Tanggal itu bulan itu tahun itu. Hari itu. Tubuhku berdiri di depan kalender. Lho. Sudah tujuh hari. Tapi, masih hari itu. Masih saja tanggal itu bulan itu tahun itu. Seluruh isi kalender melulu tanggal itu bulan itu tahun itu dan hari itu. Dunia mungkin tidak bergerak. Setiap hari sama saja. Sepi saja. Dan sakit. Dan nyeri.
Mataku melirik jam. 5.30. Aku masih gigil, bugil, dan kuyup. Rasa sakit di dalam kepala yang menyiksa setiap malam selalu menggiringku mandi. Keputusan yang nyaris tak kusadari. Jika sakit sudah memuncak, merambatkan panas ke seluruh tubuh, tiba-tiba saja sudah di kamar mandi dan tanganku tak berhenti mengguyur seluruh tubuh. Hingga dingin. Hingga gigil. Sedikit ringan kepala. Terlalu ringan malah. Seperti tak ada kepala.
Mulutku menelan sebutir obat sakit kepala, tinggal sebutir, seperti sebutir kepala, nyaris tergelincir dari atas kulkas. Nyeri masih menyayat dari ubun-ubun ke belakang batok kepala. Nyeri yang menggiring kakiku melangkah terburu-buru ke arah lemari pakaian. Celana dalam tidak ada yang muat. Tidak perlu lagi. Sejak tujuh hari. Selalu sarung. Kaos bergambar tengkorak. Tubuhku berjalan limbung keluar rumah. Seperti ada yang mendorong. Selalu seperti ini. Mau ke mana? Masih temaram. Berdiri di teras. Pohon jambu, hanjuang, lidah buaya, melati, rambutan. Parabola seperti tubuh yang pasrah pada langit, seperti tangan yang tengadah.
Langit sedang bergeser dari gelap ke terang. Rumah-rumah mulai memadamkan lampu. Gang masih sepi. Angin hampir mati. Aku mendekati gerbang, membukanya. Suara decit. Kaki mulai merayap di gang, seorang tetangga keluar membawa sapu, becermin di kaca jendela seperti memastikan kepalanya masih menempel di lehernya. Aku tersenyum saat melewatinya. Belok ke kanan. Lurus. Sambil berjalan aku mencoba mengingat sesuatu. Apa saja.
Rasa sakit menyayat kepalaku, sejak tertimpa sebuah buku tebal bersampul keras, buku catatan hidupku sendiri, pas di hari kepergian kekasihku. Ujung buku yang jatuh dari jajaran rak paling tinggi, hampir langit-langit, tepat menusuk di ubun-ubun, seluruh huruf hitam isi buku sialan itu seperti batu yang berjatuhan masuk dan memadat ke dalam kepala. Di dalam kepala batu-batu itu mencair menjadi api lantas meleleh, seperti lava, ke tenggorokan, api berkumpul di degup jantung dan membara di dada, turun membakar isi perut, membakar isi selangkangan hingga kemaluanku tegak tak turun-turun, api terus meleleh sepanjang tulang paha, betis, sampai tulang jari-jari kaki. Sudah 7 hari menyiksa dan membuatku lupa pada banyak hal, segala hal, sekaligus membangkitkan kemarahan, kecemasan, kepanikan dan, kengerian yang tak jelas. Buku itu langsung aku bakar dan kucampur abunya pada segelas minuman keras. Entah dari mana munculnya gagasan gila itu. Bukannya menjadi obat malah sakit di kepala bertambah nyeri dan pedih. Menjadi-jadi. Sirine.
Sambil berjalan aku mencoba mengingat apa saja yang bisa diingat. Deri Dada S.S., M.Hum. Namaku. Apa lagi? Sebatang rokok. Itu yang kemudian muncul. Melulu nama dan sebatang rokok. Di mulut gang, terdengar suara yang sedang bercakap. Sedikit ke kanan, dua lelaki mencuci mobil di jalan. Mereka sedang bercerita tentang sepak bola. Toko dan warung masih tutup. Aku berjalan terus, berbelok lagi di sebuah gang sempit. Begitu sempit, diapit dinding dua rumah, hingga hanya cukup untuk berjalan seorang diri saja. Coretan anak-anak nakal mulai nampak di sana-sini. Seperti hidup, kata-kata dan gambar cabul berlepasan dari tembok. Seperti gerombolan burung aneh yang warna-warni. Menghadangku. Mengerubungi sarungku. Kuterobos sambil berlari.
