“KALIAN berjodoh, tetapi kisah cinta kalian bakalan tidak mudah,” kata Eyang Dwitejo.
Eyang Dwitejo membuka kembali matanya dan menatap Sundari dan Trijoko secara bergantian. Kedua pasangan itu menunggu kelanjutan kata-kata Eyang Dwitejo, tetapi Eyang Dwitejo malah kembali memejamkan matanya. Setelah menunggu sekitar setengah jam dan Eyang Dwitejo tetap memejamkan mata, Trijoko menarik kesimpulan bahwa Eyang Dwitejo bablas ketiduran, dan ia mengajak Sundari meninggalkan tempat itu. Sebelum beranjak, Sundari mengambil amplop dari tasnya lalu memasukkannya ke kotak amal di samping pintu rumah Eyang Dwitejo.
“Kamu percaya omongan pria ngantukan itu?” tanya Sundari.
“Entahlah, tapi menurut bapakku, Eyang Dwitejo itu orang pinilih. Dia sakti karena mampu menerawang kehidupan kita di masa lalu,” jawab Trijoko.
“Ah, aku kok meragukan itu. Dari penampakannya, ia lebih mirip orang anemia ketimbang manusia sakti.”
“Ya, kapan-kapan kita kunjungi lagi beliau dan minta keterangan lebih lanjut atas ucapannya tadi.”
“Buang-buang waktu saja. Lebih baik kita kelonan ketimbang bersedekah pada orang kurang gizi kayak gitu.”
“Hus, jaga perkataanmu, Sayang!”
Keduanya sepakat menghentikan perdebatan tidak bermutu itu demi menghindari perselisihan pendapat yang bisa berpotensi memicu perang bubat. Mereka pilih masuk OYO dan menghabiskan sisa hari itu dengan bercinta habis-habisan.
Sundari dan Trijoko memutuskan menyambangi tempat praktik Eyang Dwitejo dalam rangka konsultasi pranikah. Mereka butuh opini lain secara spiritual dan klenik untuk menguatkan keputusan membina mahligai rumah tangga. Sebelumnya mereka sudah menyambangi konsultan pernikahan dan mendapat penguatan, tetapi Trijoko merasa itu masih belum cukup. Dia butuh penguatan alternatif dan bapak Trijoko menyuruhnya sowan ke Eyang Dwitejo.
Kali pertama bertatap muka dengan Eyang Dwitejo, keraguan segera menyerang diri Trijoko. Pasalnya, usia Dwitejo hanya berselisih sekitar lima tahun lebih tua dari dirinya. Penampilannya yang lecek dan kusam dan tak ada kesan mistis-mistisnya menambah keraguan di hati Trijoko. Fakta bahwa tempat praktik Eyang Dwitejo juga sepi tanpa ada satu pasien pun, menggandakan keraguan itu. Sundari yang diajaknya turut serta sudah misuh-misuh begitu menginjakkan kaki di pekarangan tempat praktik Dwitejo. Namun, Trijoko juga tahu bahwa bapaknya tak mungkin bermain-main dengan rekomendasinya, apalagi ini terkait dengan pernikahan anaknya. Trijoko mencari-cari penguatan alasan kedatangannya ke tempat itu, dan ketemu. Di usia semuda itu, Dwitejo sudah dipanggil Eyang, hal ini tentu bukan perkara sepele. Pasti ada hal yang luar biasa dalam diri Dwitejo, dan hal yang linuwih itu tak lain dan tak bukan adalah kesaktiannya.
Setelah bergulat, saling piting, saling banting di OYO dengan Sundari, Trijoko pulang. Mereka berpisah dengan menyandang luka cinta masing-masing. Trijoko mengoleksi tujuh cupangan di sekujur tubuhnya, dan yang terkelam dan terdalam di atas bokongnya yang kelabu. Sementara Sundari juga membawa memar di bokongnya, tapi tersamar oleh warna alamiah kulit bokongnya dan beberapa rambutnya juga berodol karena jambakan brutal Trijoko. Mereka berpisah jalan dengan babak bundas, tetapi bahagia.
