Keajaiban dan kebetulan itu beda-beda tipis. Namun, perbedaan tipis itu kalau direntang bisa panjang juga. Pada intinya, kalau bisa diringkas dalam satu kalimat, perbedaan di antara keduanya adalah kebetulan bisa sering-sering diulang, sedangkan keajaiban tak dapat diulang. Ketika dirimu lewat di depan rumah temanmu kemudian berpapasan dengan temanmu, itu adalah kebetulan yang kerap disambung dengan obrolan, “Kebetulan aku lewat depan rumahmu.” Kalau kamu ulangi lagi kejadian ini, persentase kamu ketemu lagi dengan temanmu tetaplah tinggi, apalagi kalau hal ini kamu dasari dengan niat pinjam duit untuk menanggulangi penyakit bokekmu yang telah menahun. Sementara, kemampuan Nabi Musa membelah Laut Merah seperti kisah dalam kitab suci adalah keajaiban. Kamu atau bahkan siapa pun tak dapat mengulanginya, atau kamu bisa mengulanginya dalam sebuah cerita baru dengan memodifikasi cerita yang sudah ada dan mengeklaimnya sebagai prosa karanganmu dengan menyertakan interteksnya. Dan, kisahku dengan buku Cerita dari Blora karya Pramoedya Ananta Toer ini adalah kisah semi-kebetulan dan semi-keajaiban.
Kukatakan kebetulan karena aku bisa mengalokasikan dana untuk membeli beberapa buku lawas ini lagi, sedangkan keajaiban bekerja ketika aku membuka halaman pertama buku itu setelah mengambil paketnya dari rumah ibu. Perlu kuterangkan di sini, semua paket untukku memang kualamatkan ke rumah ibu dengan alasan sederhana agar aku bisa sering-sering mengunjungi beliau yang sudah uzur. Bisa sering-sering mengunjungi beliau adalah privilese bagiku. Di halaman pertama buku Pram itu tertera sebuah cap bertuliskan Koleksi Nalar Kiwari. Aku akrab dengan nama itu yang dengan segera menciptakan sebuah senyum di bibirku dan pisuhan kecil segera meletus: ndladuk.
Aku membeli buku terbitan Hasta Mitra tahun 1994 itu dari seorang pelapak di Jogja seharga 250 ribu rupiah. Harga ini tergolong murah karena penjualnya sedang dilanda BU alias butuh uang, dan aku ditargetnya sebagai pembeli karena biasa mentransfer dana dengan cepat. Ketika akun Fesbuk John Cena Book itu menjapriku, tanpa pikir panjang langsung aku ACC. Buku ini bisa untuk melengkapi koleksi buku Pram-ku atau seperti yang lalu-lalu, aku bisa menjualnya lagi dengan untung yang lumayan. Akun Fesbuk ini tergolong unik karena pemiliknya adalah mantan tentara. Dia mengajukan pensiun dini dari kemiliteran untuk fokus berjualan buku. Nama pemilik akun ini adalah Pak Johny Tembong dan aku mendengar kisah heroiknya ini langsung dari beliau ketika kami bersua di angkringan seputaran Festival Kebudayaan Yogyakarta. Kembali ke persoalan buku, Nalar Kiwari ini adalah kawanku yang tinggal di Solo, sementara John Cena Book bermarkas di Jogja, dan bagaimana bisa buku ini akhirnya sampai ke tanganku? Tentu ada berbagai skenario yang melintas di kepalamu. Tebakanmu bisa saja salah, tetapi bisa juga sangat salah. Sebagai penulis cerpen yang budiman dan merangkul