Lepas ke gang yang sedikit lebar. Belok lagi ke kanan, melewati dua rumah, pekarangan dengan rumput yang rapi dan tebal. Belok kanan lagi. Di kiri, lahan dengan pohon-pohon pisang, lantas rumah dengan kolam mungil dan beberapa pohon pendek. Di kanan, Sebuah rumah dengan cat pagar yang mengelupas di sana-sini, pagar besi yang kusam. Belok kanan lagi. Pintu pagar terbuka. Aku lihat seseorang berjalan ke luar. Mirip diriku. Benar-benar diriku. Berjalan seperti yang tadi aku lakukan.
Kumasuki pintu pagar. Berdiri di bawah parabola. Di timur, cahaya menggeliat. Aku mulai mengingat lagi sesuatu. Oh. Tadi kuingat sebatang rokok, tapi kenapa tidak mencari kios rokok malah kembali ke rumah. Kucoba mengingat lagi hal lain. Tidak ada. Kepalaku seperti stasiun yang menunggu kereta datang. Stasiun tua yang kesepian. Sirine. Blankar.
Jam enam. Aku kembali berada di kamar mandi. Sejolang cucian. Aku duduk di kursi mungil. Satu demi satu kubilas. Ada sedikit perasaan tenang. Seperti sedang membilas diri sendiri. Membilas isi kepala. Seperti sedang membilas ingatan. Satu per satu. Kutumpuk kembali ke jolang. Pengharum. Direndam. Kuangkut ke teras. Baju dan celana itu berpindah ke tambang jemuran.
Seperti itu juga mungkin ingatan. Kuperhatikan semua jemuran. Mereka menanti matahari agar kering dan kelak dilipat masuk lemari, untuk kemudian menanti dipilih dan dipakai. Seperti itukah ingatan, mesti disimpan, sebab tidak mungkin semua ingatan dipakai sekaligus. Satu demi satu. Ingatan apa yang sedang kupakai sekarang. Apakah ingatan kelak akan luntur warnanya, akan sobek jahitannya, kemudian menjadi lap, kemudian dibuang dan diganti ingatan baru. Adakah ingatan yang kekal. Tak tergantikan. Selalu menanti dalam lemari kepala untuk dipakai kapan saja ketika diperlukan. Setia. Abadi.
Tiba-tiba aku berpikir tentang ingatan. Ingatan terbuat dari peristiwa. Tentunya peristiwa yang hebatlah yang bisa menjadi ingatan kekal. Peristiwa bagaimana yang termasuk hebat? Pedih sekali berpikir. Sakit. Muncul lagi sirine dan ambulans dalam kepala, membawa ingatan yang hampir pingsan ke atas blankar. Ambulans itu bising menyusuri lorong pikiran, memasuki sebuah rumah sakit yang ramai dan tak pernah sepi. Lorong demi lorong. Kutengok banyak sekali ingatan-ingatan yang terbaring di setiap ruangannya. Tak kukenali. Mereka mungkin tidak terbuat dari peristiwa hebat. Lorong demi lorong. Kamar mayat. Suara bel berdentang. Jam besuk habis. Kain kafan, seperti layar, turun begitu saja entah dari mana. Kepalaku mulai sakit. Sakit lagi.
Aku kembali berdiri di hadapan tambang jemuran, tangan masih basah, air bekas rendaman bergoyang di jolang. Kucari bayang wajah sendiri di air yang sewarna kabut itu. Hanya ada kabut. Kabut dalam jolang. Kulirik baju dan celana yang mulai diisap matahari. Tiba-tiba bergidik. Ada kengerian. Betapa sepi melihat diri sendiri bergantungan. Basah. Tetesan air itu. Air mata. Kenapa baju dan celana itu menangis. Matahari tertawa saja di atas sana sambil mengisap ingatan-ingatan yang ada di seluruh jemuran. Seluruh diriku. Seluruh pikiranku. Sirine muncul lagi. Ambulans. Blankar. Rumah sakit. Kamar mayat. Kafan.