Setibanya di rumah, Trijoko segera menceritakan perihal pertemuannya dengan Eyang Dwitejo kepada bapaknya. Cerita singkat Trijoko itu segera mengubah rona muka bapaknya.
“Ini jelas ada yang tidak beres. Kamu harus menemui Eyang Dwitejo lagi. Minta penjelasan lebih lanjut. Kalau perlu aku temani,” kata bapak Trijoko panik.
“Tenang, Pak. Semuanya masih terkendali.”
“Kamu jangan menyepelekan seperti itu. Mulai sekarang kamu perbanyak berdoa dan kalau perlu puasa agar urusanmu dengan Sundari dilancarkan.”
“Alah Bapak ini dikit-dikit klenik. Semuanya aman, Pak.”
“Klenik matamu itu! Masa depanmu jelas dalam bahaya.”
Trijoko meninggalkan bapaknya yang meradang. Dia sadar telah salah memilih kata-kata. Menyepelekan klenik di hadapan peminatnya itu sama berbahayanya dengan menyinggung kemiskinan di hadapan para sastrawan idealis yang hidupnya serba tak pasti. Itu perkara yang sangat sensitif dan rawan emosi karena kemiskinan itu adalah hal paling berharga milik mereka, harga diri mereka, dan modal dasar mereka berkarya. Sungguh berat kalau bapaknya bertabiat seperti para sastrawan yang kerap muring-muring dan dia ikuti kiprah medsosnya itu.
Di kamarnya Trijoko merenungkan kembali perkataan Eyang Dwitejo. Apa yang perlu diwaspadai dari hubungannya dengan Sundari? Keluarga Sundari sudah menerimanya dengan baik, demikian pula sebaliknya. Perkara pekerjaan, mereka juga lumayan mapan. Trijoko bekerja sebagai sales buku-buku pelajaran dan Sundari yang seorang editor buku-buku parenting menjanjikan kestabilan ekonomi yang lebih dari cukup. Apakah masalahnya ada di diri Sundari? Rasanya tidak juga. Meski rada emosionil, Sundari masih dalam kendalinya. Mereka cocok dalam berbagai hal, terutama urusan ranjang yang senantiasa brutal dan agak tidak manusiawi. Mereka pernah saling marah, tapi setelah itu, makin rekat pula cinta mereka.
Trijoko mengenang pertengkaran terparahnya dengan Sundari. Dan perkaranya sangat sepele: kondom. Saat itu mereka sama-sama seperti seekor rubah yang pintar mencuri dan menyiasati peluang. Sundari sedang ada acara penyuluhan tentang penyuntingan di sebuah hotel berbintang dan ia mendapat fasilitas kamar penginapan. Di jeda acara yang cuma berdurasi satu jam, ia tiba-tiba berahi lalu menghubungi Trijoko yang menyambutnya laksana ikan lele yang tak makan selama seminggu. Trijoko yang memang sedang longgar segera menjadi setan jalanan menuju penginapan Sundari. Saat bertemu, mereka sudah dalam kondisi konak tinggi dan tempatnya juga sangat menunjang perbuatan asusila itu. Di tengah hasutan berahi, Sundari masih bisa sedikit berpikir jernih. Ia meminta Trijoko memakai kondom. Trijoko dengan buru-buru mengambil kondom dari dompetnya dan menyerahkannya kepada Sundari yang biasa memasangkannya. Namun, reaksi Sundari sungguh mengejutkan.
“Ini bukan kondom yang kubelikan,” hardik Sundari.
“Oh, itu kondom yang kubeli sendiri.”
“Mana kondom yang kubelikan? Kamu pakai buat main dengan siapa?”
“Tak ada, Sayang. Aku tidak main dengan siapa-siapa.”
“Bohong kamu. Kamu pasti selingkuh.”
“Demi Tuhan, aku setia. Aku bisa jelaskan, Sayang.”
Sundari diam. Napasnya tak beraturan. “Shortime-an di hotel masih bawa-bawa nama Tuhan. Dasar lelaki bajingan!” batin Sundari makin meradang.
