Kisah Seorang Pelayan dalam 13 Fragmen

Mimpi

Hampir setiap malam mimpi itu meneror saya. Namun, seminggu sebelum saya bebas dari penjara, mimpi itu menghilang. Sesudahnya, saya gamang, sebab bersamaan dengan hilangnya mimpi aneh itu, pengkritik Tuan Boka nyaris setiap hari muncul di televisi. Dia terus saja menyerang dan menghina tuan saya. Begini katanya: Dia pemimpin yang hanya memikirkan nasibnya sendiri. Dia sama sekali tidak memikirkan nasib kita. Baginya yang terpenting adalah mempertahankan kekuasan. Lihat saja, dia sanggup mengorbankan pelayannya untuk menyelamatkan citranya yang pemarah dan bengis. Saya marah! Akan saya habisi si pengkritik itu kelak selepas bebas.

Miskin

Meski kedua orang tua saya miskin dan mati ditabrak mobil berplat merah (mobil yang menabrak kabur begitu saja hingga orang tua saya meregang nyawa di tengah-tengah jalan raya), mereka tidak pernah satu kali pun mengajari saya berbuat jahat. Bahkan saat memulung, saya diajarkan agar tidak berebut dengan pemulung lain.

Sekali lagi

Tuan Boka memusuhi saya. Dia tidak suka sikap istrinya kepada saya dan mulai berpikir kalau saya memiliki hubungan spesial dengan istrinya. Saya dimata-matai. Namun, semua tuduhan itu tidak pernah terbukti. Malah saya sekali lagi menyelamatkannya: hari itu Tuan Boka marah besar, kemudian menembak sopir pribadinya. Sungguh dia murka tiada tara setelah mendengar salah satu partai pengusungnya menarik dukungan. Kemarahannya menjalar cepat bagai kobaran api di lahan gambut. Dia ambil pistol, lalu menghadiahi sopirnya timah panas. Begitu pistol terjatuh ke lantai, langsung saya ambil. ”Cepat lapor polisi! Katakan saya pelakunya,” kata saya. Tuan Boka kaget. Tak lama kemudian pengawalnya menelepon polisi. Saya pun diringkus.

Susu, Cokelat, dan Pendidikan yang Mahal

Saya dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin. Saking miskinnya, ayah dan ibu saya belum pernah membelikan saya susu atau cokelat. Mungkin satu-satunya susu yang pernah saya minum adalah susu yang muncrat dari puting ibu saya. Kata ibu saya, hanya tiga bulan saya menyusu: memasuki bulan keempat saya tidak mau disusui. Saya mulai minum air putih dan sesekali teh manis bila uang ibu saya berlebih. Sungguh kemiskinan telah membuat saya seperti bocah aneh yang tak memiliki teman saat saya beranjak menjadi anak-anak. Bagaimana tidak? Ketika teman-teman sebaya saya sedang asyik bermain dengan peta bola dunia di sekolah (mencari di mana letak Ibu Kota yang baru), saya malah sibuk membantu ibu dan ayah saya mengumpulkan botol bekas. Sering, saat sedang membantu orang tua saya, botol-botol yang saya temukan di jalanan, selokan, pun parit yang kotor, saya remuk kuat-kuat demi melampiaskan kemarahan yang berkobar dalam jiwa saya. Betapa marah saya kepada kondisi ekonomi ayah saya yang tak memiliki cukup uang untuk membayar biaya pendaftaran sekolah pun biaya setelahnya. Mau berharap kepada ibu, macam mustahil, sebab air susunya saja yang seharusnya dua tahun saya nikmati, ternyata hanya tiga bulan saya rasakan. Ayah dan ibu sempat begitu berharap pada program sekolah gratis yang selalu digaungkan oleh pengelola negara kepada orang-orang miskin seperti kami. Namun, betapa kecewa mereka setelah mengetahui semua itu hanyalah omong kosong; bualan belaka untuk memikat hati rakyat pada masa kampanye politik. Maka, mimpi mengenyam pendidikan setinggi mungkin, wajib ayah dan ibu saya padamkan dari kobar mata masa kecil saya.

Darah Pelayan yang Mendidih

Apa artinya pelayan tanpa seorang tuan? Kalimat itu terus menghantui saya dalam penjara. Saya benar-benar merasa tak berguna: Tuan saya di luar sana sedang mendapat cobaan atau kritikan yang menyakiti hatinya, sedangkan saya enak-enak di dalam penjara—makan-tidur. Tiga bulan saya sulit tidur malam sejak Tuan Boka dilantik menjadi pemimpin negara. Apalagi sehari setelah dilantik, kritikan bertubi-tubi menyerbunya. Seorang pengkritik dari zaman pemerintahan sebelumnya, tanpa ampun menyerang Tuan Boka. Bahkan tukang kritik itu tega mengatai tuan saya tolol dan bajingan. Darah saya mendidih, terlebih si pengkritik itu membawa-bawa saya.