pembaca, izinkan aku menebak beberapa skenario yang mungkin melintas di kepalamu. Pertama, mungkin kau mengira bahwa Nalar Kiwari ini lagi terjangkit bokek, kemudian menjual buku koleksi berharganya. Kedua, buku ini dipinjam seorang kawan Nalar Kiwari, kemudian durjana ini, karena alasan yang lagi-lagi sama, yakni bokek, menjual buku pinjaman ini. Durjana ini barangkali telah memodifikasi kata-kata mutiara yang sudah teramat kondang, yakni ‘hanya orang bodoh yang mengembalikan buku pinjaman’ menjadi ‘hanya orang bodoh yang mengembalikan buku pinjaman, orang pintar pastilah menjual buku pinjaman itu’. Dengan tegas kunyatakan bahwa kemungkinan pertama itu keliru. Nalar Kiwari ini manusia dari kasta tulang besar, dalam artian dia berasal dari keluarga berada yang hidup berkecukupan untuk menghaluskan kenyataan bahwa dia adalah manusia yang kaya raya. Bahkan semasa kuliah, dia telah mendirikan toko buku bernama Anak Semua Bangsa di sekitaran kampus STSI Surakarta (sekarang ISI Surakarta) dan mengaryakan teman-teman mahasiswanya yang ajek bokek. Dari namanya saja, kau bisa menakar kekaguman Nalar Kiwari terhadap sosok Pramoedya Ananta Toer. Perihal toko buku Anak Semua Bangsa ini nanti akan kuceritakan lebih lanjut di kesempatan lainnya karena sebagai pioner toko buku ‘indie’ di kota Solo dan menginspirasiku berjualan buku, teramat sayang kalau toko buku ini tak kuceritakan secara khusus. Kemungkinan kedua juga keliru dan penyebabnya sungguh singkat dan mendasar, yaitu karena Nalar Kiwari ini pelit. Dia tak akan meminjamkan properti pribadinya kepada siapa pun, apalagi seberharga buku Pram itu. Apa pun itu, aku berani bertaruh bahwa tebakanmu pasti bakalan meleset. Aku mendapat kebenaran cerita ini langsung dari Nalar Kiwari beberapa tahun yang lalu sebelum memegang langsung buku ini.
Kami bertemu di sebuah mal. Saat itu Nalar Kiwari mengikutkan anaknya Kejurda pingpong, sedangkan aku dan anakku berencana makan ramen. Aku mendapat berkah terselubung dari anak Nalar Kiwari yang terserang demam panggung dan akhirnya batal mengikuti kejurda. Karena itu, kami punya banyak waktu untuk mengobrol. Pertemuan sepintas lalu itu menjadi obrolan panjang ketika kami memutuskan nongkrong di food court dan memesan minum. Nalar Kiwari tahu bahwa sekarang aku berjualan buku dari akun Fesbukku, sedangkan aku baru tahu langsung dari penuturannya bahwa sekarang dia adalah kader senior sebuah partai politik Islam. Jiwa pergerakannya ternyata belum padam juga, dan ketika dia mengulang slogan ‘politik itu lentur, praktis, dan kerja nyata’ sebanyak tiga kali, aku berkesimpulan bahwa jiwanya sudah dimangsa setan parpol dan tak tertolong lagi. Membicarakan buku adalah hal yang terbaik di antara kami, dua kawan lama yang meskipun tinggal sekota, sudah lebih dari lima tahun tak bersua. Ketika kami mengobrolkan buku-buku sastra laris, yang tak mungkin tidak menyebut Pram, kisah pilu ini mengalir dari dirinya.
