Dua Teman Lama

1

Perempuan muda dengan pakaian menor itu memasuki kafe.

“Kafe sudah mau tutup,” tegur petugas yang sejak tadi mengemasi barang-barang. Perempuan yang baru masuk dengan pakaian layaknya seorang penari malam sebuah kafe itu tak menggubris. Ia tetap masuk dan langsung menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian ia keluar dengan pakaian lebih tertutup hingga mata kaki.  

Perempuan itu tidak lain adalah temanku yang sudah bertahun-tahun tak pernah bertemu. “Yuliani?” tanyaku. Ia mengangguk dan tersenyum. Kami berpelukan.

“Kita cari tempat lain,” ajakku. Sepasang matanya memberi isyarat. “Tempat ini sudah mau tutup. Kau datang terlambat.”

“Maafkan aku.”

“Tidak perlu minta maaf. Aku tak akan menghukummu di depan anak-anak asrama.” Ia tertawa. Kami berjalan melewati trotoar.

“Ke mana kamu akan membawaku?” Yuliani berpaling.

“Hanifah menunggu kita di kafe, tak jauh dari sini.”

“Hanifah?” Yuliani bertanya heran. Aku maklum. Aku tahu ia dan Hanifah sama-sama pandai dalam banyak bidang pelajaran, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan umum. Keduanya bersaing, kecuali dalam ilmu agama. Hanifah mengakui, Yuliani tak akan bisa dikalahkan dalam hal ilmu agama. “Aku tak mau ketemu Hanifah.” Ia berpaling. Meninggalkanku seorang diri.

“Taksi,” teriaknya kepada sopir taksi yang bersandar malas pada mobilnya.

Usahaku mencegahnya keluar dari dalam mobil tak berhasil. “Jalan,” katanya, “Kau tak perlu sok bijak ingin mendamaikanku dengan Hanifah.” suaranya terdengar berat.

Rencanaku mempertemukan Yuliani dengan Hanifah gagal. Aku menyesal. Ingin rasanya merutuk kegagalanku dalam mempertemukan teman sekotaku, sahabat yang dalam banyak bidang saling bersaing.

***

Sejak di Jakarta, aku, Yuliani, dan Hanifah nyaris tak pernah bertemu setelah Hanifah diterima di kantor pemerintahan. Sementara aku dan Yuliani yang tidak diterima, segera mencari lowongan lain. Sejak itu kami tak pernah bertemu. Aku mendapati nomor Yuliani dari seorang kawan yang tertarik dengannya, tapi kemudian mundur setelah tahu Yuliani bekerja sebagai PSK. Kawan di kantorku itu memperlihatkan wajah Yuliani, yang kemudian sayup-sayup kuingat bahwa perempuan yang disenangi kawanku adalah sahabatku yang sudah lama tidak pernah bertemu. “Simpan nomornya. Mungkin sekali waktu kamu butuh pelampiasan.” ucapnya sinis.

2

Hanifah menungguku dengan gelisah. Seperti juga Yuliani, Hanifah adalah sahabatku sejak di asrama. Kami datang ke Jakarta dengan tujuan sama, cari kerja. Rokok dan minuman-minuman beralkohol bukanlah barang asing bagi Hanifah yang sering menyamar demi mendalami penyelidikan atas kasus-kasus pejabat-pejabat bermasalah, “tuntutan pekerjaan,” katanya suatu hari.

Malam itu, Hanifah tak menyambutku dengan wajah riang dan ekspresif seperti biasa. Lampu remang kafe membuat perak rambutnya yang diwarnai itu terlihat pucat. Aku yang duduk di depannya tak digubris. Ia larut dalam kesedihan dan penyesalan. Aku menduga Hanifah sedang mengalami masalah berat.

Denting gitar dan piano mengiringi perjumpaan kami yang masih saling membisu. Sesekali Hanifah mengisap rokoknya lalu menyemburkan asapnya ke arahku.

“Ada apa denganmu?” tanyaku kemudian. “Ada sesuatu yang ganjil?”

“Tidak.”

“Mana Ani?”

Aku tak segera menjawab. Hanifah tak mendesak. Ia meraih tasnya dan mengeluarkan lembaran kertas. Kertas yang baru saja dikeluarkan dari dalam tasnya diserahkan kepadaku. “Bacalah,” imbuhnya. “Balik dan baca,” perintahnya. “Kamu belum berubah. Malas membaca.”

