Duduk di bangku pembaca, tak jarang aku muak sekali pada tulisan. Tulisan yang terlalu mudah ditebak akhirnya, bahkan setelah ini pasti itu lalu begini dan begitu. Tulisan yang saat diajak berkenalan tidak mau menyebutkan nama dan jati dirinya sendiri. Tulisan yang hanya menulis ulang lika-liku jejak leluhur pertamanya. Sungguh, jika bicara karya, menulis asal menulis saja tidak pernah cukup.
Dan jika kau berpikir untuk membandingkan banyaknya tulisanmu yang telah tampil di media atau diterbitkan sebagai buku dengan penulis lain yang telurnya tak sebanyak telurmu, itu sama sekali tak menjamin secara kualitas kau lebih baik daripadanya. Berkarya melalui tulisan sama sekali bukan tentang balapan, Bung. Meski tentu saja kau tak perlu memuja kelambanan. Sebab sering kali, kelambanan hanyalah bentuk lain dari kemalasan.
Kebanggaan berlebihan tentang profesi penulis juga tak kurang memuakkannya. Menurutku, ini profesi yang hebat. Tapi tentu saja, tetap “biasa-biasa saja”. Jika kita mengusung kebanggaan terlalu tinggi, jangan-jangan kita hanya sedang menipu diri sendiri, mendewa-dewakan yang bukan dewa, dan hidup dalam halusinasi.
Penulis sebaiknya sering-sering berada di koridor bersahaja saja. Penulis yang melambung oleh kebanggaan berlebih, tanpa sadar akan menjadi tinggi hati. Jika sudah tinggi hati, pasti tulisannya semakin tidak membumi. Jika sudah tidak membumi, siapa yang akan membacanya selain burung-burung? Pun hanya jika mereka sedang tak buru-buru dan berkata, “Oh, maaf, kami sedang sibuk sekali. Lain kali saja,” saat kau coba menggodanya dengan karya tulismu yang agung nian.
Ini kata-kataku. Tak semua orang perlu mempercayainya, menyepakatinya. Tentu saja. Sebaiknya kau bahkan punya prinsip yang bertolak belakang dengan prinsipku. Atau kita berdua akan menjadi pasangan tonggak dengan bayangannya. Romantis, tapi satu terlihat nyata selagi yang satu lagi timbul tenggelam sekehendak cahaya.
Seseorang pernah mengirimiku pesan singkat terkait salah satu cerita pendekku yang dimuat di sebuah koran. Aku lupa persisnya, mungkin tiga atau empat tahun lalu. Isinya kurang lebih apresiasi atas cerita pendekku. Dengan rendah hati (dominasi rendah diri sejujurnya), aku berkata bahwa aku masihlah sangat hijau dalam dunia kepenulisan. Menembusi media bagiku saat itu lebih seperti untung-untungan belaka ketimbang pengetahuan akan sebelah kaki takdirku mungkin memang memijak di sana. Entah seluruh telapak atau hanya bagian jempolnya saja. Dan aku tak akan pernah melupakan inti balasannya kemudian.
Katanya dalam pesan singkat, tak ada istilah penulis yang masih hijau atau junior maupun penulis senior. Di dunia kepenulisan, benar-benar hanya karya yang bicara. Setidaknya seharusnya begitu. Artinya, karya penulis pendatang baru pun, bila cita rasanya memang luar biasa sedap, ya luar biasa sedap saja. Tak lantas jadi kurang renyah dan menakjubkan di mulut daripada karya-karya penulis yang lebih dulu ada.
Sungguh, aku hampir menangis saat membaca pesan singkat itu. Rasanya ada yang lumer di dalam dada ini. Mungkin dibutuhkan lebih banyak orang sebijak dirinya untuk membesarkan hati para pendatang baru sepertiku ini, untuk membantu memberi minyak tanah sedikit demi sedikit namun berkelanjutan pada ujung obor perjuangan kami.