Nalar Kiwari sangat mencintai Pram dan buku-bukunya, bahkan bisa dikatakan memujanya. Dengan susah payah, dia mengumpulkannya di masa represi Orde Baru. Terbayang betapa susahnya menemukan buku-buku Pram di masa itu. Dan dengan semangat membara yang didukung energi finansial yang memadai, Nalar Kiwari mampu menjangkau itu. Bahkan, dia memiliki beberapa buku Pram terbitan NV. Nusantara. Buku-buku Pram ini pula yang menyalakan semangatnya untuk berangkat demo ke Jakarta guna menumbangkan rezim Soeharto. Tepat seperti bayangan kita semua, Nalar Kiwari berangkat demo dengan mengenakan kaus bergambarkan siluet wajah Pram. Nalar Kiwari adalah saksi hidup dan salah satu pahlawan yang melahirkan reformasi. Dia juga fasih menceritakan kerusuhan Mei 1998 di Kota Solo di mana saat itu aku masih kelas 3 SMA. Kalau mengingat jarak usia kami, bisalah Nalar Kiwari ini dikatakan sebagai kakak tingkat yang membanggakan. Ketika Soeharto tumbang, dia sudah semester empat dan menjadi ketua di UKM Pers kampus. Kembali ke buku-buku Pram, bahkan tanpa ceritanya pun, aku paham bahwa mengumpulkan buku-buku ini teramat berisiko. Entah terbitan dari mana saja haruslah kucing-kucingan dengan aparat, termasuk ketika membacanya pun, buku ini harus disampuli koran atau kertas lainnya untuk menutupi judulnya. Jadi, bisa dimaklumi kalau sekarang ini buku-buku lawas Pram harganya melangit karena buku-buku itu berhasil lolos alias selamat dari pemberangusan yang dilakukan oleh rezim Orba. Buku-buku itu telah melalui fase-fase sulit dan sekarang masih berwujud untuk menjadi saksi zaman. Ajaibnya, Nalar Kiwari lengkap mengoleksi buku-buku ini. Bahkan, semua buku terjemahan Pram pun dimilikinya. Barangkali cuma Nalar Kiwarilah kolektor terlengkap buku Pram di Kota Solo.
Kehidupan manusia bersalin. Di ujung wisuda Nalar Kiwari, toko buku Anak Semua Bangsa pailit dan gulung tikar. Berlokasi strategis di lingkungan kampus ternyata bukan jaminan larisnya sebuah toko buku. Faktanya, banyak golongan mahasiswa yang minat bacanya memprihatinkan, atau yang minat bacanya tinggi dan sudi membeli buku bisa dihitung dengan jari. Kalau sastrawan lokal, mereka memang sudah tidak bisa diharapkan lagi karena kebanyakan mereka memang tidak membaca, selain karya mereka sendiri. Mereka tidak butuh buku-buku baru karena semua bahan menulis sudah tersedia dalam diri mereka sendiri. Secara ekonomi, ini bukan perkara besar bagi Nalar Kiwari. Beberapa usaha dan jalinan pertemanan yang lebih menjanjikan sebagai mata pencaharian telah menantinya. Namun, secara ideologis, Nalar Kiwari merasa terluka. Usahanya membesarkan usaha yang senama dengan judul buku Pram telah gagal. Namun, luka ini juga cuma sementara. Tak berselang lama dia menikahi pacarnya dan dengan segera masalah-masalah kerumahtanggaan membabat idealismenya tentang toko buku dan buku-buku. Pasutri baru ini menempati sebuah rumah baru yang terpisah dari orang tua mereka atas nama kemandirian. Rumah baru ini tidak berukuran besar sehingga mereka membawa barang-barang yang diperlukan saja. Kesibukan menjadi pegawai administrasi di sebuah perusahaan transportasi menimbun ingatan Nalar Kiwari akan buku-buku Pram dan buku-buku lainnya. Namun, dalam rutinitas hidup yang kadang menjemukan itu ada sebuah selingan yang bernama nostalgia. Ketika dalam suatu momen resepsi, Nalar Kiwari bertemu dengan seorang teman pergerakannya dan obrolan mereka menyentuh kata ‘Pram”, ingatannya terhadap buku-buku pram koleksinya tiba-tiba datang sebagai rindu yang menggebu-gebu. Kangen ini pulalah yang menuntunnya menyambangi rumah ibunya. Sebetulnya, Nalar Kiwari lumayan sering mampir mengunjungi ibunya, tapi kali ini dia datang dengan minat yang lebih spesifik: mencumbui buku-buku Pram di kamarnya. Nalar Kiwari telah menyiapkan kardus untuk memboyong koleksi buku-buku Pram yang terakhir dilihatnya sekitar sebulan lalu cukup berantakan di kolong meja menulisnya. Ketika memasuki kamarnya, Nalar Kiwari lumayan pangling dengan suasana kamarnya yang tertata lumayan rapi dengan cat tembok baru warna biru muda. Dia sudah diberi tahu ibunya bahwa bekas kamarnya itu akan ditinggali keponakan ibunya, yang juga adik sepupunya, yang baru diterima di Fakultas Pertanian UNS, dan dia mengizinkannya. Setelah tak berhasil menemukan buku-buku Pram, Nalar Kiwari menanyakannya kepada ibunya.