“Sudah pesan kopi?”

“Aku minta kamu membaca.”

“Apa susahnya mengatakan antara sudah dan belum?”

“Bisakah kamu tak banyak bertanya?”

“Gila,” jawabku sambil membalik kertas dan membaca catatan yang tertera di situ. Aku terperangah, tak percaya dengan apa yang aku lihat dan baca. Apalagi ketika nama Yuliani tertulis di antara sekian kasus pencucian uang negara.

“Apa hubungannya dengan Yani?”

“Rumahnya akan kami sita.”

“Masalahnya apa?” suaraku agak keras. Pengunjung kafe lain berpaling dan memandang kami dengan ekspresi aneh. Hanifah tak peduli dengan mereka, juga aku. Ia menundukkan kepala. Ia mulai menangis, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Aku sendiri berusaha tenang meski sebenarnya sangat emosi.

“Ani,” suara Hanifah terdengar serak. “Sebelum bertemu denganmu, aku dipanggil kepala untuk mengecek dan memeriksa laporan tentang salah seorang pejabat daerah yang melakukan gratifikasi uang negara.”

“Hubungannya dengan Ani?”

“Aku tidak tahu apakah ia menjadi istri simpanan atau ….” Hanifah terdiam. Hening. “Yang pasti keduanya beberapa kali di hotel, berdua.”

Aku tak sepenuhnya mengerti cerita Hanifah tentang keterlibatan Yuliani, dugaanku pasti ada yang tidak beres dengannya. Terlintas dalam ingatan saat Yuliani masuk kamar mandi dengan pakaian menor, kemudian keluar dengan pakaian sangat anggun lengkap dengan penutup kepala, kerudung. Ada apa dengan sahabatku? batinku.

“Celakanya, yang akan melakukan penangkapan adalah aku dan teman-temanku.” Hanifah menelungkupkan kedua tangan pada wajahnya.

Mendengar penuturan Hanifah tentang Yuliani, aku teringat perkataan kawan kantorku yang suka pada Yuliani. Dengan nada emosi ia memberi tahu bahwa perempuan yang ia cintai bekerja sebagai PSK di sebuah lokalisasi. “Pelacur,” katanya geram. Aku tak percaya dengan apa yang disampaikan kawanku tentang perempuan yang disukainya. Dugaanku, kawanku hanyalah cemburu dan sakit hati.

Tapi bagaimana dengan cerita Hanifah? Haruskah aku mencurigainya lantaran keduanya selalu tak sepemikiran sejak di asrama dulu? Tiba-tiba aku merasa seperti berada di persimpangan yang kebingungan menentukan arah. Bila benar yang dikatakan oleh Hanifah dan kawanku tentang Yuliani, apa yang harus kulakukan? Bagaimana pun, ia sahabatku. Aku harus membantunya keluar dari jeratan masalah yang membuatnya terpaksa jadi pelacur.

3

Sudah dua hari aku kesulitan tidur. Di kantor, pekerjaanku berantakan karena tak pernah konsentrasi dan fokus. Kawan kantorku yang suka kepada Yuliani sering menyindirku, bahkan tak segan-segan menyerangku. Ia bilang, tak apa bila aku mencintai perempuan yang ia cintai. “Toh aku juga tak akan menikahi seorang pelacur.” Sontak aku membanting monitor komputer ke arahnya hingga membuat suasana di ruangan gaduh. Catatan-catatan Hanifah mengenai Yuliani yang terlibat hubungan gelap dan menerima gratifikasi rumah dari seorang pejabat daerah yang beberapa kali bersamanya di sebuah hotel, berhamburan. Apa sebenarnya pekerjaanmu, Ani? jeritku dalam hati.

Berbekal harapan besar, kukirim pesan pendek kepada Yuliani agar malam ini bisa menemuiku di kafe. Aku memesan minuman kesukaan, coffee latte. Sambil menunggu Yuliani datang aku berpikir tentang banyak kemungkinan tentangnya. Apa yang aku pikirkan tentangnya kadang membuatku bertambah emosi.

Yuliani datang lebih cepat dari yang kuduga. Seperti pada pertemuan sebelumnya, ia datang dan langsung masuk kamar mandi kemudian keluar dengan pakaian lebih tertutup lengkap dengan kerudung. Ia memang mempesona, dan aku tak dapat menyembunyikan kekagumanku kepadanya. Di depanku ia menyunggingkan senyum, aku pun membalasnya dengan kekaguman dan sekaligus kegelisahan yang tak dapat kuelak dari pikiran.