“Aku teledor, Sayang. Aku sembarangan naruh dompet di meja kamar. Dan Saiful, keponakanku itu menemukan kondom itu tercecer dari dompet dan menjadikannya mainan karena menganggapnya balon setelah lebih dahulu menjilatnya karena dikira permen karet. Untung aku segera ke kamar setelah dari kamar mandi, jadi bapakku tak sempat tahu.”
Sundari masih diam.
“Aku ke apotek untuk beli kondom seperti pemberianmu tapi ternyata stoknya habis. Jadi aku beli kondom ini.”
Sundari tetap diam.
“Kalau tak percaya, kamu bisa tanya sendiri ke Saiful. Dia betulan menjilat dan meniup kondom itu.”
Sundari konsisten diam. Jam jeda penyuluhan telah usai. Berahi mereka menguap diisap pendingin ruangan. Mereka berpisah dengan kebekuan yang makin menusuk tiap jamnya. Trijoko berkali-kali menghubungi Sundari, tapi tak pernah dijawab. Tepat seminggu kemudian Sundari baru mau diajak bertemu. Pada pertemuan itu, Sundari kembali memberikan kondom kepada Trijoko dibarengi ultimatum, “Jaga ini baik-baik seperti kamu menjaga nyawamu sendiri!”
Sejauh ini, peristiwa itu adalah puncak pertengkaran mereka. Dan, ketika seseorang sudah mengerti puncaknya berarti ia sudah tahu batasnya. Tak akan ada yang lebih dari itu. Namun, perkataan Eyang Dwitejo tadi menggoyahkan pendirian Trijoko. Jangan-jangan pertengkaran perkara kondom itu masihlah belum puncak, dan akan ada pertengkaran atau perselisihan yang lebih dahsyat lagi. Dari ucapan Eyang Dwitejo tersirat hal tidak menyenangkan itu. Eyang Dwitejo pastilah tahu aral yang kelak akan merintangi bahtera rumah tangganya dengan Sundari. Dan apabila Trijoko tahu lebih dahulu, ia akan dapat mengantisipasinya. Tampaknya Trijoko memang perlu menemui Eyang Dwitejo lagi.
Keesokan sorenya, Trijoko menyambangi lagi tempat praktik Eyang Dwitejo, dan disambut dengan hangat. Rupanya saat itu Eyang Dwitejo habis menunaikan ibadah senam aerobik. Keringat bercucuran di bodinya. Ketika bersalaman, tangan Eyang Dwitejo masih basah. “Men sana in corpore sano, dalam tubuh yang sehat terdapat tenaga dalam yang kuat. Saya lebih senang senam daripada merokok,” kata Eyang Dwitejo.
“Jembut kucing,” batin Trijoko.
Tanpa berbasa-basi lebih lama, Trijoko segera menyampaikan unek-uneknya. Ia menanyakan apa sekiranya aral yang akan merintangi mahligai rumah tangganya dengan Sundari. Bukannya jawaban, justru kekecewaan yang harus diterima Trijoko. Pasalnya, Eyang Dwitejo cuma mau berbicara lebih lanjut tentang mereka kalau Sundari juga ikut datang. Tawaran uang konsultasi tambahan dari Trijoko tak mengubah pendirian Eyang Dwitejo. “Uang bukan segala-galanya dan tak bisa membeli semuanya,” ucap Eyang Dwitejo santun.
“Jembut biawak!” rutuk Trijoko dalam hati ketika meninggalkan tempat praktik Eyang Dwitejo.
Sundari mencak-mencak ketika Trijoko mengajaknya kembali ke tempat praktik Eyang Dwitejo.
“Kamu gak kapok apa ditinggal micek sama dukun lecek itu?”
“Ayolah, Sayang. Sekali ini saja, demi masa depan kita.”
“Masa depan anak kita yang terancam Mas kalau kamu demen klenik gini.”
“Masalahnya aku juga didesak bapakku. Ayolah, bikin bapak lega. Anggap saja ini wujud baktimu kepada bapak mertua.”
“Baik, Mas. Tapi ini yang terakhir ya kita berurusan dengan klenik.”
“Aku janji, Sayang.”
