Sekitar delapan tahun silam, angin nasib menggiring saya ke kota ini: Yogyakarta, yang kata orang adalah “Kota Pelajar”. Saya mengamini julukan itu, sebab dahulu, alasan terkuat yang menggiring saya untuk datang ke sini adalah alasan belajar itu sendiri—dengan harapan, perjalanan menuju pencapaian cita-cita dengan tunjangan bekal wawasan dari kota ini, bakal berjalan secara lebih mulus tentunya. Tetapi, apalah daya, jalan tak selalu semulus yang kita kira.
Hari ke hari, setelah pergumulan jadi lebih intim, saya kemudian mendapati bahwa Yogya juga punya variasi julukan kala dipandang dari aspek-aspek yang lain—sebutlah “Kota Perjuangan” dari segi sejarah; “Kota Gudeg” dari aspek kuliner; “Kota Wisata” jika dilihat dari sisi destinasinya; atau “Kota Seniman” lantaran geliat berkesenian yang terus tumbuh, hampir di seantero tubuh Yogya; dan seterusnya, dan seterusnya.
Dari segi komposisi, Yogya sendiri terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan, kata Joko Pinurbo dalam penggalan salah satu puisinya—meskipun di sebalik larik tersebut, pelan-pelan ada yang perlu kita sikapi kritis dari wajah Yogya yang mulai menua. Seperti makin banyak kerut dan keletihan di sana. Saya kerap merasakan rindu, perasaan ingin pulang sebagai anak rantau yang datang dari wilayah (agak) timur Indonesia, dan itu saya ungkapkan kerap kali ketika berbincang dan ngangkring bersama semeton sedaerah—hanya saja, saya mesti menahan gejolak itu dengan mengikatkan diri pada prinsip “pantang pulang sebelum jadi orang”, yang kadang terkesan seperti alibi-alibi fresh graduate yang tak kunjung mendapatkan panggilan kerja dari perusahaan atau perkantoran.
Tetapi di sela-sela itu, perasaan lain dan berkebalikan turut menguntit saya: ketika sesekali pulang untuk berlibur di jeda semester, suara Yogya juga seperti gema kecil yang perlahan mengeras dari jauh, dan memanggil saya untuk kembali menghirup udara di bawah semi-rindang pohon-pohonnya. Barangkali ini wajar, karena seperti kata Kiki Sulistyo dalam pengantar Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? (2017), “Memanglah, sebuah panggilan membutuhkan jarak,” dan termasuk dalam hal ini adalah keberjarakan secara fisikal dengan Praya sebagai tanah lahir dan Yogya sebagai tanah “kelahiran kedua”. Perasaan cinta dan rindu saya, bergerak ulang-alik di antara keduanya.
Saya menyadari, bukan sekadar “pangkuan” Yogya dengan keramahan orang-orangnya yang membuat saya betah bertahan hingga sudah sewindu, tetapi pula iklim bersastra yang memang jadi pendukung aktivitas studi yang saya tempuh, baik semasa Strata 1 di Kampus Matahari Jalan Pramuka maupun Strata 2 di Kampus Bulaksumur. Di Praya, Lombok, selain karena memang meluputkan dinamika sastra di sana dalam rentang waktu yang tidak pendek, saya juga hampir tidak menemukan geliat sastra yang semarak selama waktu-waktu itu. Lantas, bagaimana dengan Praya yang sekarang? Saya kira, lebih kurang sama. Di luar kondisi itu, saya amat beruntung menemukan rekan-rekan sefrekuensi di Komunitas Akarpohon Mataram secara komunitas, atau Lamuh Syamsuar sebagai “petarung tunggal” yang tinggal sekabupaten—dan dengan Lamuh, Yogya pula yang mempertemukan kami. Kehadiran mereka, setidak-tidaknya menjaga debar saya untuk tetap terlibat dalam gerak dan pencatatan sastra di Tanah Mirah itu.
Kembali ke perbincangan soal Yogya. Berbicara soal sastra di tanah ini, eksistensi “komunitas” boleh dipandang memiliki pengaruh penting dan peran vital dalam pembentukan kesejarahan-(sastra)nya. Inilah yang bagi saya menjadi premis utama dari perbincangan antara Indrian Koto, Bernando J. Sujibto, dan Rozi Kembara dalam diskusi bertajuk “Angkringan Puisi: Pergerakan Komunitas Sastra Jogja Hari Ini”, sebagai rangkaian dari event Festival Sastra Yogyakarta (Jogjakarta Literature Festival), bertempat di Trotoar Barat Pasar Beringharjo. Perbincangan itu berlangsung Kamis, 10 November 2022, kurang lebih selama dua jam, pukul 19.00 hingga 21.00 WIB, sebelum hujan malam dari langit Malioboro memaksa audiens menepi, kendati acara belum sepenuhnya mesti berhenti.
Rozi selaku pemandu, memantik diskusi dengan membawa pemirsa “berziarah” maya ke masa-masa tatkala salah satu kelompok sastra paling berpengaruh di Yogya masih menggeliatkan diskusi di tepi segaris Jalan Malioboro, yang kini sebak dengan ruko-ruko. Kelompok itu adalah Persada Studi Klub (PSK), yang eksistensinya boleh dikatakan paling populer dan terus direpetisi sebagai “mitos” hingga hari ini. (Alm.) Umbu Landu Paranggi berperan sebagai “presiden” utama mereka: Sang Presiden Malioboro.