“Mau mengantarku pulang?”

Aku mengangguk. Lagi-lagi ia tersenyum. Di sebuah rumah makan sederhana, Yuliani minta menepikan mobilku. Ia memintaku turun dan mengajakku makan. Demi ingin mendapatkan penjelasan tentang apa yang ia kerjakan, aku tak menolak permintaannya. Selain dua porsi nasi yang kami makan di tempat, ia juga memesan sepuluh bungkus nasi. “Untuk anak-anakku.”

“Sepuluh bungkus?”

“Sepuluh bungkus kadang kurang.”

Aku tak mengerti.

“Kamu akan mengerti setelah bertemu dengan mereka.”

“Anak-anakmu?”

“Ya, anak-anakku, juga anak-anakmu kalau kamu mau.”

“Aku bingung.”

“Aku sendiri bingung dengan dunia yang aku jalani.”

“Apa yang kamu kerjakan?”

“Aku tak punya kewajiban menjawab pertanyaanmu.”

“Kamu sahabatku.”

“Aku tak butuh pengakuanmu.” Yuliani melepas kerudung dan menelungkupkan pada matanya. Suara sesenggukan dan isak seniknya membuat pertanyaan-pertanyaanku tentangnya menggantung. Aku tak sanggup lagi bertanya pekerjaan apa yang selama ini ia kerjakan; pelacurkah sebagaimana dikatakan kawan kantorku ataukah istri simpanan seorang pejabat yang terkena kasus korupsi? Yuliani minta memelankan mobilku. “Di depan, berhenti.”

Yuliani mengajakku memasuki halaman rumah berpagar putih. Rumah itu sederhana dengan halaman rapih dan terawat. Di balik pagar dinding ada beberapa tumpukan dan beberapa barang bekas. Aku mengamati barang-barang bekas yang tak seberapa banyak itu.

Yuliani memintaku segera masuk. Sepuluh anak-anak menghampirinya. Mereka berebut nasi yang dibawa Yuliani. Di antara mereka berteriak riang, memanggil Yuliani dengan sebutan mama.

“Mama datang,” Yuliani mengeluarkan dan membagikan nasi, masing-masing dapat satu. “Jangan berebut, Sayang.”

Yuliani mengajakku memasuki ruangan yang terpisah dengan ruangan anak-anak yang sedang menikmati nasi bungkus.

“Menurutmu, orang yang sudah bersuami pantas pulang dini hari begini?”

“Aku tidak tahu,” jawabku. “Sepuluh anak itu anakmu?”

“Anakmu juga kalau kamu mau.” Kemudian Yuliani memasuki kamar. Tak lama kemudian ia kembali menemuiku dengan hanya mengenakan tank top. Tiga dari anak-anak yang tadi diberi nasi bungkusan segera menghambur, memeluk manja pada Yuliani. Sesekali di antara mereka melirikku.

“Siapa, Mam?” salah seorang anak bertanya sambil merajut manja bertanya.

“Papa kalian.” kulihat raut wajah anak-anak terlihat bingung. Aku sendiri kaget dengan jawaban yang tak kuduga itu.

“Yang sering mengantar Mama pulang siapa?”

“Bapak kalian juga.” jawabnya dengan nada gemetar. “Masuklah, tidur,” perintahnya. Tak seorang pun di antara anak-anak itu membantah. Mereka dengan langkah berat memasuki kamar.

Setelah memastikan anak-anak sudah berada di kamar tidurnya, Yuliani mengajakku ke halaman. Langit terlihat cerah. Cahaya bulan dihalau awan yang berarak. Angin mendesir silir. Jalan raya mulai lengang. Yuliani bercerita banyak hal, termasuk tentang sepuluh anak-anak. “Mulanya hanya dua orang, tapi beberapa minggu kemudian bertambah, dan terus bertambah.”

“Mereka anak jalanan?”

“Bisa disebut begitu. Di antara mereka ada yang tak tahu keberadaan kedua orang tua dan rumahnya di mana,” imbuhnya. “Aku tidak tahu pasti, kenapa mereka mendatangiku. Dan aku tak bisa mengelak ketika mereka meminta tinggal bersamaku. Lagian, di rumah sebesar ini aku sering sendirian. Aku kesepian.”