TAK HANYA berdua, mereka datang ke tempat praktik Eyang Dwitejo bertiga. Bapak Trijoko memaksa ikut. Suasana tempat praktik Eyang Dwitejo lagi-lagi sepi. Hanya mereka klien Eyang Dwitejo saat itu. Setelah dijamu ala kadarnya, mereka tiba ke inti masalah. Eyang Dwitejo segera memusatkan konsentrasi untuk wening. Suasana ruangan mendadak sunyi senyap. Setiap orang seperti bisa mendengarkan detak jantung masing-masing. Suasana hening itu mendadak pecah oleh suara dengkur Eyang Dwitejo. Raut wajah Sundari segera memerah. Ia berbisik kepada Trijoko dengan kemarahan yang berusaha ditahan, “Bangsat, kita disuruh nungguin orang tidur lagi!”
Trijoko menggenggam tangan Sundari, mengelus-elusnya, menenangkannya. Bapak Trijoko yang bisa membaca situasi tak menyenangkan itu memberanikan diri menyentuh dan membangunkan Eyang Dwitejo, “Eyang!”
Eyang Dwitejo tergeragap dan menyeka sedikit liur di sudut bibir kirinya. “Kalian jangan salah paham, aku tadi tidak ketiduran. Memang seperti itulah metode meditasiku. Dalam kondisi wening seperti itulah aku terhubung dengan masa lalu dan masa depan. Sayang sekali, aku tadi dibangunkan, jadi aku baru mendapat penglihatan tentang masa lalu kalian, tentang kehidupan kalian sebelumnya,” jelas Eyang Dwitejo dengan nada kecewa.
“Ini jenis meditasi tingkat tinggi yang cuma bisa diulang lima tahun sekali untuk orang yang sama. Yang kemarin itu aku cuma menggunakan meditasi tingkat semenjana yang tingkat keakuratannya tidak bisa tinggi karena levelnya rendahan,” lanjut Eyang Dwitejo masih dengan nada kecewa.
Ketiga tamu Eyang Dwitejo juga menampakkan kekecewaan. “Jembut onta, ngomong kek dari tadi,” batin Trijoko.
“Apa kalian tetap mau tahu tentang penglihatanku terhadap kehidupan kalian sebelumnya?” tanya Eyang Dwitejo.
“Sebaiknya Eyang sampaikan saja,” jawab bapak Trijoko dengan nada bersalah.
“Tapi ini nanti bisa sangat mengejutkan,” lanjut Eyang Dwitejo.
“Tidak apa-apa, Eyang. Kami sudah siap,” jawab bapak Trijoko lagi. Jelas di sini siapa yang paling antusias di antara mereka.
Trijoko masih menggenggam erat tangan Sundari yang tampak sudah jengah.
“Baiklah. Kehidupan masa lalu kita kadang tak terduga. Bisa jadi di masa lalu kita hidup tidak sebagai manusia, tetapi hewan atau tumbuh-tumbuhan. Harap kalian ingat ini: wujud tidak abadi, tetapi jalinan perasaan semacam kasih, cinta, dendam, kebencian itu abadi,” jelas Eyang Dwitejo.
Trijoko dan bapaknya mendengarkan dengan saksama. Sundari masih tampak tak acuh. Diam-diam Trijoko kagum juga dengan penuturan Eyang Dwitejo. Di bagian ini, Eyang Dwitejo menunjukkan sisi asli dirinya yang linuwih.
“Nah, inilah uniknya jalinan asmara kalian di kehidupan sebelumnya. Mbak Sundari ini di kehidupan sebelumnya adalah seorang perempuan bangsawan dengan kedudukan yang sangat tinggi. Beliau bertemu Mas Trijoko dalam keadaan sudah menjanda dan berumur cukup tua. Dalam istilah sekarang, Mbak Sundari ini adalah ibu suri. Mbak Sundari telah melahirkan seorang putra mahkota yang kelak menjadi raja. Beberapa tahun kemudian, suami Mbak Sundari yang seorang raja meninggal dunia. Anak Mbak Sundari menjadi raja, tetapi Mbak Sundari betah menjanda.” Eyang Dwitejo mengambil jeda dan menarik napas panjang.
