Syaikh Abu Muhammad ar-Rasibi

Beliau adalah ‘Abdullah bin Muhammad Abu Muhammad ar-Rasibi al-Baghdadi. Beliau termasuk sufi agung di Baghdad. Beliau bersahabat, di antaranya adalah, dengan Syaikh Ibn ‘Atha dan Syaikh al-Jariri. Beliau pergi ke Syiria, kemudian balik lagi ke Baghdad. Beliau wafat di sana pada tahun 367 Hijriah.

Beliau mengatakan bahwa paling besarnya hijab yang menghalangi antara seseorang dengan Allah Ta’ala adalah kesibukan orang itu untuk mengatur dirinya sendiri. Atau kebersandarannya kepada makhluk yang lemah sebagaimana dirinya. Bukankah seluruh makhluk itu lemah?

Sebenarnya sangat mudah untuk langsung bersandar kepada Allah Ta’ala, bagaimana caranya? Hendaknya kita sadar bahwa seluruh makhluk itu kekuatannya adalah pinjaman, itu pun tidak seberapa. Ketika kita sudah menyadari bahwa kekuatan kita terbatas, kita akan mencari kekuatan yang tak terbatas.

Kekuatan yang tak bertepi itu, yang tak terbatas itu, adalah kekuatan Allah Ta’ala. Satu-satunya. Seluruh makhluk itu sama. Sama-sama tidak berdaya. Tidak mungkin sanggup menciptakan makhluk lain dengan kekuatannya sendiri. Benar sabda Nabi Muhammad Saw bahwa orang yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.

Orang yang mengenal dirinya itu pastilah mengenal alam semesta. Apakah alam semesta? Tidak lain adalah himpunan ketidakberdayaan. Jadi, sama antara ketidakberdayaanku dengan ketidakberdayaan alam semesta: sama-sama tidak bisa menciptakan seekor lalat.

Sedangkan kekuatan Allah Ta’ala sanggup menciptakan makhluk yang paling kecil sampai makhluk yang paling besar. Siapakah yang telah menciptakan nyamuk yang tidak pernah ada contoh sebelumnya? Tidak mungkin ada siapa pun yang menciptakannya selain hadiratNya.

Nyamuk-nyamuk itu pastilah memiliki pasangan. Pasangan-pasangan itu tidak mungkin tertukar. Padahal berapa banyaknya pasangan-pasangan itu. Bermilyar-milyar, bertrilyun-bertrilyun. Allah Ta’ala sangat detail, sangat teliti, tidak mungkin pasangan-pasangan itu tertukar.

Itu masih bab tentang nyamuk. Masih banyak bab-bab tentang binatang yang lain. Juga tentang “persoalan-persoalan” yang tidak kalah banyaknya. Seandainya Allah Ta’ala tidak Mahadetail dan Mahateliti, tentu sudah kalah di situ. Tapi Allah Ta’ala Mahadetail dan Mahateliti, tentu tidak kalah dengan “persoalan-persoalan” yang sebanyak-banyaknya.

Jadi, dengan mengetahui keterbatasan dirinya, manusia akan mengetahui ketidakterbatasan Allah Ta’ala. Bahkan penglihatan manusia tentang ketakterhinggaan hadiratNya itu pastilah juga dibantu oleh Allah Ta’ala, tidak mungkin kalau tidak dibantu. Karena itu, ketika manusia itu tiada, baru bisa melihat hadiratNya.

Selama manusia masih ada, tak mungkin mereka itu melihat Allah Ta’ala. Betapa penting kita meniadakan diri, betapa penting kita merasakan bahwa seluruh potensi yang ada pada diri kita adalah milik hadiratNya semata. Tidak ada yang betul-betul milik kita. Kecuali dosa-dosa kita. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!