Dua Sungai di Rumah Jumarni

Dua puluh tahun sudah aku tak pernah pulang kampung. Reunilah yang membawaku lagi ke sana. Keluarga satu kampung yang terserak di daerah rantau masing-masing, sepakat tahun ini kami harus mengunjungi lagi tanah air tumpah darah itu. Yah, ratusan bukit dan lembah, barisan pepohonan, juga sungai-sungai kecil menyapaku, anak rantau yang kembali lagi.

Selain karena rindu, tersebab perkataan seorang ulama yang membuatku menarik sekujur badan ini ke kampung yang hanya diisi sekitar dua puluh rumah itu. Katanya, orang yang beriman, di dadanya, selalu berguruh keinginan untuk pulang kampung. Setiap mengingat petuah itu, dadaku terasa sesak. Dua windu lebih aku tak menengok jejeran sawah yang dihidupi mata air itu. Aku pantang disebut lekbak batu sapinggak, pergi bagai batu peluru. Pergi yang tak kembali!

Menuju kampung, sesungguhnya aku digayuti perasaan bimbang. Di manakah saya nanti tinggal dan menginap? Kedua orang tuaku sudah berpulang. Kakak satu-satunya juga sudah meninggal sebelum beristri. Sebagai anak bungsu, aku menanggung derita ini sebagai seseorang yang pernah dilahirkan di sebuah tempat, sebagai seorang perantau.

Kampungku dijaga oleh pertemuan dua sungai. Sungai yang besar dengan air keruh dan batu-batunya yang mulus. Sungai kecil dengan air jernih, memiliki bebatuan yang kasar. Persis di samping pertemuan sungai itu, terdapat pohon beringin yang menjulang di pematang sawah. Aku menyeberangi pertemuan dua sungai legendaris itu. Sebuah alamat, aku pulang kampung.

Pertemuan dua sungai itu menjadi masyhur karena menjadi tempat berwudu orang dari berbagai kampung sebelum mengungsi akibat masuknya Gorilla ‘yang bergerilya’ yakni tentara DI/TII yang memasuki kampung-kampung. Saat pasukan Operasi Perlawanan Rakyat (OPR)1 memburu Gorilla, warga mengungsi ke pantai, dalam jarak tempuh ratusan kilometer, jalan kaki. Nah, sebelum meninggalkan kampung, mereka berdoa dan berwudu di pertemuan dua sungai agar kampung terjaga dan mereka dapat kembali lagi suatu waktu nanti.

Kini, ada kenangan tak terlupakan saat menyentuh air sungai itu. Di masa kecil silam, kami sering mandi jelang sore hari. Menyelam ke dasar dua pertemuan sungai adalah sebuah kepuasan tersendiri. Kami sering main sembunyi batu di dasarnya. Anak yang paling lihai sembunyikan batu di kedalaman akan menjadi pemenang. Ah, di manakah teman-teman kecilku dulu?

Kakiku melangkah dengan cepat. Tergesa. Rasa-rasanya ingin segera memasuki dan melihat kembali kampung yang dulu aku tinggalkan selama dua puluh tahun itu. Aku melewati kelokan jalan yang bernama kalembungang, tempat raibnya orang yang pergi dari tatapan, sekaligus kemunculan pertama orang yang datang.

Di kelokan jalan itulah aku berpapasan dengan seseorang. Perempuan yang secara fisik seperti menapaki usia lima puluh tahun. Aku melempar senyum padanya. Dia melepas pandang yang asing padaku. Tetapi sebelum kami berpisah jauh, aku berhenti dan berbalik arah kepadanya. Ternyata dia juga berhenti dan menoleh padaku.

Wajahnya yang bulat-putih, senyumnya yang lebar, serta matanya yang dalam nan hitam, menarik aku jauh ke belakang. Sepertinya aku kenal dia. Tapi siapa?

“Apakah kau itu, Jumarni?” tanyaku.

“Iya, aku. Maaf kamu juga siapa? Ia balik bertanya. “Tahang,” jawabku singkat.

Ia tiba-tiba berlari ke arahku dan memelukku. Ia katakan bahwa tak mengira aku akan datang. Dengan terbata-bata teman sepermainanku dulu itu bercerita bahwa tak mengira kami masih bertemu. Waktu merambati usia. Kami satu tahun kelahiran, tetapi sang waktu memberati ringkih tubuhnya.

“Aku kira Tahang sudah lupa kami yang di kampung. Ternyata kamu masih pulang kampung juga, menengok kami yang begini-begini saja,” desahnya sesenggukan.

