Judul : Gie dan Surat-Surat yang Tersembunyi
Penulis : Tempo
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Pertama, Desember 2016
Tebal : 107 halaman, 16×23 cm
ISBN : 978-602-424-232-9
Lelaki berperawakan kecil, bermata sipit itu bernama Soe Hok Gie, memiliki tampilan yang tidak berbeda dengan pemuda pada umumnya. Terlahir dari keluarga Cina yang pas-pasan, dari ayah seorang sastrawan dan ibu yang biasa-biasa saja. Tetapi tidak banyak yang tahu, tersembunyi gagasan dan semangat yang jauh lebih besar dari tubuh kecil itu.
Gie, nama sapaannya, dilahirkan ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik 17 Desember 1942, begitu menurut kalimat awal dalam catatan hariannya yang kemudian menjadi salah satu catatan harian yang memiliki pengaruh besar terhadap gagasan para pemuda dan mahasiswa.
Berada di lingkungan yang dekat dengan buku titisan dari ayahnya, Gie kecil menjelma menjadi anak yang “tidak biasa”. Gie sudah berkecimpung dengan halaman buku sedari kecil dan membuat jalannya memandang dunia menjadi berbeda dari anak sebayanya. Gie menjadi sosok manusia kecil yang kritis, idealis, dan selalu berontak melawan kesewenang-wenangan.
“Hari ini adalah hari di mana dendam mulai membatu”, tulisan itu menjadi bukti bahwa Gie kecil yang masih duduk manis di bangku SMP, bukan manusia kecil biasa. Gie berontak dengan gurunya karena nilai yang Gie dapat dikurang dengan sewenang-wenang oleh gurunya. Sempat sekali waktu Gie juga berdebat soal “pengarang dan penerjemah”. Karena Gie merasa bahwa Chairil bukanlah pengarang, melainkan hanya penerjemah, Gie berdebat begitu keras dengan gurunya. Romeo Juliet-nya Shakespeare pun tidak luput dikritiknya karena terlalu membosankan.
Gie kemudian berkembang menjadi pemuda yang lebih kritis, idealis, dan memiliki cara pandang berbeda. Buku-buku filsafat dilahapnya di bangku SMA. Di masa ini Gie mulai mengkritik pemerintah, termasuk Sukarno.
Buku Gie dan Surat-Surat yang Tersembunyi ini merupakan buku “salam kenal” kita kepada sosok Gie. Dirangkum dengan singkat dari berbagai buku yang pernah menerbitkan sosok Gie, seperti Sekali Lagi, atau tulisan-tulisannya yang termuat di media dalam Zaman Peralihan, atau catatan hariannya yang terangkum dalam Catatan Seorang Demonstran.
Kalau berbicara tentang kelengkapan buku ini mengenai sosok Gie, tentu masih sedikit, karena buku ini lebih untuk pendekatan awal saja kepada Gie. Secara tidak langsung, itu menjadi kelebihan dari buku ini, karena kita diceritakan tentang sosok Gie secara singkat, namun tetap mengena.
Ada beberapa hal menarik yang bisa kita temukan dalam buku ini yang tidak kita dapat dari buku-buku lain mengenai Gie. Misal, kita mengetahui kalau Gie pernah punya nama samaran “Dewa” untuk beberapa tulisannya, atau Gie pernah diserempet mobil sebagai “peringatan kecil” atas perlawanannya, juga pernah Gie ditawari pekerjaan yang menggiurkan dari Sukarno tetapi ia menolaknya, dan yang lain.
Poin perhatian utama dalam buku ini adalah “surat-surat tersembunyi” Gie yang tidak pernah dipublikasikan. Surat-surat dan tulisan tersembunyi tersebut memang dengan sengaja tidak dipublikasikan, karena bersifat pribadi atau akan menimbulkan permasalahan baru jika terpublikasi. Menurut penuturan Stanley (Editor buku Zaman Peralihan), Arif Budiman selaku kakak kandung Gie mengatakan “Kalau dikeluarkan, ini akan menimbulkan masalah untuk teman-teman yang masih hidup”, sehingga lebih baik untuk tidak dipublikasi. Mungkin karena waktu yang berlalu sudah lama sehingga beberapa surat itu dipublikasi dalam buku ini meski tidak banyak.
Gie, selain dikenal sebagai sosok pemuda yang lurus tanpa batas, juga dikenal sebagai pemuda yang melankolis dan puitis. Dalam buku ini ada beberapa kata-kata semacam itu yang tidak ada dalam buku lain, “Rasanya saya adalah seekor burung yang tak punya kaki. Jadi, saya terpaksa terbang terus di antara awan-awan dan tanah. Tetapi, sebelum saya mati saya masih dapat berkata, ‘Ya, saya telah hidup dan merasai panas dan hujan.”
Gie merupakan orang yang selalu bermain dengan cerdas dalam hal apa pun, kecuali dalam cinta. Untuk persoalan dunia politik baik di luar maupun dalam kampus, Gie jarang sekali terlibat secara langsung. Tetapi Gie lebih memilih untuk menjadi ghost konseptor, ia bermain di belakang saja untuk memengaruhi keputusan-keputusan yang sekiranya penting. Gie memanfaatkan kawan-kawannya yang ia anggap lebih punya banyak karisma daripada dia. Gie juga mahir untuk urusan lobi-lobi.
Jalur perlawanan Gie lebih banyak melalui media, terutama media cetak. Gie tidak memiliki badan kekar dan tak mahir menggunakan pedang, tetapi ia memiliki otak dan pena yang jauh lebih mematikan. Beberapa tulisannya bahkan mampu mengubah arah peta politik. Gie juga kreatif dalam protes, ia pernah menuliskan protesnya di gerbong kereta dengan tulisan besar, agar protesnya itu sampai juga pada rakyat di Jawa dengan cara cepat.
Gie menjadi salah satu dari sedikit tokoh yang berpengaruh ketika usianya belum melewati angka 27 dan kemudian meninggal. Berbagai surat kabar menuliskan secara khusus tentang kematian Gie, bahkan Ben Anderson menulis sebuah obituari di jurnal Indonesia terbitan Cornell University. Dalam buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, Gie merupakan satu dari tiga tokoh selain Kartini dan Chairil Anwar yang memiliki pengaruh begitu besar dalam usia yang masih berkepala dua.
Akhirnya, kembalinya Soe Hok Gie menuju langit biru di Puncak Semeru meninggalkan sejuta asa dan nestapa. Cita-cita dan angannya kepada bangsa belum pernah terwujud sampai detik ini. Ada satu kalimat yang harus kita kenang dari sosoknya “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”.
- Buku “Salam Kenal” Terhadap Sosok Gie - 11 February 2017