Mata Tuhan

“Siap?”

“Ya, siap.”

 Dua lelaki berjaket hitam menjinjing dua koper besar dengan pelan menuruni tangga apartemen. Lampu lobi mencetak bayangan mereka ke tembok. Udara dingin musim semi menyelinap lewat jendela. Lelaki tinggi merapatkan kerah jaket. Sesampai lantai satu dekat keller gudang bawah tanah, suara batuk wanita tua terdengar keras dari dalam rumah. Keduanya berpandangan dan berhenti. Sejenak kemudian berjingkat keluar.

 Remang lampu jalan menyambut di depan. Sinarnya yang lemah memucatkan suasana. Ada CCTV tergantung di sudut gedung, di atas gang berbatu yang menikung.

 “Tutup wajahmu!”

Yang di belakang segera menurunkan topi ascotnya.

Warna lampu jingga membuat trotoar, pagar jalan dan semak muram. Dua burung gagak memekik, memecah kesunyian, membelah malam. Dua lelaki berjaket berjalan diam menuju halte trem. Bunyi roda koper yang diseret menjerit berderit-derit. Malam kelam semakin matang.

“Kita tidak boleh gegabah.”

“Ya. Harus hati-hati.”

Itu omongan mereka sore tadi.

“Sudah kusiapkan dua koper di gudang. Kamu ambil. Jangan sampai ada yang melihatmu.”

Yang disuruh beranjak mengambil. Setelah koper datang, lelaki yang menyuruh tadi masuk kamar dan keluar dengan kotak warna hijau. Kotak yang peyok-peyok hingga bentuknya menjadi trapesium cacat. Karat dan debu hampir di semua permukaannya menjadikan warna hijaunya terlihat purba.

“Apa itu?”

Pelan kotak dibuka.

“Gergaji!?” Lelaki satunya, bercambang lebat dan berkacamata, terbelalak dengan mulut setengah terbuka.

“Kamu tega.”

“Hanya begini caranya.”

“Ini bukan saja kriminal.”

Tidak ada jawaban. Sebagai gantinya suara gergaji bekerja. 45 menit kemudian keduanya memasukkan potongan-potongan ke dalam kantong plastik. Lelaki bercambang mengikat kantong dengan lakban, memasukkan ke koper. Sementara satunya membersihkan tangan dan muka di wastafel kamar mandi.

 Sebentar kemudian asap rokok mengepul memenuhi ruangan, menebar ketegangan. Mereka menunggu malam.

 Matahari di akhir musim semi berjalan lambat. Siang mulai panjang dan akan sangat panjang di musim panas. Semburat kuning di ufuk barat berubah merah menyeramkan. Mendung tipisnya menjulur-julur seperti tangan iblis hendak menelan bumi.

Di halaman belakang rumah, dua bocah kecil bermain sepeda kayu. Tertawa-tawa namun tidak ada suara. Matanya pun terbuka, bukan memicing layaknya bocah tertawa. Mendung menutup sisa matahari membentuk garis-garis lurus yang menghunjam bumi. Dan merah langit yang semakin berwarna jingga melukis alam dengan nuansa katastropik mengirim tanda prahara. Ayah kedua bocah di kejauhan merentangkan tangan mengajak mendekat. Ayo masuk, katanya. Ayah dan anak-anak itu menyeringai. Roman muka mereka datar dan dingin.  Si Ayah bergegas mengajak kedua anaknya masuk. Sepedanya ditinggalkan tergolek di rumput. Rodanya masih berputar.

Sore yang aneh, bisik sepasang mata dari tirai jendela.

***

Pintu trem terbuka. Kedua lelaki mendorong koper masuk dengan gaya sewajar mungkin berharap tidak ada penumpang yang curiga dan berpura-pura membantu. Jam 1 malam, trem terakhir. Meskipun banyak tempat duduk kosong, dua lelaki itu memilih berdiri dekat koper.