Bicaranya agak tidak jelas, karena sebagian gigi serinya sudah tanggal. Sebagian yang masih tinggal, tampak bergoyang-goyang. Sebuah jilbab tidak menutup semua rambutnya yang sebagian menyembul di pipi. Rambut itu pun tampak awut-awutan.

Jumarni teman aku dulu menyelam di pertemuan dua sungai itu, begitu cepat ketuaan membetot tubuhnya.

Jumarni yang rencananya menuju sawah sore itu, akhirnya pulang bersamaku menuju kampung. Dia mengajakku untuk tinggal di rumahnya saja selama di kampung. Aku setuju ajakannya. Berjalan ke rumahnya, aku terseret ke dua puluh tahun silam.

***

Orang tua Jumarni tergolong berada di kampung. Kata lainnya kaya, dibanding dengan warga lain, termasuk keluargaku. Merekalah yang pertama kali memiliki mesin penggilingan gabah. Sebuah kemewahan yang hanya dimiliki orang berduit. Dari mesin itu, juga menjadi sumber aliran listrik ke rumahnya dan rumah warga. Warga membayar per bulan kepada mereka. Di bawah rumah panggung mereka, terdapat kios sembako. Di ibu kota kecamatan, juga ada kios jualan mereka yang buka setiap pasar Senin-Kamis.

Keluarga Jumarni memiliki sawah berpetak-petak. Di padang, lebih sepuluh ekor sapi dan kerbau miliknya juga. Belum lagi beberapa ekor kuda yang digunakan jasa pengangkut hasil pertanian warga. Kerbau menjadi alat penarik salaga yakni alat pengolah sawah. Sumber kekayaan tersebut dipadu dengan kemampuan bisnis ibu Jumarni yang ulet. Bapak Jumarni seorang pegawai pemerintah yang merupakan anugerah tersendiri di belantara kampung, yang dihuni orang-orang pekerja serabutan, sebagian besar petani. Termasuk keluarga aku dulu.

Aku, Jumarni, dan teman-teman sepermainan dulu, menikmati masa kebersamaan sampai duduk di sekolah menengah pertama. Kami semua berjalan kaki ke SMP sejauh delapan kilometer pulang-pergi. Selain kami menyeberangi pertemuan dua sungai itu, kami akan menyeberangi sungai-sungai lain, pematang sawah, mendaki bukit, dan menuruni lembah. Sekolah kami dijaga sebuah gunung dan lembah yang tak henti mengirim mata air.

Jumarni Aziz, demikian nama lengkapnya, selalu tampil lebih dibanding kami, apatah lagi aku. Bajunya disetrika rapi. Bedak menghiasi wajahnya yang lembut manis. Bibirnya semerah buah jambu di halaman rumahku. Di saku roknya pasti tersimpan uang untuk jajan, sebuah kemewahan lain lagi. Aku, hanya bermodal sarapan ubi rebus dan kebaikan kawan sekelas lainnya, jika kelaparan di kelas.

Di balik perbedaan itu, kami memiliki perayaan kebersamaan yakni berebutan mematahkan batang pimping, tanaman sebangsa tebu yang tumbuh alamiah di pematang. Batangnya yang berair manis, kami kunyah sebagai pelepas dahaga. Kami juga kadang bertengger lama di atas pohon jambu di pinggir jalan.

Kakak dan adik Jumarni pun menikmati kelebihan orang tuanya. Saat kami bermain mobil-mobilan, adik Jumarni bernama Daming, menarik mobil-mobil benaran yang berbahan plastik dibeli di pasar. Aku dan teman-teman, menarik mobil dari pelepah kelapa atau sagu. Rumah panggung Jumarni, betapa elok dipandang, dulu. Atap seng mengilap di antara atap rumbia kami. Dinding papan terlihat bermartabat dan jendela yang dipesan khusus. Sampai tiba hari nahas. Sebuah kejadian yang tidak lama berselang, aku pun merantau dan baru kembali hari ini. Sebuah kejadian yang mengubah seluruh hidup Jumarni, juga saudaranya yang lain.

          Mengikuti ajakan Jumarni, aku pun memilih tinggal di rumahnya.

Sebelum aku lanjut berkisah, tiba-tiba Jumarni ambruk di hadapanku. Dari silsilah keluarga, dia masih ponakanku. Aku dan ibunya bersepupu. Suaminya termasuk keluarga jauh, yang kelihatan rapuh malam itu.

