Danarto Tidak Mati

Judul               : Adam Ma’rifat

Penulis             : Danarto

Penerbit           : Basabasi

Cetakan           : November 2017

Tebal               : 112 hlm; 14 x 20 cm

ISBN               : 978-602-6651-11-2

Siang itu, di daerah Kampung Utan, Ciputat, Tangerang Selatan, tak seorang pun yang tahu bahwa malaikat sedang turun dari langit. Malaikat yang sengaja datang untuk menuntaskan hidup seorang begawan—Danarto orang-orang memanggilnya.

Sekitar pukul 13.30, Selasa 10 April 2018, Danarto ditabrak pengendara motor. Tepat di usianya yang ke-77, ia benar-benar membiarkan malaikat, seperti dalam salah satu cerpennyaMereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat” untuk menuntaskan kewajibannya, yaitu menjemput nyawanya.

Meski ia telah pergi, ia tidak benar-benar pergi. Ia akan selalu hidup dengan hasil kreativitas yang tidak lekang oleh waktu. Karena Danarto, meminjam istilah pengamat sastra Indonesia asal Australia Harry Aveling, adalah sebagai mata kanan dalam dunia prosa Indonesia, sedangkan mata kirinya adalah Pramoedya Ananta Toer. Bahkan Burton Raffel, seorang penulis dan penerjemah asal Amerika Serikat, menganggap cerpen-cerpen Danarto merupakan cerpen terbaik melebihi cerpen-cerpen yang ada di Eropa dan Amerika.

Empat bukunya—Godlob, Adam Ma’rifat, Setangkai Melati di Sayap Jibril, dan Orang Jawa Naik Haji—cukup membuat dirinya dianggap sebagai pioner sastra Indonesia modern oleh beberapa kritikus sastra. Artinya, ia merupakan kawah candradimuka dalam hal mengelaborasi mistik Jawa yang lebur dengan keislaman dan religiositasnya sendiri.

Saya yakini, saat inilah satu momen yang cocok untuk mendedah Adam Ma’rifat. Pasalnya, kita sedang dalam pusaran modernisme. Dengan semua peranti teknologi, kita tercerabut dari kebudayaan sendiri, bahkan terjerembap ke dalam kubangan kebodohan. Akhirnya, generasi bangsa tidak lebih dari sampah peradaban yang diperbudak oleh teknologi.

Adam Ma’rifat terkumpul pertama kali menjadi buku tahun 1982 melalui penerbit Balai Pustaka. Kemudian diterbitkan ulang oleh Basabasi pada 2017. Enam cerpen dalam buku tersebut merupakan upaya Danarto untuk menenggelamkan realitas ke dalam realitas; realitas “diri” ke tengah euforia modernisme. Secara tidak langsung, ia mengajak kita (masyarakat) untuk selalu berpikir kritis hingga terbebas dari belenggu modernisme. Dengan demikian, akan menjadi manusia yang mandiri, manusia yang mengenali diri sendiri, manusia yang dapat menjalankan peranannya—sebagai pelengkap satu sama lain.

Meminjam bahasa Sapardi Joko Damono dalam pengantar Godlob (1987), ia sebenarnya sedang meledek kecenderungan kita—masyarakat Indonesia—yang mati-matian berpegang teguh kepada nalar: hemat saya, adalah nalar yang tidak disadari, nalar yang tidak memiliki landasan epistemologis.

Danarto yang tergolong sebagai pengarang sastra angkatan tahun 70-an merupakan lonceng kebudayaan Indonesia yang tidak akan pernah mati. Kelihaiannya mengolah mistik Jawa dan tasawuf Islam terbukti dengan Godlob dan Adam Ma’rifat. Ia meyakini bahwa mistik Jawa (budaya sendiri) dan tasawuf Islam sebagai jalan mengenali diri, jalan pembebasan untuk menjadi manusia yang sebenar-benar manusia.

Beberapa kritikus sastra menggolongkan cerpen-cerpen Danarto beraliran surealisme dan absurdisme. Penggolongan jenis surealis bisa dibaca di dalam ulasan Faruk, Dari Kado Istimewa Sampai Pistol Perdamaian: Cerpen-Cerpen Pilihan “Kompas” 1992-1996 di Pistol Perdamaian Cerpen Pilihan Kompas 1996, sedangkan penggolongan jenis absurdisme bisa dibaca dalam tulisan Suminta A. Sayuti dalam bukunya Berkenalan dengan Prosa Fiksi, Cantrik Pustaka, 2017.

