tak henti-hentinya melakukan perbuatan-perbuatan ganjil, J tak memusingkan semua itu. Sejauh dirinya aman dan baik-baik saja, perkara lain tak akan repot-repot ia pikirkan.

            Sebulan selepas J mendapat undangan dari Presiden K, keadaan di luar semakin kacau. Massa bentrokan dengan aparat, polisi dan tentara bertebaran di mana-mana, banyak gedung terbakar, dan intensitas ketegangan meningkat di berbagai daerah khususnya di ibu kota. Namun J tak mencemaskan hal itu. Fakta bahwa Presiden K pernah mengundangnya ke istana dan memperlakukannya secara istimewa sudah cukup untuk membuatnya tenang. Tak heran, pada malam hari di puncak kekacauan itu J tertidur dengan pulas. Dalam tidurnya, ia mengalami mimpi indah, mimpi terindah yang pernah ia alami. Dalam mimpi itu, J bersetubuh dengan aktris idolanya. Persetubuhan itu terasa nyata sekali baginya seolah-olah bukan mimpi. Ia menikmati mimpi itu seperti ia menikmati hari-harinya belakangan ini. Pada saat ia berada di puncak kenikmatan, saat sebentar lagi dirinya merasakan orgasme, terdengar ketukan di pintu rumahnya. Mimpi indahnya seketika buyar dan J melontarkan umpatan-umpatan.

            Tanpa bersalin pakaian, J membuka pintu rumah. Dua orang polisi, dua polisi berkumis yang sama yang dahulu menangkapnya pada tengah malam, berdiri tegak di luar pintu. Namun mereka tidak membawa borgol. Mereka membawa hal lain. Di dekat kaki dua polisi ada seekor ular besar, seekor ular berkepala rubah yang berputar-putar, lalu tanpa pamit melilit leher J. Lilitan itu begitu kuat sampai J merasa tenggorokannya tersedak dan dadanya sesak. J berharap itu mimpi buruk, tapi sayangnya rasa sakit yang ia rasakan begitu nyata, terlalu nyata untuk sekadar dianggap sebagai mimpi buruk. (*)

Bekasi, 17 Mei 2023

Erwin Setia
Latest posts by Erwin Setia (see all)

Comments

  1. Teddy Reply

    Keren Banget CerPennya dan penceritaanya begitu rapih.

    Terima Kasih Bang

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!