Jangan pernah melirik apalagi menatap kamera trem: pesan yang terus diulang sejak tadi siang. Kalau ada yang mencurigakan, pembantu masinis akan dengan mudah mengamati. Belum lagi, semua rekaman kejadian dalam trem akan tersimpan di server perusahaan. Mudah sekali melacaknya. Begitu pun, katanya, kalau kamu membuang barang yang tidak semestinya, harus dipastikan tidak meninggalkan sesuatu yang bisa dilacak, termasuk barcoding. Petugas sampah akan memindai barcode itu, melacak ke situs web, dan menemukan toko beserta daftar pembeli dan tanggal transaksi.

“Saya tidak pakai kartu kredit dan AT. Tidak punya.”

“Ya. Itu akan lebih sulit terlacak.”

 Hanya tiga jenis barang yang boleh kau buang di tempat sampah dekat rumah. Sampah plastik, kertas, dan bio. Itu pun harus dimasukkan dalam kotak masing-masing. Kotak-kotak besar berwarna kuning, hitam, merah. Seminggu sekali petugas datang memasukkan sampah RT itu ke dalam truknya.

 Barang bekas seperti kaleng baygon, bekas cat, pestisida dan bahan kimia harus dibuang di tempat lain. Agak jauh dan ada jadwalnya. Meja, kursi, lemari, wastafel cuci piring, juga sepeda, gitar, karpet, dan barang berat lain, beda lagi aturannya. Jika tidak laku kau jual dan juga nggak ada yang mau pakai, membuangnya dijatah pakai kupon dan tempatnya lumayan jauh. Artinya mesti sewa angkutan dan tidak bisa asal buang tapi dibatasi volumenya berdasar kupon tadi. Artinya lagi mesti mikir kalau mau beli-beli. Repot, ribet, dan berbiaya. Yah begitulah ongkos dari ketertiban dan disiplin.

 Seorang teman bilang, kelak kalau bangsa kita sudah tidak bodoh dan lapar, cara membuang sampah seperti ini dan cara hidup disiplin akan kita capai. Sekarang yang penting bisa makan, karena kita masih serba kekurangan, masih miskin. Masalahnya pada arti KEKURANGAN itu. Jangan-jangan kita hanya MERASA, tidak benar-benar kekurangan. Tegasnya sulit merasa cukup, tak pernah puas, serakah. Kalau itu yang terjadi sampai kita tenggelam oleh timbunan barang milik sendiri pun masih saja merasa miskin. 

***

Trem berhenti. Mereka keluar. Mengambil napas dulu dan tidak segera beranjak. Dibiarkannya semua penumpang berlalu. Setelah yakin halte sepi keduanya berjalan.

“Ke mana kita?”

“Sesuai rencana.”

Melintasi rel, lalu jalan mobil, mereka menemukan jalan setapak. Disusurinya jalan itu. Remang-remang. 

Daerah pinggiran kota itu kalau siang indah. Hutan kecil pohonnya rimbun berjajar rapi, berujung hamparan rumput hijau yang rutin dipangkas petugas kebersihan. Di sebelah utara, berseberangan dengan danau buatan, ada bukit tidak terjal. Bukit yang yang biasa dipakai main seluncuran kala musim salju. Dekat jalan setapak tadi ada petak-petak garden dengan rumah-rumah mungil yang ramai dikunjungi pemiliknya saat musim semi.

Malam ini semua keindahan membisu. Rembulan menyembul dari balik awan, memantul di danau. Sisa cahayanya yang redup membuat taman pinggiran kota itu terlihat seperti desa aliens atau planet tak bertuan di luar tata surya.

Setelah 5 menit, mereka sampai di belakang sebuah apartemen lantai lima. Cukup gelap.

“Berhenti di sini. Saya akan cek tempatnya.”

Lelaki bercambang, bertopi ascot jaket hitam, yang menyeret koper roda, mengiyakan perintah temannya. Saat temannya pergi, saat dia diam memegang koper-koper, tiba-tiba dia menyadari sesuatu. Ia pernah melihat ciri orang seperti dirinya di televisi, ramai diberitakan koran Indonesia. Orang itu tertangkap kamera Hotel Ritz-Carlton Kuningan Jakarta beberapa menit sebelum bom meledak.