 

Badut-Badut Modernisme

Adam Ma’rifat  merupakan cerpen terbaik dengan beberapa aspek: eksperimentasi dan pesan tersurat yang masih relevan hingga sekarang. Pada 1982, buku ini sempat memenangi hadiah sastra Dewan Kesenian Jakarta. Bagi saya, antologi cerpen tersebut mengusung spirit pembebasan seperti yang diyakini Herbet Marcuse (1898-1979). Bagi Marcuse, sastra (seni) adalah peluru revolusi. Artinya, sebagai upaya revolusi mental masyarakat yang menjadi badut-badut medernisme. Kita bisa saksikan misalnya dengan satu alat teknologi bernama smartphone, kita dibuat sibuk melayaninya; seperti sebatas daging di hadapan teknologi.

Herbet Marcuse dalam bukunya One-Dimensional Man (2002) menyadari, bahwa masyarakat akan terdominasi oleh teknologi. Dengan begitu ia merinci: pertama, akan terborgol oleh kekuatan teknologi; kedua, lenyapnya ruang dialektika masyarakat selain menghamba kepada irama mesin modernisme; ketiga, masyarakat akan memenuhi kebutuhannya dari hasil teknologi, tidak pada yang lain, dan; keempat, hilangnya fungsi kritis sebagai kerja kreatif. Singkatnya, masyarakat tersetratifikasi dalam satu kondisi dengan memanipulasi pikirannya, hingga menafikan aktivitas transindensi terhadap realitas.

Maka realitas sekarang adalah seperti yang dikhawatirkan Marcuse di atas. Tidak salah, diskursus keilmuan seolah terjerembap dalam jurang gelap dan mengerikan. Contoh paling dekat terkait dengan sastra adalah sepinya kajian atas karya sastra. Akhirnya, karya sastra pun seolah barang konsumsi yang minus arti selain dicetak, dijual, kemudian didaur ulang dengan mesin medernitas. Dan yang lebih mengenaskan, masalah kebudayaan, politik, dan pendidikan yang seharusnya benar-benar dipikirkan, namun malah hanya menjadi “status” di media daring yang nyinyir dan memilukan.

Saya tegaskan, enam cerpen dalam Adam Ma’rifat akan menyeret kita kepada ruang transenden atas realitas sekarang yang runyam. Semata untuk meneguhkan identitas kemanusiaan. Misalnya cerpen yang berjudul “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malikat”; secara tidak langsung, Danarto menekankan isi ceritanya kepada aktivitas berpikir manusia yang akhir-akhir ini mandek, macet, atau sedang mampet di jurang modernisme.

 

Cerpen Pembebasan

Marcuse dalam The Affirmative Character of Culture (1937), menggolongkan dua karakater dalam karya sastra (klasik): Pertama, mengafirmasi kebudayaan yang ada. Dua cerpen Danarto yang berjudul “Lahirnya Sebuah Kota Suci” (hlm. 93) dan “Budaya Robot Membelot” (hlm. 101) bisa kita masukkan ke dalamnya. Yang disebutkan pertama, mengultuskan Kotagede sebagai simbol kebudayaan Jawa, khususnya Yogyakarta.

Dalam bahasa Danarto, …Yang akhirnya, atas desakan dari suatu wawasan, pemerintah memproklamerkan Kotagede sebagai kota suci. “Aku telah melihat keajaibanmu,” desah semua orang sehabis berada di dalam kamar tukang jam yang sudah diperlebar untuk dapat menampung pengunjung lebih banyak. Bukan sebagai Makkah atau Vatikan. Atau Karbala atau Qom. Juga bukan seperti Lourdes atau bukit Lisabon di mana Ibunda Maria ngejawantah (hlm. 97).

Selanjutnya, ia tegaskan, “Kotagede lebih memancarkan kesucian daripada sebuah kota keajaiban,” komentar yang lain…. Seperti khasnya Danarto, cerpen tersebut tidak serta-merta membuat pembaca paham. Namun, pembaca akan digiring menuju Kotagede. Kota yang konon sebagai basis Mataram Islam di Jawa. Naifnya, sekarang tidak lebih dari sebuah wilayah… yang tinggal adalah keheningan (hlm. 100).