Sayang, aku lupa nama orang bijak itu. Seingatku, ia menyebutkan sepotong namanya, sepotong nama daerah asalnya, dan celakanya aku melupakan keduanya. Tapi aku ingat, ia mengaku hanya sebagai penikmat sastra. Itu saja. Tapi aku yakin, ia pasti lebih daripada itu. Secara pribadi, aku bahkan dengan penuh sukacita menyebutnya sebagai Guru.
Tapi kini, di lain sisi, seolah tak terelakkan, aku juga menjumpai ada-ada saja pihak yang begitu menutup diri pada penulis pendatang baru, hampir seperti tak terlalu peduli pada apa yang telah mereka capai sejauh itu. Sekalinya terpaksa membuka sedikit pintu, yang sedikit itu pun diiringi aroma kenyinyiran yang dikemas dalam aneka rupa cara penuturan. Tentu saja, jika mereka bermaksud menakar kapas dan batu menggunakan toples yang sama, akan selalu didapatnya jurang bobot yang dalamnya ampun-ampunan. Kadang, situasinya juga bisa seperti ini:
Ada yang memuji-mujimu setinggi langit saat kau berdiri di podium seolah-olah kau langit itu sendiri. Tapi saat kau turun podium, karena tentu saja kau tak mungkin seharian berada di atasnya, orang yang sama lantas bersikap seolah-olah tak pernah memujimu sama sekali bahkan sebatas tahu tentang kau pun sepertinya tidak. Ada pula yang membuka pintunya lebar-lebar diiringi senyuman yang tak kalah lebar dan sambutan pelukan hangat saat kau datang membawa sekeranjang mangga.
Tapi pada suatu hari ketika kau “tampaknya” tak membawa apa-apa, meski mungkin kau mengantongi berlian yang walau mungil tetap saja itu berlian dan bukan “sekadar” sekeranjang mangga, ia hanya membuka pintunya lebar-lebar untuk kemudian dibanting di depan wajahmu. Bukan hanya jantungmu yang serasa copot, wajahmu juga, berikut setiap “onderdil” yang terpasang di sana. Di lain waktu, saat pada akhirnya ia tahu di kantongmu ada berlian, jangan terkejut bila tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahmu ketika hari masih begitu pagi. Membawakan sarapan, alasannya.
Tertawalah dan katakanlah aku hanya mengada-ada. Tapi begitulah kenyataannya. Sejauh ini, pada akhirnya aku memahami, dunia kepenulisan (dan dunia apa pun yang kita ciptakan, kurasa) tak ubahnya miniatur dunia secara keseluruhan yang terhampar setiap saat di hadapan kita dan kita jalani dari hari ke hari. Orang baik, orang jahat, orang ramah, orang nyinyir, orang hanya ada maunya, orang cool, dan segala jenis lainnya ada di mana-mana. Dan kalau aku menemukan orang-orang seperti pada dua paragraf sebelumnya, kini aku hanya akan berkata, “Ah, sudahlah. Terserah apa maumu saja. Aku toh tak bernapas dan kentut dengan mengikuti kemauanmu.”
Maaf, kalau terdengar kasar. Dan sekali lagi maaf, karena setelah sekasar itu pun kututup tulisan ini dengan pertanyaan yang barangkali benang merahnya dengan keseluruhan kata sebelumnya hanya terlihat samar-samar bagimu. Pun jawabannya akan mengambang, melayang-layang di udara seperti layangan putus benang (semoga tersangkut di suatu tempat, pada akhirnya). Sama seperti judulnya: jadi, sebaiknya dunia kepenulisan itu rumit atau sederhana?
- Perempuan di Balik Kecemerlangan Karier Einstein - 7 July 2018
- Jadi, Sebaiknya Dunia Kepenulisan Itu Rumit atau Sederhana? - 12 May 2016
- Sastra untuk Siapa? - 7 January 2016