Jam delapan. Aku kembali baru keluar dari kamar mandi. Kenapa selalu dari kamar mandi? Melulu kesadaran lahir di sana. Handuk membalut tubuh. Handuk yang posisinya mirip handuk di tubuh perempuan. Bukankah sudah tak ada siapa-siapa di rumah. Kekasihku sudah 7 hari pergi berlibur. Berlibur ke mana? Kabur? Pertanyaan selalu mengirim denyut yang disusul dentum. Seperti bom waktu. Ledakan-ledakan tak terduga.
Ah, apa pula gunanya handuk bagi tubuh di rumah kosong ini. Kenapa harus menutup dada seperti perempuan? Tubuhku terus melangkah terburu-buru. Isi lemari berhamburan. Pakaian kerja. Ketat menyiksa kemaluanku. Seperti sedang melilitkan rantai ke sekujur tubuh. Seperti sedang memasukkan tubuh ke dalam jam. Suara detik. Melulu suara detik. Suara mesin. Aku berjalan seperti robot. Mengambil tas kerja. Kunci motor. Kaos kaki. Sepatu. Stater. Gas. Klakson. Knalpot. Gang. Jalan kompleks. Jalan raya. Jembatan. Lampu merah. Alun-alun. Kampus. Rem. Sirine lagi. Jangan. Tempat parkir. Ambulans lagi. Kumohon. Gedung Prodi Diksastrasia. Blankar lagi. Aku merengek. Lorong. Rumah sakit lagi. Aku menjerit. Pintu Ruang Dosen. Kamar mayat lagi. Aku melengking. Meja Deri Dada S.S., M.Hum. Kafan lagi. Ampun.
Jam sepuluh kutemukan diriku kuyup di kamar mandi ruang dosen. Masih lengkap berseragam menikmati siraman deras shower. Air menyiram suara detik, suara mesin. Dinding keramik seperti kotak-kotak wajah. Beragam wajah. Berbisik. Berteriak. Menjerit. Melengking. Meregang. Lama-lama nampak wajah-wajah kotak itu adalah wajahku. Kukenali dengan detail. Matanya. Hidungnya. Bibirnya. Puluhan wajahku terperangkap dalam dinding. Dinding yang licin dan basah. Selicin dan sebasah kulit kekasihku ketika mandi. Kekasihku. Wajah-wajah itu berubah menjadi wajah kekasihku. Mulut-mulutnya terbuka. Bibir rekah basah seperti mawar penuh embun. Mengisap dari segala arah. Seluruh diriku, ya, ingatanku dibawa kekasihku.
Tanganku mengembang. Meraba seluruh wajah di dinding keramik. Kuelus setiap wajah. Kurasakan ciuman. Gigitan. Tiba-tiba semua wajah itu menyeringai. Dan meludah bersamaan ke arah tubuhku. Tubuhku mundur. Membuka pintu. Wajah-wajah itu mengejar. Memburu. Memenuhi ruang dosen. Dinding. Lemari. Meja. Kursi. Bisik. Teriak. Jerit. Lengking. Kularikan tubuh basahku sepanjang lorong. Menuruni tangga. Lolos dari gedung. Pontang-panting di lapangan parkir. Tiang bendera. Tegak ke langit. Aku berlari mengelilingi tiang bendera. Matahari cekikikan di langit. Terbayang lagi jemuran. Aku berhenti. Berdiri tegak di samping tiang bendera. Di bawah kibaran bendera. Menjemur tubuh dan baju pada gelak tawa matahari. Lagi-lagi sirine. Lagi-lagi ambulans. Lagi-lagi blankar. Lagi-lagi rumah sakit. Lagi-lagi kamar mayat. Lagi-lagi kafan.
Jam dua belas aku melihat tubuhku berjalan terhuyung memasuki kamar mandi masjid. Kulihat puluhan pancuran sedang membasuh telapak tangan. Membasuh mulut. Membasuh hidung. Membasuh wajah. Membasuh tangan. Membasuh rambut. Membasuh telinga. Membasuh kaki. Hey! Itu telapak tanganku, telapak tangan kekasihku. Itu mulutku, mulut kekasihku. Itu hidungku, hidung kekasihku. Itu wajahku, wajah kekasihku. Itu tanganku, tangan kekasihku. Itu rambutku, rambut kekasihku. Itu telingaku, telinga kekasihku. Itu kakiku, kaki kekasihku.