Sundari yang sebelumnya acuh tak acuh ikut menyimak dengan saksama. Ketertarikan menyemburat dari wajahnya.
“Saya lanjutkan ceritanya. Kedudukan Mbak Sundari sebagai ibu suri yang sangat tinggi dan terhormat membuat tak ada seorang lelaki pun yang berani mendekati. Bahkan, para bangsawan dari kerajaan sekitar pun gentar untuk meminang Mbak Sundari. Namun, bukan hal ini saja yang membuat Mbak Sundari betah menjalani hidup yang seolah-olah menjanda. Saya katakan seolah-olah menjanda karena sebetulnya Mbak Sundari ini punya kekasih rahasia dan terlibat asmara yang sedalam-dalamnya.” Eyang Dwitejo kembali menghentikan ceritanya dan menarik napas dalam-dalam.
Karena jedanya terlalu lama, bapak Trijoko memberanikan diri untuk menagih kelanjutan cerita, “Selanjutnya bagaimana, Eyang?”
“Kelanjutan ceritanya agak berat. Apa kalian benar-benar ingin dan siap mendengarkannya?”
Ketiga tamu Eyang Dwitejo itu mengangguk dan serentak berkata, “Siap.”
“Kekasih rahasia Mbak Sundari ini bukanlah sesosok manusia, melainkan seekor kuda. Dan, kuda itu adalah Mas Trijoko di kehidupan sebelumnya.”
“Anjing!” rutuk Trijoko yang tak mampu mengendalikan kekagetannya.
“Bukan anjing, Mas, tapi kuda,” kata Eyang Dwitejo merevisi umpatan Trijoko.
Sundari yang juga kaget segera ingin minggat dari tempat itu, tetapi bapak Trijoko menatapnya tajam, juga Trijoko. Tatapan ini seakan punya daya magis yang menundukkan mereka. Trijoko dan Sundari mau tak mau tetap berada di tempat itu dan menggerus amarah dalam diri mereka.
“Mohon dilanjutkan, Eyang,” pinta bapak Trijoko.
“Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya bahwa bentuk itu sementara, sedangkan ikatan emosi itu abadi. Di kehidupan sebelumnya kalian ini ibu suri dan kuda istana yang saling jatuh cinta, di kehidupan sekarang kalian adalah sepasang kekasih yang jatuh cinta. Tak ada beda untuk urusan perasaan. Cinta selalu buta. Jadi waktu dulu saya katakan ‘kalian berjodoh, tetapi kisah cinta kalian bakalan tidak mudah’ bukannya tanpa alasan. Kisah cinta sejati antara seorang perempuan dan seekor kuda tak pernah mudah. Sayangnya pas saya khusyuk meditasi tadi malah dibangunkan, jadi saya tak bisa memberi rambu-rambu atau wejangan tentang masa depan kalian. Saran saya cuma satu: kalian harus senantiasa berhati-hati ketika berumah tangga. Kalau ada apa pun, jadikan cinta kalian sebagai penyelamatnya,” pungkas Eyang Dwitejo.
Rasa bersalah kembali terbit di diri bapak Trijoko. “Barangkali di kehidupan sebelumnya, aku ini seekor lalat buah yang hobi mengganggu buah-buahan,” batin bapak Trijoko.
Sebelum memasukkan amplop ke kotak amal, Trijoko mengajukan pertanyaan kepada Eyang Dwitejo, “Apakah lima tahun ke depan, Eyang mampu melihat lagi masa depan kami?”
“Tentu saja. Mas Trijoko tandai saja lima tahun setelah hari ini dan datang ke sini lagi. Saya terawangkan lagi.”