Jumarni ambruk karena perjumpaan ini. Pertemuan denganku adalah pertemuan puluhan tahun silam. Dari ruang tamu rumahnya yang terbuat dari jelajah bambu, kemewahan masa lalunya seakan hantu yang gentayangan saat ini. Mungkin ia terhenyak melihat kedatangan dan penampilanku yang kekotaan, bertemu dengan nasibnya yang lantak.

Saat kami kelas dua SMP, ibunya mati tiba-tiba. Bukan tiba-tiba benar. Usai pulang dari pasar, malam hari, ibunya oleng. Tak lama selangnya, ia tak sadarkan diri. Beberapa dukun dari kampung seberang, kerabat kami juga, dipanggil. Segala jampi-jampi dilafazkan. Beragam air doa-doa diusapkan ke keningnya yang berkeringat.

Aku ingat persis, di hadapan ibunya saat itu, seorang dukun mencelupkan ujung keris di air pada sebuah gelas. Air itu tampak mendidih mengikuti mantra sang dukun. Ketika air itu didampratkan ke mukanya yang sekarat, ibu Jumarni seperti tersengat listrik. Tetapi tak mampu membangkitkan ia dari sadar.

Pessohongko saki, pentamako kamapiaang

Kasajangngi kasi Puang, indo kasajangang2

Aku bergidik melihat adegan sang dukun mengucap mantra itu.

“Ibumu ini dikirimi guna-guna. Santet,” kata dukun bergigi emas berambut kribo itu.

Satu keluarga dan seisi rumah bagai disambar petir mendengar vonis dukun tua bersarung itu. Kepercayaan di kampung, jika ada orang yang kena guna-guna, hanya ada tiga kemungkinannya. Sakit akibat guna-guna itu dapat disembuhkan oleh kesaktian sang dukun, dikembalikannya penyakit kepada pengirim guna-guna yang membuat ia terserang balik kesaktiannya, atau sama sekali tak dapat disembuhkan. Yang ketiga itu berarti pemilik guna-guna lebih sakti dibanding dukun. Dukun berkopiah hitam itu yakin dapat mengembalikannya. Tetapi syaratnya, harus melalui sandal jepit sang peguna-guna. Tapi masalahnya, orang yang ditengarai pengirim guna-guna itu berada jauh di sebuah tempat.

Malam itu sangat mendebarkan. Bapak Jumarni lagi tidak ada di tempat. Ia mengajar pada sekolah menengah atas di kampung yang jauh juga. Maka malam itu, ia dijemput menggunakan kuda miliknya. Malam itu, kuda hitam menembus legamnya malam, puluhan kilometer.

Seorang tetua kampung meminta agar ada orang pintar mengantar kepergian ibu Jumarni. Jangan dibiarkan ia pergi begitu saja, katanya. Maka dipanggillah bapakku yang juga terbaring sakit di rumah. Bapakku seorang imam kampung. Masjid hanya berjarak lima rumah dari tempat Jumarni. Bapak datang dan segera membacakan salawat Nabi. Tak lama berselang, ibu Jumarni meninggal.

Pekik tangis pecah malam itu. Pagi buta, suaminya tiba mengendarai kuda, tak menduga istrinya pergi secepat itu. Dalam keadaan lunglai, ia memeluk tubuh istri tercinta yang tanpa nyawa.

Jika tersebab kematian belaka, mungkin nasib keluarga Jumarni tidak semalang ini. Tetapi adat kampunglah yang membuka lobang kemelaratan itu. Malam ketiga, seekor sapi milik keluarga Jumarni disembelih. Pesta mengenang kematian pun digelar. Kambing dan ayam kampung pun turut disembelih menjadi santapan bersama. Malam tahlil berlangsung dengan membaca ayat suci, pesan kematian, dan santapan makanan enak. Di kolong, sang dukun mengelilingi rumah, mengusir jin jahat dengan semburan beras mengikuti bentuk rumah. Sebuah mantra ia rapal ke udara.

Malam ketujuh, empat belas, dan empat puluh menjadi malam-malam panjang dalam derita keluarga Jumarni. Belasan sapi dan kerbau miliknya pun tumbang. Pada malam keseratus itulah, kekayaannya ludes. Beberapa ekor sapi dan kerbau sekaligus dikorbankan. Para tamu, selain makan di tempat, juga membawa pulang dodak, yakni potongan bambu yang isinya daging. Semakin banyak dodak dibawa, bermarwah pula nama keluarga korban. Tetapi hanya orang-orang mampulah yang sanggup membuat pesta seperti ini. Keluarga Jumarni mampu melakukannya. Tetapi tidak apa-apa, toh mereka juga mendapat siraman rohani dari pendakwah malam itu.