PSK sendiri eksis pada dekade 70-an, resmi berdiri pada tanggal 5 Maret 1969, di lantai dua kantor redaksi Pelopor Yogya (Jalan Malioboro 175 A)—data ini berdasarkan catatan-catatan yang dikumpulkan Asef Saeful Anwar dalam bukunya, Persada Studi Klub dalam Arena Sastra Indonesia (2015). Dari komunitas ini, lahirlah kemudian nama-nama lain yang eksis di kancah nasional seperti (alm.) Iman Budhi Santosa, (alm.) Teguh Ranusastra Asmara, Emha Ainun Nadjib, Sutirman Eka Ardhana, Mustofa W. Hasyim, Suminto A. Sayuti, Ebiet G. Ade, dan lain-lain.
Seiring perguliran zaman, Beje (sapaan karib Bernando) memandang bahwa komunitas-komunitas sastra terus bertumbuhan di Yogyakarta, baik yang berafiliasi dengan kampus-kampus, maupun yang sifatnya independen. Komunitas-komunitas tersebut bergerak dengan pola-pola yang khas, membangun relasi antarsesama, menolak jadi figur “katak dalam tempurung”—dan biasanya, yang paling rawan terancam hukum “baru lahir dan lekas menghilang” adalah mereka yang berbasis kos-kosan atau rumah kontrakan. Komunitas tipe ini lazimnya disinggahi para mahasiswa perantau, yang ketika masa studi personelnya telah habis, maka kehidupan menarik mereka untuk kembali ke rumah masing-masing, sebagai tempat pergulatan “sastra” yang sesungguhnya.
Hanya saja, persoalan-persoalan keterbatasan sarana fisik macam demikian, mulai bisa disiasati dengan “produksi” komunitas-komunitas maya di layar datar: kita disuguhi realitas bahwa media sosial menawarkan ruang tak terjamah lengan, namun bukan berarti tak sarat gagasan. Turut menjamurnya kafe-kafe di Yogya menjadi pendukung eksistensi komunitas-komunitas maya ini—cukup janjian via ponsel, dan klik, kita tinggal berjumpa di satu waktu, di satu tempat yang dirujuk selarik tautan.
Perbincangan seperti diselimuti kabut nostalgia tebal, mengingat ketiganya–baik Rozi, Beje, maupun Koto—sama-sama melalui kiprah bersastra di Yogya pula. Bagi Koto, dalam suatu komunitas, sudah seharusnya memang “tidak ada regenerasi”. Komunitas sejatinya memang mesti bersifat sebentar, ringkas, dan jika berdurasi panjang, maka ia lebih layak dinamakan lembaga atau sepantarannya. “Komunitas tanpa komunitas” adalah pola baru yang mulai berkembang: penulis-penulis hari ini tumbuh lewat dirinya sendiri, dan nyaris tidak punya embel-embel apa pun–bebas menerbitkan dan memublikasikan karya-karya lewat platform yang membanjir.
Konteks itu didukung dengan bergugurannya rubrik-rubrik sastra di media massa cetak–baik yang lokal seperti Minggu Pagi atau Bernas, maupun media nasional yang menyisihkan satu per satu rubrik sastra–serta bertumbuhannya media-media digital dan media sosial sebagai ruang alternatif baru bagi kiprah kesastrawanan mereka. Amat selaras dengan kemunculan komunitas-komunitas maya yang disitir Beje.
Tidak ada lagi pola seketat yang dihadapi angkatan-angkatan pendahulu, bahwa mesti ada tuntutan dimuat di koran, dibincangkan oleh tokoh sastra ternama, lolos seleksi penerbitan yang saat itu jumlahnya tak seberapa, atau tantangan yang sejenis dengannya lagi. Ada pola berkarya yang cukup cair hari ini–dan Koto, juga Beje, pun bersepakat bahwa mereka sama-sama berada pada fase antara tradisi lama dan tradisi baru itu. “Selalu tumbuh generasi baru dalam sastra Indonesia, dengan pola masing-masing, sesuai zaman yang dihadapi. Akan senantiasa demikian,” kata Koto.
***
Untuk saat ini, di luar pagar kampus-kampus Yogya, memang bisa saya dapati komunitas-komunitas sastra–atau yang memiliki perhatian terhadapnya—yang masih eksis, baik yang memiliki basis tetap seperti sekretariat, maupun yang mengikat kebersamaan di ruang maya dan memilih bersua di bawah redup lampu-lampu kafe. Saya menyatakan demikian lantaran masih berelasi dengan sejumlah anggotanya—sebutlah Komunitas Kutub (Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari) atau Klub Buku Yogyakarta (KBY) di antara sejumlah nama. Tetapi, seperti yang dikatakan Koto, akan selalu muncul pola-pola baru seiring lahirnya generasi baru pula. Soal keberadaan komunitas sastra di Yogya di hari-hari depan, kita pun tak bisa memastikan.
Tetapi hari ini adalah hari ini. Waktu terus melaju, dan peralihan-peralihan pola barangkali adalah keniscayaan. Ya, selalu membingungkan untuk membaca wajah sebuah kota, tak terkecuali Yogyakarta. Jangan-jangan, andai tiba waktu bagi saya untuk kembali ke Praya di masa mendatang, lalu berkesempatan singgah lagi di Yogya suatu waktu melalui Stasiun Tugu, akan ada hal-hal lain yang saya temukan: suatu kelahiran, suatu kematian, dari “merdu” diskusi komunitas-komunitas yang masih saya temui hari ini. Seperti larik-larik puisi Nana Ernawati yang dibawakan tim musik Jejak Imaji di penutup diskusi, “November tahun lalu, di Yogya yang sendu … Ke mana kini suara merdu itu, November membuatku beku, kuturun dari stasiun tugu, kau tak ada lagi di sisiku.” Ya, jangan-jangan bakal demikian. Jangan-jangan akan demikian …
- Sajak-Sajak Ilham Rabbani - 29 November 2022
- Yogya, Sastra, Komunitas Maya - 16 November 2022
- Sajak-Sajak Ilham Rabbani - 4 January 2022