Beliau adalah Ibrahim bin ‘Isa al-Ashfihani. Beliau berasal dari Ishfahan, Iran. Bersahabat dengan Syaikh Ma’ruf al-Karkhi. Menyimak tuturan-tuturan dari Syaikh Dawud ath-Thayalisi dan Syaikh Muhammad bin al-Muqri’. Beliau wafat pada tahun 247 Hijriah di Ishfahan.
Tentang ketajaman penglihatan batin beliau, seorang sufi bernama Syaikh Ibrahim al-Khawwash menuturkan kesaksiannya sebagaimana berikut ini. “Hari itu,” ungkap Syaikh Ibrahim al-Khawwash, “aku berada di Baghdad, di tepi Sungai Tigris sedang berwudhu. Aku melihat seseorang datang dari arah sana menuju ke Sungai Tigris juga.
Maka kuletakkan kepalaku di atas tanah. Aku bermunajat kepada Allah Ta’ala: ‘Demi kemuliaan dan keagungan hadiratMu, aku tidak akan mengangkat kepalaku sehingga aku mengenal orang yang sedang datang itu.’ Ternyata orang yang datang adalah Syaikh Ibrahim bin ‘Isa al-Ashfihani. Beliau langsung memegang dan menggerakkanku. Beliau berkata kepadaku: ‘Apabila engkau ingin mengenal seorang wali, maka bacalah ayat berikut ini: هو الأول والآخر والظاهر والباطن، وهو بكل شيء عليم (QS. al-Hadid: 3)’.”
Kejernihan batin beliau yang sanggup menerobos suara batin orang lain tidak mungkin terimplementasi tanpa adanya fondasi spiritual yang sedemikian kukuh dan tangguh sekaligus. Hanya batin yang telah tersucikan dari segala pengharapan dan damba kepada selain Allah Ta’ala belaka yang akan sanggup menembus tembok-tembok hati yang samar dan tersembunyi.
Tembok-tembok hati jauh lebih sulit untuk ditembus dibandingkan dengan bongkahan-bongkahan ruang yang bisa dengan sangat mudah ditebak oleh seorang dukun yang berkolusi dengan jin-jin. Hanya pijar-pijar cahaya Ilahi di dalam diri seorang wali yang akan sanggup menumbangkan tembok-tembok hati tersebut.
Rasionalisasinya jelas bahwa alam semesta yang sedemikian luas, sedemikian besar dan sedemikian tebal saja sudah tumbang sebagai hijab di depan ketajaman mata batinnya yang telah menyaksikan hadiratNya, apalagi cuma sekedar tembok-tembok hati manusia yang merupakan bagian dari isi alam raya, tentu jauh lebih tipis untuk ditembusnya.
Cara pandang sang sufi adalah “fotocopy” dari cara pandang Allah Ta’ala yang berlandaskan kasih-sayang. Sama sekali bukanlah cara pandang yang penuh selidik sekaligus diselimuti oleh kebencian dan hasrat untuk menghukum mereka yang berlumur dosa-dosa dan berbagai pengingkaran.
Setiap selesai shalat sunnat di waktu sahur, beliau senantiasa merintih kepada Allah Ta’ala dalam rangka mendoakan orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Majusi, dengan penuh kasih-sayang dan perhatian terhadap mereka. Tanpa sepengetahuan mereka bahwa mereka itu senantiasa didoakan setiap malam oleh sang sufi.
Tidak cukup sampai di situ. Setiap selesai mendoakan mereka, beliau mengangkat kedua tangannya lagi dan bermunajat dengan sangat khusyuk kepada hadiratNya: “Ya Allah,” rintihnya dengan sedemikian lirih dan menggetarkan, “jika kelak Kau masukkan aku ke neraka, tolong besarkan tubuhku sampai memenuhi neraka agar tidak ada tempat sedikit pun untuk umat Nabi Muhammad Saw.”
Betapa sangat tajam penglihatan batin beliau. Betapa sangat kuat rasa belas-kasih beliau kepada sesama. Sehingga yang terutama beliau perhatikan dan pikirkan adalah nasib orang lain, nasib umat. Tak peduli apa pun agama mereka. Tak peduli apakah mereka para pengingkar dan para pendosa. Betapa luhur akhlak beliau. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin as-Sarki - 27 December 2024