Seminggu setelahnya aku merantau ke kota untuk melanjutkan sekolah di sana. Aku hanya mendengar kabar bahwa bapak Jumarni menikah lagi dengan gadis dari kampung jauh, tempat ia mengajar. Jumarni dan saudaranya tidak ada yang setuju. Cekcok terjadi di hari pernikahan. Kakak Jumarni tiba-tiba datang hari itu dari kuliah di kota dan mengacak-acak pesta. Ia menuding ke pelaminan. Katanya, ia dapat info dari dukun lain, gadis itulah yang menyantet ibunya hingga meninggal. Gadis berumur dua puluh tahunan itu adalah mantan siswa bapaknya di SMP beberapa tahun lalu yang konon menjadi murid kesayangan bapaknya. Ia berteriak bahwa tak tega ia melihat pernikahan itu sementara ibunya belum kering kuburannya. Ia menangis sambil meninggalkan pesta. Di kursi pelaminan, bapak dan ibu tirinya shock. Pesta kacau. Tamu tampak tidak menikmati hidangan.

Tapi informasi yang aku dapat kemudian, akibat pernikahan itu ekonomi keluarga Jumarni merosot hebat. Mesin penggilingan gabah dijual. Beberapa petak sawah digadaikan. Dua adik Jumarni tidak lanjut sekolah, menjadi pekerja serabutan dari kampung ke kampung. Kakak Jumarni yang kuliah di kota itu menikah dengan sopir bus antarkota. Jumarni sendiri menikah dengan Kacok, seorang pemburu rusa di hutan-hutan kampung.

***

Di rumahnya yang sederhana, aku melihat beberapa tanduk rusa dipajang di dinding bambu. Jumarni sudah sadar dari ambruknya. Ia kemudian bercerita lagi.

“Oeee Tahang, lihat-lihatlah kami di kampung, kasian. Beginilah nasib kami. Kalau aku ingat masa-masa kecil kita dulu, aku ingin melompat ke masa lalu. Ingin berteriak. Rindu kita mandi bersama di pertemuan dua sungai. Aku ingin meratap,” katanya terisak.

Aku menyeruput kopi bikinannya. Aku merasakan getir hidup Jumarni, getir hidup sahabat, getir hidup orang kampung. Aku membuka oleh-oleh dan memberikannya. Ada biskuit kaleng, ikan kaleng, dan beberapa bungkus permen. Tak lupa aku memberi kaos untuk suaminya. Malam itu aku berbaring di kamar rumah Jumarni tetapi tak dapat tidur sampai azan Subuh memanggil. Udara kampung yang dikelilingi hutan, membuatku menggigil.

Saat pagi tiba, terdengar berita beberapa anak rantau juga tiba. Seperti biasa, nama mereka disebut-sebut warga sebagai tanda sambutan. Terdengar nama Bakdu, Mideng, dan Sumang disebut. Mereka adalah teman sepermainan kami dulu bersama Jumarni juga. Mereka adalah alumni permandian di pertemuan dua sungai legendaris itu. Mendengar mereka datang, Jumarni bangkit dan berjalan ke pintu rumahnya yang bergoyang-goyang. Kukira ia akan berlari menyongsong saudara-saudara kami itu untuk meramaikan reuni.

Tiba-tiba Jumarni sesenggukan. Ada kepiluan yang menyayat dari senggukannya. Ada derita yang tertahan dalam samar ratapannya. Ada masa silam yang mengalir dari tangisannya.

Di kursi, aku menyaksikan pertemuan dua sungai yang lain: sungai masa kanak kami dulu dan sungai air mata Jumarni.

Kendari, 2021

Catatan:

1OPR adalah Organisasi Perlawanan Rakyat bikinan pemerintah untuk membantu tentara menumpas DI/TII

2Keluarlah penyakit, masuklah kebaikan

Kasihani dia Tuhan, dia ibu kasih sayang

Syaifuddin Gani
Latest posts by Syaifuddin Gani (see all)

Comments

  1. Uniawati Reply

    Kisah yg mengiris pilu

  2. Mas Bara Reply

    Sangat menikmati.

  3. Inayah Nasir Reply

    Cerita yg dalam. Kita sebagai pembaca seolah bisa merasakan setiap emosi yg terjadi dari setiap tokoh. Merinding.

  4. Tirto S Reply

    Mantap, sukses…

  5. BM DANA Reply

    luar biasa, bagus sekali Pak.. sukses selalu

  6. Zaim Qusyairi Reply

    Seru sekali

Leave a Reply to Tirto S Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!