Tubuhku bergerak dari pancuran ke pancuran. Mengambil telapak tangan. Mengambil mulut. Mengambil hidung. Mengambil wajah. Mengambil tangan. Mengambil rambut. Mengambil telinga. Mengambil kaki. Tubuhku kuyup diguyur pancuran demi pancuran demi memeluk puluhan tangan, mulut, hidung, wajah, tangan, rambut, telinga, kaki yang meronta-ronta. Menjambak. Menampar. Menggigit. Meninju. Menanduk. Menendang. Sirine lagi….
Jam dua kuburu tubuhku. Terbaring. Tidur. Telanjang. Di bangku samping tong air warna biru. Dikelilingi kain terpal. Akhirnya. Setelah berhari-hari disiksa sakit kepala. Lelap. Lelap di pekarangan rumah. Beberapa tetangga tampak berkerumun. Dua orang masuk mendekati tubuhku. Mereka mulai membasuh tubuhku. Betapa menyegarkan. Tiba-tiba terhenti pada kemaluanku yang tegak mengarah langit. Mereka mengusap wajah dan mengucap. Menggelengkan kepala. Meneruskan membasuh. Sesekali menggeleng. Sesekali terkekeh. Terkekeh mirip matahari.
Seseorang membawa kain jarik menutup tubuhku yang lelap dan basah. Kemaluanku masih tegak. Tetap tegak. Tubuhku dibopong ke dalam rumah. Terdengar sirine dari dalam rumah. Dari mulut setiap orang yang berkerumun terdengar sirine, tergelar blankar, terhampar rumah sakit, terbuka kamar mayat, tergerai kafan.
Jam empat kuikuti tubuhku yang lelap, yang tidur meluncur dalam keranda. Diarak sepanjang jalan. Tetap saja lelap. Kulihat seseorang yang mirip dengan diriku, seseorang yang seperti yang kutemui tadi pagi di pekarangan, benar-benar diriku, melompat dari dalam keranda lantas berjalan paling depan dengan riang dan gagah.
Di gerbang makam, orang-orang lebih banyak. Teman-teman dosenku, para mahasiswa, sebagian malah ada yang tidak kukenal: lusuh, dekil, gimbal penuh tato. Tubuhku yang lelap dengan kemaluan tetap tegak dalam balutan kafan, diturunkan masuk lobang. Suara tanah. Sirine lagi dari mulut-orang-orang. Orang-orang pergi sambil tetap melengkingkan sirine. Seseorang yang mirip diriku tertinggal sendiri. Sibuk memasang nisan. Deri Dada S.S., M.Hum. Namaku terpahat di nisan, seperti sebuah judul puisi. Indah sekali. Abadi di sana. Tanggal itu bulan itu tahun itu. Seseorang yang mirip diriku, aih, benar-benar diriku, berdiri dan melirik ke arahku. Tersenyum. Melambaikan tangan. Melambaikan sirine, melesatkan ambulans, melepas blankar, mendirikan rumah sakit di langit, membuka pintu kamar mayat di mulut matahari senja, melempar kafan awan ke arah diriku. Tak ada lagi jam. Hanya sirine. Aku berada di atas blankar. Melayang. Memasuki pintu rumah sakit di langit. Melesat ke kamar mayat di mulut matahari senja, dibungkus kafan awan. Seseorang yang mirip diriku tersenyum dalam diriku. Lebih tepatnya menyeringai. Ada taring. Benar-benar diriku. Ini benar-benar kekasihku. Bukan, bukan kekasihku yang berlibur dan kabur. Ini benar-benar kekasihku. Tubuhnya api. Seluruhnya api. Wangi neraka.***
- Puisi Toni Lesmana - 23 January 2024
- Puisi-Puisi Toni Lesmana: Perayaan Kesendirian - 8 June 2021
- Hikayat Sakit Kepala - 12 March 2021
Dimas
Dinginn