Ya, orang itu mirip penampilanku sekarang.  Jaket, koper, dan topinya persis. Bulu kuduknya berdiri. Disulutnya sebatang rokok. Pikirannya tidak keruan.

“Gawat!”

“Kenapa?”

“Lampunya terang sekali. Pagarnya dikunci lagi. Sulit membuang di situ. Saya khawatir dipasangi kamera.”

Tempat dimaksud adalah pembuangan sampah berkupon tadi. Malam hari penjaganya pulang, tapi mereka tidak mengira seperti ini. Tempat itu berjarak beberapa meter dari apartemen mereka berdiri. Memang terang sekali. Begitu terangnya, andai orang di apartemen terbangun akan dengan mudah melihat mereka. Malam-malam seperti ini tentu sangat mencurigakan. Bisa saja mereka mengambil kamera, diam-diam memotretnya, dan menelepon polisi. Seperti kejadian seorang teman yang kebelet kencing, lalu sekenanya pipis di pohon sebuah kompleks. Saat dia beraksi, seberkas lampu blitz menyala dari jendela rumah di belakangnya. 10 menit kemudian polisi datang.

“Jalan ke sana, menunduk, taruh koper. Lari.”

“Tidak. Koper masih mau kupakai pulang ke Indonesia.”

“Kalau begitu satu-satu. Saya yang menyeret koper ke sana, kamu yang membuang isinya.”

“Koper satunya?”

“Tinggal dulu di sini. Gantian.”

Yang diajak ragu, tapi mengiyakan. Jarak koper ke tempat berkupon sekitar 25 meter. Keduanya berjalan dengan satu koper. Koper lain ditinggal. Sebagaimana mereka berbisik kala bicara, mereka berjalan nyaris mengendap sembari berdoa para penghuni apartemen tetap pulas.

Tempat berkupon makin dekat. Betapa kaget mereka, ternyata terang lampunya membuat tempat itu seperti siang. Ciutlah nyalinya.

“Berhenti!” katanya tiba-tiba.

“Kenapa?”

“Buang sini saja. Bahaya!”

Keduanya berhenti. Koper dibuka tergesa-gesa. Bunyi ritsleting menjerit-jerit. Kantong plastik besar dikeluarkan, dilemparkan kasar ke samping tempat sampah apartemen. Terdengar suara berderak. Koper ditutup kembali. Mereka lari ke koper satunya. Takut penghuni apartemen terbangun oleh keributan mereka bergerak cepat. Celaka, saat kantong plastik diangkat … jebol! Potongan-potongan kayu lemari yang digergaji jatuh berhamburan. Suaranya serasa halilintar.

***

Siang hari matahari musim semi mulai hangat. Saatnya menyeduh kopi dan membawanya ke tepi jendela. Memandang kemewahan sebatang pohon yang mulai berwarna hijau di seberang sana. Dengan hati riang. Temannya mungkin akan segera tiba. Ia bilang akan datang menjelang siang untuk merayakan kemenangan besar. “Sukses, Kawan! Kemenangan gilang-gemilang. Dan sudah jelas ini perlu dirayakan.”

Kemenangan? Sukses besar? Hem, ada banyak hal lucu yang kadang kala mereka tertawakan di negeri yang aneh ini. Bagaimana tidak? Hanya perkara membuang barang yang sudah dianggap tak berguna saja, bisa menentukan nasib baik atau buruk. Tergantung keberuntungan. Dan untuk urusan-urusan semacam remeh ini, negara menempatkan mata di mana-mana. Seperti mata Tuhan yang sanggup melihat apa pun meski tersembunyi.

Tapi semalam ia dan kawannya telah berhasil menipu mata Tuhan, dan menyelamatkan beberapa euro yang mestinya dikeluarkan untuk membuang barang-barang tak berguna. Bagaimanapun, pikiran telah mengalahkan mata Tuhan yang perkasa adalah pikiran bahagia yang patut dirayakan. Maka ia menunggu temannya, yang katanya akan membawa sedikit makanan istimewa.