Dan, jawaban sang ibu betul-betul membuat Nalar Kiwari seperti terserempet odong-odong di pinggir jalanan sawah yang sepi ketika hujan turun rintik-rintik. Dia terkejut dan tak sempat menghindar untuk kemudian terjerembap ke kubangan lumpur tak terperi bernama kenestapaan. Buku-buku Pram koleksinya telah diloakkan ibunya ke pengepul barang bekas keliling dan laku 50 ribu rupiah. Ingin rasanya Nalar Kiwari meluapkan amarah, tetapi kesadaran segera menyelamatkannya bahwa itu adalah perkara yang tidak berguna dan tidak baik. Apa pun itu, dia tak boleh murka terhadap ibunya. Ia tidak boleh jadi anak durhaka walau selama dua menit saja. Nalar Kiwari hanya bisa menangis sesenggukan, dan dia tetap menangis dan menangis, meskipun sang ibu mencecarnya dengan aneka pertanyaan yang merupakan representasi dari rasa bersalahnya. “Ibu kira buku-buku itu sudah tidak berguna. Berantakan sudah cukup lama dan memenuhi kamar, jadi ibu kilokan saja daripada jadi sarang nyamuk. Ini uangnya kamu simpan saja.”
Aku ikut meringis ketika mendengarkan cerita itu. Ada banyak perasaan bermain di situ, mulai dari tragik nostalgik hingga nilai investasi yang menguap sia-sia. Meskipun tak ikut memiliki koleksi buku Pram, aku merasa turut kehilangan. Sungguh beruntung tukang loak itu. Kalau tukang loaknya buta buku, sungguh beruntung penadah buku-bukunya. Kalau para penadah bukunya juga buta harga buku, sungguh beruntung pencinta buku yang memilikinya dengan harga murah. Sebaliknya, derita sepenuhnya dan seutuhnya atas buku-buku itu murni menjadi milik Nalar Kiwari.
“Bagaimana perasaanmu sekarang kalau ingat peristiwa itu, Mas?” tanyaku saat itu.
“Masih campur aduk. Sedih, kecewa, marah tumpang tindih. Tapi ibuku kan juga ndak paham, jadi beliau juga tidak bisa disalahkan. Pokoknya ndlogok banget ini rasanya. Aku sampai pengen mampir ke psikiater pas pulangnya itu, tapi kuurungkan. Aku banting setir menuju pantai sepi di daerah Pacitan. Di situ aku teriak-teriak dan misuh-misuh sepuasnya sampai suaraku serak. Kukira kesedihanku sudah habis di pantai itu, sesampainya di rumah aku merasa ngelangut lagi. Bajinguk tenan!”
“Koleksi lagi saja buku-buku Pram, Mas. Bisa, kok, kucarikan.”
“Ndak dulu. Rasanya pasti ndak sama lagi. Beda banget antara ngoleksi buku di zaman pedih perih itu dengan masa serbaada sekarang ini. Sensasi penderitaan dan perjuangannya tak ada lagi. Cukuplah aku laminating lembar uang 50 ribu yang dikasih ibuku hasil meloakkan buku-buku itu dan memajangnya di ruang tamu rumahku. Sekarang ini mengenang Pram adalah kesedihan bagiku.”