Ketiga orang itu pulang dengan kecamuk pikiran masing-masing. Bapak Trijoko masih digelayuti rasa bersalah dan menganggap di kehidupan sebelumnya dirinya adalah seekor lalat buah. Benak Sundari tiba-tiba diriuhkan oleh kata zoofili, kisah cinta sejati antara manusia dan binatang. Beberapa tahun lalu, ia menemukan kata ini ketika mengedit buku tentang hubungan anak-anak dan binatang. Ternyata di kehidupan sebelumnya, dia adalah pengidap zoofili. Ketika melihat penampakan Trijoko, ia tak menemukan kemiripannya dengan kuda. Hanya saja perilaku dan keganasannya di ranjang memang seperti kuda liar. Sementara Trijoko berusaha mengabaikan kehidupannya sebelumnya. Namun, setiap kali ia berusaha mengabaikan, saat itu pula seperti terdengar suara ringkikan dalam batinnya. Jangan-jangan jiwa seekor kuda masih tertinggal dalam dirinya.
SELISIH dua bulan dari kunjungan itu, Sundari dan Trijoko menikah. Kehidupan rumah tangga mereka seperti rumah tangga pada umumnya, ada tenteramnya, banyak duelnya. Meskipun begitu, Sundari tampak menikmati kehidupan rumah tangganya. Mereka memiliki dua anak yang mengharuskan Sundari resign dari pekerjaannya. Meski lebih sering ngomel-ngomel, Trijoko paham bahwa Sundari bahagia. Sejauh ini belum ada aral dalam rumah tangga mereka. Tampaknya Sundari sudah melupakan perkataan Eyang Dwitejo, tetapi tidak demikian dengan Trijoko. Dari hari ke hari, Trijoko hidup dengan wasiat Eyang Dwitejo itu di kepalanya. Hidup Trijoko selalu dalam mode waspada dan berjaga-jaga. Ia tak bisa bersantai atau rileks menikmati hidup sebelum Eyang Dwitejo menerawang kehidupan mereka secara paripurna. Dan ketika lima tahun penantian itu berakhir, cahaya baru seakan terpancar dalam hidup Trijoko.
Trijoko setengah memaksa Sundari untuk menemaninya ke rumah Eyang Dwitejo lagi. Paksaan itu gagal dan mungkin akan berakhir dengan perang dunia karena Sundari telah menggenggam erat gagang penggorengan sebelum Trijoko memutuskan untuk menggunakan cara persuasif. Trijoko membujuk Sundari dengan iming-iming emas seberat 10 gram plus makan bestik lidah sapi sepuasnya asal Sundari bersedia diajak konsultasi spirituil ke rumah Eyang Dwitejo. Bujukan ini ternyata lebih manjur. Sundari bersedia dan mereka berangkat setelah menitipkan kedua anak mereka ke ibu Sundari.
Mau tak mau kenangan lima tahun lalu menyerang mereka ketika menginjakkan kaki lagi di pekarangan rumah Eyang Dwitejo, meskipun sudah banyak perubahan di rumah tersebut. Ternyata perubahan itu juga terjadi pada pemilik rumah. Eyang Dwitejo tampak lebih terurus dan badannya lebih berisi. Dengan kopiah putih, baju koko yang juga putih, dan bersarung, serta wajah tersenyum ramah, Eyang Dwitejo menyambut kedua tamunya itu.
Trijoko menerima sambutan itu dengan tak kalah hangatnya. Ia memberikan kue bolu hantaran yang segera disambut tuan rumah dengan ucapan terima kasih dan puji syukur.
“Apa kabar, Eyang? Sehat kan?” Trijoko mengawali percakapan.
“Alhamdulillah, sehat dan sejahtera. Tapi tolong jangan panggil saya ‘Eyang’, panggil saja ‘Ustaz’.”
Tiba-tiba Trijoko merasakan firasat buruk hadir bersama permintaan itu. Mereka kemudian berbincang-bincang dengan menyisakan Sundari sebagai penyaksi, sebelum Trijoko menyatakan tujuan utamanya.
“Saya minta tolong Ustaz untuk menerawangkan masa depan kami. Dulu Ustaz mengatakan bahwa setelah lima tahun, Ustaz bisa melakukannya. Hari ini sudah lebih lima tahun. Saya mohon bantuan Ustaz.”