Pintu depan digedor. Bel pintu berbunyi. Dan ia bergegas membuka dengan wajah gembira. Itu pasti kawannya.

Tepat muka pintu, dua polisi berseragam berdiri kokoh menjulang. Berwajah dingin. Mereka menyodorkan secarik kertas dengan ucapan singkat: “Anda telah tertangkap di 10 titik kamera. Membuang sampah tanpa membayar pada negara. Silakan tanda tangan di sini dengan dua pilihan. Melunasi denda, atau masuk penjara.”

Farid Mustofa
Latest posts by Farid Mustofa (see all)

Comments

  1. Syaefudin Simon Reply

    Hanya buang sampah koyo Moco mau buang mayat dimutilasi. Wah

    • A Kamil Rosyad Reply

      Cerpen asyik dan penuh suspensi seperti ciri khas novel atau cerita misteri/pembunuhan dari Agatha Christie atau Alfred Hitchcock. Pembaca digiring dari plot ke plot yang menegangkan seolah dua tokoh tersebut pelaku mutilasi, eh ..ternyata cuman buang sampah…..terkecoh lah pembaca.
      Hebring euy, prof

      • Rendra Agusta Reply

        Kegocek di awal.. Jebule buang sampah.. 😁

  2. Eka Ratna Reply

    Kaget sekali saya baca kirain cerpennya tentang mutilasi pembunuhan …jian Prof ki membuat kaget
    Tapi seru dih …bagus

    • A Kamil Rosyad Reply

      Cerpen asyik dan penuh suspensi seperti ciri khas novel atau cerita misteri/pembunuhan dari Agatha Christie atau Alfred Hitchcock. Pembaca digiring dari plot ke plot yang menegangkan seolah dua tokoh tersebut pelaku mutilasi, eh ..ternyata cuman buang sampah…..terkecoh lah pembaca.
      Hebring euy, prof

  3. Toni Reply

    Iki pengalaman waktu di jerman meh mbuang lemari yo ? 🤣🤣🤣

  4. Toto Reply

    apik ceritane…kang…lanjutttt seri berikutnya

  5. Hindun Reply

    Detail, seru, menegangkan. Membacanya seolah berada di lokasi kejadian ikut terlibat.

  6. M. Zubaidi Reply

    Seneng bacanya, menyimak kata demi kata terasa azmat dan sangat penting, ungkap rasa dan daya nalar yang apik membuat semua pembaca seolah ikut terlibat di dalam alur kisah. Seperti cerita2 fiksi ilmiah.

    Semangat…lanjutkan Prof..sequel berikutnya…!

  7. cepz Reply

    keren bg ceritanya

  8. Bamby Cahyadi Reply

    Saya baru baca… Dari pembuka cerpennya sudah asyik banget. Duh, buang sampah rupanya. Ganjaran sama-sama dipenjara meski tak melakukan pembunuhan

  9. Ervina Eka Safira Reply

    Wah, plot twist sekali

  10. Nurman Hakim Reply

    Sangat visual dan suasana yang kuat serta sarat makna. Dapat kita refleksikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Kalimat-kalimat yang dibangun membawa kita pada situasi yang menegangkan. Membacanya dari awal seolah ini seperti cerita pembunuhan yang sangat menegangkan tetapi ada twist di ending cerita.

  11. Hervianna Artha Reply

    Kasus “pembunuhan” lemari yang tak berguna… Hahaha, keren!

  12. Alisa Hasbuna Reply

    Wahh pakdee kereeenn

  13. Cestalia Reply

    Wadaw, that plot twist.
    Tapi emang bener buang sampah di luar negeri tuh strict banget 😂

  14. I Bas O'basith Reply

    Ini satiran buat temennya temen saya
    Dimana dengan gampangnya membuang sampah segala tetek mbengek di manapun tempat

  15. Agraardesm Reply

    Keren ceritanya!!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!