Pada titik ini aku kian menyakini bahwa perasaan kehilangan akan dengan segera membaptis seseorang menjadi penyair. Nalar Kiwari adalah contohnya. Tak terhindarkan lagi.
“Tapi kalau dirimu dapat salah satu bukuku itu, tolong beri tahu aku, ya. Barangkali itu bisa sedikit mengobati kekecewaanku. Bukuku ada capnya di halaman pertama.”
“Beres, Mas.”
Kutimang-timang lagi buku Cerita dari Blora milik Nalar Kiwari yang kini menjadi milikku ini. Selain berhasil lolos dari kemelut sejarah, buku ini pastilah juga punya cerita heroik dan perjalanan yang sangat panjang untuk sampai ke John Cena Book di Yogja dan kemudian menjadi milikku. Perjalanan buku ini, dalam bayanganku, pasti bisa ditulis menjadi novel tersendiri. Sempat terlintas di pikiranku untuk mengembalikan buku itu ke Nalar Kiwari sebagaimana pesannya saat itu, tetapi pikiran itu segera tersapu angin dan tak berbekas sama sekali. Bisa saja ketika menerima buku itu, luka lama Nalar Kiwari yang sudah mengering akan membasah lagi. Aku seperti menuangkan cuka ke nganga mata lukanya yang sudah buta. Dengan tidak memberitahunya, berarti aku juga telah menyelamatkan mentalnya yang labil karena buku ini.
Tiba-tiba aku teringat dengan kata-kata mutiara modifan itu: ‘hanya orang bodoh yang mengembalikan buku pinjaman, orang pintar pastilah menjual buku pinjaman itu.’ Dan sebagai penjual buku ulung, tentu aku bisa menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Paling tidak buku itu bisa laku 350 ribu dan aku untung 100 ribu rupiah. Lumayanlah laba dari buku itu bisa kubelikan tiga daster untuk ibuku. Beliau pasti senang menerimanya sebagai salin daster-dasternya yang sudah kusam. Tak ada kepemilikan abadi bagi seorang penjual buku, selain kasih ibu.
Solo, Agustus 2024
- Kasih Ibu Sepanjang Buku - 23 August 2024
- Jodoh dan Reinkarnasi - 19 January 2024
- Yang Gugur di Kios Cukur - 30 November 2018
Erlinda Herawati Harahap
Keren banget😍
Wahyuaji
Nalar Kiwari? Ini tokohnya bener2 ada, cm namanya di plesetkan ya 😁 Ketua UKM Pers kampus? Tuh kan bener… Aku kenal nama tokoh ini jg dr majalah kampus. Toko buku Anak semua bangsa? Nama toko buku aslinya bukan ini tp mmg menggunakan salah satu judul buku Pram.
Baca cerpen ini berasa nostalgia pas kuliah. Terima kasih Mas Gunawan… Semoga selalu sukses…
TARSONO
Sangat sangat sangat dramatis
teddy m
cerpen mas gta selalu asyik dan menggelitik. selamat mas. saya merasa beruntung sudah membacanya.
Rahmi
Keren Mas Gun.
Andika Chandra
Mantap sangat.
Wereadsatu
Ketemu lagi ama karya Mas Gun
Temenan di fesbuk lawasku yg lupa sandinya wkwk
Klw bukuku bukan dijual Ibuku tapi dimakan rayap terpaksa dibakar hhuhu
Anugrah
Secara keseluruhan, “Kasih Ibu Sepanjang Buku” adalah sebuah karya yang menyentuh hati dan penuh makna. Gunawan Tri Atmodjo berhasil menyampaikan pesan yang kuat tentang pentingnya kasih sayang ibu dan dampaknya yang abadi. Buku ini sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin merenungkan hubungan mereka dengan ibu dan menghargai peran penting yang dimainkan oleh sosok ibu dalam kehidupan kita.