Ujian Kesetiaan…

Satu tahun setelah menjadi pelayan, kesetiaan saya diuji. Kala itu Tuan Boka sedang marah. Saking marahnya, dia memecahkan guci kesayangan istrinya. Untung istrinya tidak di rumah. Dan karena Tuan Boka tipe suami yang takut kepada istri, dia pun meminta saya mengaku sebagai pelaku. Awalnya saya heran, mengapa Tuan Boka sanggup meminta hal semacam itu kepada saya. Namun, setelah saya renungkan, itu bukanlah permintaan sulit. Kapan lagi membuktikan kesetiaan saya? Dan sebagai pelayan, sudah seharusnya saya siap melakukan apa saja untuk tuan saya. Bukankah begitu fitrahnya pelayan?

(++)

Istri Tuan Boka murka. Ia mengumpulkan semua pekerja di rumahnya. Dan mendadak semua serentak mengarahkan telunjuknya kepada saya.

”Benar kamu yang melakukannya, Mahli?” tanyanya lembut.

Saya kaget. Meski istri Tuan Boka tidak pernah berkata kasar atau marah kepada saya, tetap saja saya tidak menyangka ia bertanya selembut itu.

”Benar, Nyonya,” jawab saya gugup.

”Ya, sudah. Semua kembali ke tempat masing-masing,” perintah istri Tuan Boka. Sejak itu, saya selalu menjadi perisai Tuan Boka untuk menghalau amarah istrinya.

Hidup di Jalanan

Meski pun saya tidak bersekolah, saya termasuk anak yang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Sering saya bertanya banyak hal kepada ibu atau ayah saya. Beruntungnya saya, walau pun mereka juga tidak bersekolah, ibu dan ayah saya selalu bersemangat serta berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Kecuali satu soal yang bila saya tanya, mereka tidak bersemangat menjawabnya, ”Itu tidak penting, Li! Yang penting kita harus terus hidup dan bisa makan walau sehari sekali!” Awalnya saya kecewa pada jawaban mereka. Apa hubungannya tanggal dan tahun lahir dengan hidup dan makan? Namun, lama kelamaan saya paham. Anak miskin serupa saya buat apa juga mesti hafal tanggal dan tahun kelahiran. Bukankah hidup setiap hari saya habiskan di jalanan? Pagi hingga ke malam saya terus mengumpulkan botol atau gelas plastik bekas. Acap saya luput membedakan antara siang dan malam. Sehingga bila seseorang bertanya, ini hari apa, tanggal berapa, saya mudah saja menggelengkan kepala.            

Hari Pembebasan

Hari ini saya dibebaskan. Tuan Boka pun sudah terpilih menjadi pemimpin negara. Berita tentang kebebasan saya sengaja tidak diliput media. Mungkin Tuan Boka khawatir oposisi akan mengungkit-ungkit peristiwa kematian sopir Tuan Boka. Saat keluar dari penjara, saya langsung diantar ke istana Tuan Boka. Dia tengah menanti saya dengan gembira, begitu kata sopir yang menjemput saya.

(–)

Selama di penjara, saya tetap mendapatkan gaji dari Tuan Boka. Dia menganggap saya masih pelayannya. Maka, kalau sekiranya nanti orang-orang bertanya: sudah berapa lama menjadi pelayan? Saya akan menjawab 7 tahun. Meski pun faktanya hanya 2 tahun yang benar-benar saya lakoni menjadi pelayan Tuan Boka.

Kecanggihan Tuan Boka

Di BAP, saya mengaku terpancing melihat si sopir tertawa saat Tuan Boka sedang gundah. Selain itu, saya juga mengatakan kalau pada hari kejadian si sopir menghina saya yang akhirnya membuat saya marah dan menembaknya. BAP saya diterima. Saya dijatuhi hukuman seumur hidup setelah sebelumnya dituntut hukuman mati. Keberhasilan saya lolos dari maut sesungguhnya tak lain karena kecanggihan Tuan Boka. Ditambah pula selama proses hukum berlangsung, saya berlaku baik dan kesalahan saya dinilai murni perbuatan spontan. Namun, hukuman seumur hidup masih terlalu lama menurut Tuan Boka. Sekali lagi dia melakukan kecanggihannya. Setelah beberapa kali sidang banding, saya akhirnya hanya dihukum 10 tahun. Dan sebagai narapidana yang baik, remisi memangkas hukuman saya menjadi 5 tahun. Saya yakin, itu pun pastilah kecanggihan Tuan Boka.