Cerpen  Danarto “Budaya Robot Membelot” (hlm. 101) mengafirmasi tentang budaya tari dalam upacara pernikahan. Danarto menggambarkan sosok manusia yang terbebas dari modernisme, yaitu guru tari tersebut. Saya kutipkan:

…guru tari mereka, eyang itu, memegang kemudi. Langit dan bumi seperti di telapak tangannya. Ruang dan waktu seperti di sakunya (hlm. 107) …,” adalah lanskap manusia yang tarbebas dari tekanan modernitas. Lain lagi dengan upacara pernikahan yang sakral di masa lalu, kemudian diganti dangdutan dan konser yang hakikatnya tercerabut dari akar kebudayaan itu sendiri. Tak ayal, nama Via Vallen lebih terkenal dari pada Raden Ayu Soelistiyami.

Kedua, merupakan alienasi dari realitas yang mapan. Karena, karya sastra memiliki kekuatan menegasi. Dalam konteks Danarto, Cerpen-cerpennya dipertajam dengan nilai-nilai yang ada—mistik Jawa, mistisisme Islam—namun akan tetap berjarak dengan kehidupan sehari-hari: pembaca. Seloroh Marcuse, “sastra (seni) ditarik keluar dari proses realitas yang berlangsung dengan mengandaikan keberartian dan kebenaran pada dirinya sendiri.” Terkait karakter yang kedua, saya akan mengambil contoh cerpen Danarto yang berjudul “Adam Ma’rifat” (hlm. 21), “Megatruh” (hlm. 41), dan halaman 53 (yang tidak bisa diketik judulnya).

Di dalam cerpen “Adam Ma’rifat”, Danarto mengajak pembaca untuk mengenali dimensi material manusia. Paragraf pertama,  pembaca dihadapkan langsung dengan kata “cahaya”, yang tidak lain merupakan asosiasi dari Tuhan. Kemudian unsur “angin”, “api”, “air”, dan “tanah” yang adalah komponen material dari tubuh manusia. Ia mengulang kata “tanah” sebanyak 413 kali untuk mengisyaratkan akan “manusia” sebagai ciptaan “Tuhan”. Manusialah yang paling banyak berperan di maya pada ini.

Danarto melontarkan pertanyaan eksistensialis terhadap manusia, …siapakah dirimu itu? Dirimu adalah penyelidikanmu sedang diriku adalah rahasiaku (hlm. 22)…. Selanjutnya ia menukas, jika (kalian) manusia tidak mau menjadi manusia dalam menjalani hidup ini,  maka “… Jika kalian tidak menyukai perjalanan ini, kalian boleh turun, kalian bebas (hlm. 36)….”

Sedangkan cerpen “Megatruh”, ia mengembalikan cita rasa hidup manusia, yang seharusnya mengakrabi realitas di sekitarnya. Dalam cerita itu, manusia tidak jauh berbeda dengan “kadal” dan “zat asam” yang dibuat seolah sama dengan manusia. Begitu juga dengan cerpen (yang tidak bisa diketik judulnya), dengan berbagai kreativitas yang dimiliki Danarto, cerpen ini seperti senada dengan diktum Marcuse: “sebuah karya sastra (seni) yang bersimpul kesenangan.” Dengan begitu, pembaca akan tersenyum dengan ekplorasi simbol yang Danarto suguhkan kepada pembaca.

Seluruh cerpennya di dalam Adam Ma’rifat mengejawantahkan aspek progresivitas seni itu sendiri. Yakni dengan mengandaikan realisasi manusia sebagai tubuh yang penuh kreativitas: terbebas dari ceptaanya sendiri (teknologi). Selanjutnya, karakter negasi bisa membangun suatu distingsi terkait unsur manusia yang tampak dan yang esensi; bahkan antara yang potensial dengan yang aktual. Karena itu, saya anggap cerpen-cerpen Danarto merupakan cerpen yang membebaskan manusia dari belenggu modernisme.

Akhirnya, sebagaimana kata Marcuse murid Heidigger itu, “karya  sastra (seni) tidak dapat mengubah dunia, akan tetapi bisa menjembatani perubahan kesadaran manusia-manusia (subjek) yang tak lain sebagai nabi revolusi itu sendiri.” Kemungkinannya, ialah menjadi manusia yang terbebas dari dominasi teknologi. Tentu saja setelah membaca jampi-jampi dalam buku Adam Ma’rifat-nya Danarto.

Muafiqul Khalid MD
Latest posts by Muafiqul Khalid MD (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!