“Mereka bekerja serabutan. Ada yang jadi pemulung, ada juga yang ikut orang lain berdagang di perempatan. Aku meminta mereka menyimpan uangnya.” Harap Yuliani, “aku ingin mereka belajar di sekolahan, tapi pihak sekolah menolak karena mereka tak punya akta kelahiran.”

“Terus …” tiba-tiba suaraku tertahan. Dadaku sesak oleh pertanyaan yang tak sanggup kuajukan.

“Sebelum mereka datang, aku sudah bekerja sebagai pelacur.” Sesak di dadaku semakin menjadi. “Sampai akhirnya seorang pejabat datang.” Sejenak ia berpaling pandang dariku. “Singkatnya, pejabat itu memberiku rumah. Aku harus melayaninya setiap kali ia datang ke sini.”

Air mataku tak terbendung lagi. Rasa dongkol dan iba berkecamuk dalam pikiran. “Mari masuk,” ajaknya. Aku mengikutinya. Ketika Yuliani hendak mengunci pintu, tiba-tiba sebuah ketukan terdengar dari luar pagar. Yuliani menyingkap gorden. Ada sekitar tujuh orang berdiri, satu di antaranya seorang perempuan.

Yuliani membuka pintu setelah mendengar namanya dipanggil. Lima orang masuk setelah meminta izin dan menempelkan papan nama yang bertuliskan rumah sitaan. Melihat lima orang itu menempelkan papan bertuliskan rumah sitaan, emosiku semakin meluap. Kutemui perempuan yang sejak kedatangannya selalu berpaling. Hanifah?

“Ani sahabatmu.”

“Tapi ini hukum.”

“Sepuluh anak-anak yang tak jelas orang tua dan rumahnya di mana membutuhkan rumah ini untuk tempat berteduh.”

“Siapa mereka?” tanya Hanifah sambil memunggungi Yuliani. Kulihat air mata Hanifah mengalir deras.

“Mereka adalah anak-anak yatim, dan Yuliani mengasuh mereka.”

“Tapi ini urusan hukum negara. Rumah ini rumah dari hasil pencucian uang yang dilakukan seorang pejabat yang selalu bersama Yuliani.”

“Aku mengerti. Tapi bagaimana dengan nasib sepuluh anak-anak itu?”

“Biar negara yang ngurus mereka.”

“Negara katamu. Negara tak pernah ada untuk mereka.”

“Apa hakmu membelanya?”

“Aku sahabatnya, sahabatmu!” bentakku. Dengan berurai air mata, Hanifah memerintahkan lima anak buahnya membawa Yuliani ke kantornya untuk dijadikan saksi.

“Jaga anak-anak itu. Jangan risau. Sahabatku akan aman bersamaku.” Hanifah tak memberiku kesempatan lagi. Kutatap punggung dua sahabatku yang sejak di asrama tidak pernah akur itu.

Tiba-tiba dari belakangku sepuluh anak-anak berhamburan, mengejar Yuliani yang diapit lima petugas. Di balik pagar mereka meratap, sementara Yuliani digiring menuju mobil petugas.

Melihat sepuluh anak-anak yang ditinggal Yuliani itu tiba-tiba dadaku terasa berat, sesak.

Bandung-Jogja

Mahwi Air Tawar
Latest posts by Mahwi Air Tawar (see all)

Comments

  1. Nadya tifa Reply

    Sungguh menusuk hati, Aku menyukainya. Membuat empati kita semakin besar Dan selalu berpikir bahwa belum tentu semua orang jahat lewat apa Yang mereka kerjakan.

  2. Siska Maulina Reply

    Yuliani bukan orang jahat, hanya langkah yang ia ambil kurang tepat

  3. Maryanti Reply

    Bagus ceritanya dan bahasanya mudah di mengerti. Semoga saya juga bisa belajar dari anda.

  4. Amila_Rosyida Reply

    Saya suka ide ceritanya. Awalnya saya mengira 10 anak-anak itu, adalah anak Yuliani. Ternyata mereka anak jalanan. Bahasa yang digunakan juga mudah dimengerti.

  5. Ceng Reply

    Realitanya memang begini 🙁

  6. Zaim Qusyairi Reply

    Pembangunan konfliknya bagus sekali. menarik dari awal sampai akhir, tidak membosankan.
    Hanifah harusnya bilang anak-anaknya biar diasuh Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA)

Leave a Reply to Amila_Rosyida Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!