Fitrah Seorang Pelayan

Nama saya Mahli. Sejak lahir kemiskinan sudah menjadi pakaian saya. Pakaian yang selalu saya pakai dalam mengarungi hidup yang kadang keras berbahaya dan kadang mulus-mulus saja. Lima belas tahun hidup saya lakoni sebagai pemulung. Tujuh tahun belakangan, saya tidak lagi memulung. Kini saya seorang pelayan. Menjadi pelayan di rumah politikus terkenal seperti Tuan Boka ternyata enak tidak enak. Enak karena bisa mengetahui banyak hal yang tidak banyak orang lain tahu, atau sesekali (kalau hari baik) kecipratan makanan sisa majikan atau tamu majikan saya. Tidak enaknya—memang apa enaknya jadi pelayan, apalagi pelayan politikus—kadang saya tidak dianggap manusia jika majikan sedang marah. Tapi saya sepenuhnya menerima keadaan saya. Memang begitu seharusnya seorang pelayan.

Kembali Menjadi Pelayan

Masuk ke istana Tuan Boka, saya diperlakukan bak pahlawan. Dengan senyum semringah, Tuan Boka menyambut saya di depan pintu. Beberapa saat, dia memandang saya, kemudian memeluk erat saya.

”Bagaimana kabar kamu, anakku?” katanya lembut.

”Baik, tapi saya mengkhawatirkan Tuan. Izinkan saya membuatkan Tuan teh. Saya rindu melayani Tuan,” pinta saya.

”Engkau memang pelayan setia, anakku. Buatkan aku teh yang panas tanpa gula!” balas Tuan Boka menyilakan. Saya langsung menuju dapur istana. Dalam perjalanan ke dapur, saya teringat mimpi saya dan kata-kata si pengkritik. Ingatan itu seperti mendesak saya melakukan sesuatu.

(–)

Menjelang bebas, kira-kira sebulan sebelumnya, saya sering bermimpi bertemu ayah dan ibu saya. Dalam mimpi itu, kedua orang tua saya berkata, selepas dari tempat ini pergilah ke tempat tuanmu. Ambil semua uang kami yang dicurinya! Saya heran. Mengapa ayah dan ibu saya berkata seperti itu? Bukankah itu perbuatan tidak baik?

Pertemuan Tuan dan Pelayan

Sebelum mengabdi kepada Tuan Boka, saya acap kali melihat dia berkhotbah berapi-api di hadapan orang banyak, utamanya orang miskin semacam saya. Suatu waktu saat berkhotbah, dia melihat saya dan dengan lembut bertanya.

”Apa pekerjaanmu wahai anakku?” katanya.

”Pemulung, Tuan,” jawab saya.

”Ingat! Jika saya menjadi pemimpin, saya pastikan tidak ada lagi pemulung seperti anak muda ini,” teriak Tuan Boka kepada pendukungnya sambil menunjuk saya. Selesai berkhotbah, saya kejar Tuan Boka. Pengawalnya sigap menghalau. Tapi syukur, dia melihat saya.

”Boleh saya bekerja pada Tuan?” pinta saya spontan.

”Apa yang bisa kamu kerjakan, anakku?” jawabnya sambil tersenyum.

”Saya pandai memijat. Saya bisa melucu sampai Tuan tertidur. Atau, saya juga mahir mencuci apa saja yang kotor di rumah Tuan,” kata saya bersemangat.

”Apa? Kamu ingin menjadi pelayan? Tidak ingin pekerjaan lain?”

”Tidak, Tuan. Itu pekerjaan mulia menurut saya. Apalagi melayani Tuan, calon pemimpin bangsa kelak. Lagi pula pekerjaan apa lagi yang pantas buat orang yang tidak bersekolah selain pelayan,” kata saya mengemis. Tuan Boka tersenyum. Senyum itu berarti perintah kepada pengawalnya agar membawa saya ke rumahnya. Dan sejak itu, saya resmi menjadi pelayan Tuan Boka. Pelayan setia; benar-benar yang setia.

Yang Lemah Tetaplah Mangsa yang Kuat

Sesaat setelah teh selesai saya buat, tiba-tiba sebuah keinginan yang entah dari mana datangnya menuntun saya mengambil sebilah pisau pemotong buah. Tenang saya bawa teh ke hadapan Tuan Boka. Tepat sesudah teh sempurna saya letakkan, dengan tangan bergetar saya angkat pisau ….

Dorrr.

Sebutir peluru meletus. Suasana menjadi gaduh. Dalam kegaduhan, terang saya saksikan istri Tuan Boka berlari ke arah Tuan Boka seraya menangis dan masih memegang sebuah pistol. Saya terkejut, sungguh-sungguh terkejut. Keesokan hari semua media kompak menulis berita dengan judul: Pelayan Itu Melawan; Akhir Hidup Seorang Pemimpin Negara yang Tragis.

Jakarta, 2025

*Cerpen ini menggunakan teknik fraksionasi, memecah kesatuan utuh menjadi fragmen-fragmen yang tetap terhubung.

Ilham Wahyudi
Latest posts by Ilham Wahyudi (see all)

Comments

  1. Vran Reply

    Penuh plot twist kerennn

  2. al Reply

    seruu dan kerenn bangettt

  3. al Reply

    ceritanya sangat keren dan seru, penuh dengan plot twist jadi ngga bosen baca nya

  4. GLEN Reply

    Seru, keren dan penuh plot twist

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!