Ustaz Dwitejo terdiam sejenak dan mengambil napas panjang sebagaimana kebiasaannya sebelum berucap, “Mohon maaf, Mas Tri, sudah sekitar tiga tahun mata batin saya ditutup. Seperti yang Mas Tri lihat sekarang, saya meninggalkan praktik-praktik perdukunan dan menjadi ustaz. Saya sudah tidak bisa menerawang masa lalu maupun masa depan, Mas Tri. Tapi kalau ngasih tausiah, saya bisa dan insyaallah mumpuni.”
Jawaban syari Ustaz Dwitejo itu merobohkan harapan Trijoko. Dada Trijoko terasa sesak sehingga tak kuasa berkata-kata.
“Dengan jadi ustaz seperti ini alhamdulillah rezeki saya lebih melimpah dan berkah. Undangan ceramah ramai. Tidak seperti pas jadi paranormal dulu, ajek sepinya. Sebagai manusia, saya jadi merasa lebih bermanfaat,” tambah Ustaz Dwitejo.
“Jadi, Ustaz tidak bisa menerawangkan masa depan kami?” Trijoko butuh penandasan.
“Mohon maaf, sudah tidak bisa, Mas Tri. Lagi pula itu perbuatan syirik yang akan jadi noda abadi bagi iman kita. Syirik itu dosa yang tak terampuni karena menyekutukan Allah,” imbuh Ustaz Dwitejo bersemangat karena dalam rangka menyampaikan wasiat takwa.
“Tapi dulu Ustaz sudah berjanji kepada saya. Andai Ustaz tahu betapa menderitanya saya lima tahun ini karena tak pernah berhenti memikirkan penerawangan Ustaz yang terpenggal itu,” raung Trijoko.
“Maafkan saya, Mas Tri, semua orang bisa khilaf. Saya juga begitu. Mari saya bantu Mas Tri menuju taubatan nasuha,” ujar Ustaz Dwitejo tetap dengan kesabaran terjaga.
Trijoko merasa tak ada gunanya lagi berlama-lama di tempat itu. Dia setengah menggeret Sundari yang dari tadi cuma diam menyaksikan percakapan keduanya.
Ustaz Dwitejo mengantar kedua tamunya itu pulang. Sebelum keduanya masuk mobil, Ustaz Dwitejo menyampaikan wasiat takwa terakhirnya kepada mereka, “Kembalilah ke jalan yang benar, ke jalan lurus yang diridai Allah Subhanahu Wa Taala. Cuma itu juru selamat yang hakiki.”
Trijoko menatap lurus ke arah Ustaz Dwitejo. “Ustaz bajingan,” hardiknya lalu tancap gas pergi.
“Astagfirullah,” desis lirih Ustaz Dwitejo yang merasa bahwa jalan dakwah memang kadang terjal dan berliku seperti ini.
Trijoko kesetanan mengemudikan mobilnya. Kuda-kuda seakan adu pacu di benaknya menerabas batas-batas masa lalu dan masa depan. Seperti ada suara ringkikan yang terus menggema dalam batinnya. Tampaknya ia harus terus menyalakan kewaspadaan dan memikirkan sosok kuda troya pembawa bencana sepanjang hidupnya. Kutukan ini belum akan berakhir. Aral bisa datang kapan saja.
Sundari diam saja di samping Trijoko. Ia lumayan terkejut juga dengan perangai meledak-ledak suaminya barusan yang tak pernah ia jumpai sejak mereka saling kenal. Di mata Sundari saat itu, keberangasan Trijoko ini membuatnya tampak di puncak kejantanan. Trijoko betul-betul mirip kuda liar yang menantang untuk dijinakkan. Diam-diam Sundari terangsang dan terbakar berahi. Dia ingin segera menunggangi dan ditunggangi Trijoko.
Solo, Desember 2023
- Kasih Ibu Sepanjang Buku - 23 August 2024
- Jodoh dan Reinkarnasi - 19 January 2024
- Yang Gugur di Kios Cukur - 30 November 2018
Rory
hoahohoahoahoa
Fuajiri
Keren parah, saya jadi terinspirasi untuk menuliskan cerita tentang seseorang yang mengidap zoofili🤣
Dewi kale
sangat menghibur,saya tertawa sepanjang mebaca cerpen ini hahahhahaha
Andika Chandra
wkwkwkw lucunya natural