Sidney Sheldon Ternyata Laki-laki

Belum lama ini saya memesan sebuah buku dari lapak media sosial seorang kawan. Bukan buku yang benar-benar ingin saya baca, tapi ia menarik sejak dari sampulnya. Itu buku memoar seorang penulis, jenis buku yang senang saya kumpulkan. Lucunya, buku memoar dari pengarang yang selama ini saya sangka perempuan itu ternyata bergambar foto kakek-kakek di sampul depannya.

Tentu saja saya tahu Sidney Sheldon, sebuah nama yang familiar jika Anda pernah sesekali masuk ke toko buku Gramedia, khususnya di rak novel, atau ketika main ke lapak-lapak pasar buku bekas. Tapi karena saya tak pernah membacanya, saya tak pernah tahu siapa sebenarnya Sidney Sheldon. Meski saya tahu beberapa orang bernama Sidney adalah laki-laki (misalnya aktor Sidney Poitier, atau filosof Sidney Hook, atau pesepakbola Sidney Govou), saya selalu merasa bahwa Sidney Sheldon adalah perempuan. Mungkin karena saya mengelirukannya dengan beberapa perempuan bernama Sydney, atau kota Sydney yang (entah kenapa) punya kesan feminine. Tapi, tampaknya, terutama karena saya sering mengasosiasikannya dengan penulis-penulis laris di rak-rak Gramedia seperti Agatha Christie, Sandra Brown, Meg Cabot, hingga Amy Tan, yang kesemuanya perempuan.

Bagaimana pun, kini saya mesti berhadapan dengan kebenaran: Sidney Sheldon adalah laki-laki. Dan saya mesti berdamai dengan itu. Barangkali juga sedikit bersyukur bahwa saya menemukan kebenaran ini lebih cepat. Setidaknya, saya tidak perlu memiliki resiko mengalami apa yang dialami seorang tetangga, yang menamai anak laki-lakinya Iis Sugianto.     

***

Saya mengumpulkan banyak buku tentang riwayat hidup orang-orang, dikenal atau tidak dikenal, baik yang diceritakannya sendiri atau diceritakan orang lain. Saya selalu berhenti sejenak ketika menemukan buku dengan tajuk memoar, kenang-kenangan, biografi, atau autobiografi, atau yang mengacu kepada pengalaman personal seseorang pada satu waktu di satu tempat.

Tentu tidak selalu berujung ketertarikan, apalagi dengan segera menggebu beli. Biasanya tergantung apakah ia memberikan gambaran yang saya cari: kisah/orang itu menarik, menggambarkan dunia yang lebih besar di luar diri orang yang bercerita (atau yang diceritakan), dan yang tak kalah penting apakah ia ditulis dengan baik. Untuk faktor terakhir ini, bagaimana pun, saya tak bisa mengabaikan diri saya sebagai pengarang yang membaca.

Saya ingat, saya dulu selalu ndlongop mendengar orang dewasa, atau orang yang jauh lebih tua, bercerita tentang dirinya atau pengalaman-pengalaman unik yang dilewatinya (kisah-kisah supranatural, pengalaman seksual, atau pengalaman hampir mati, misalnya) sampai mereka mengusir saya—biasanya dengan kalimat “Hush, pergi sana! Anak kecil tidak baik menyimak obrolan orang tua!” Kebiasaan “buruk” ini sulit disembuhkan karena salah satu orang dewasa yang ceritanya membuat saya sering dlongop adalah bapak saya sendiri—baik oleh ceritanya yang ditujukan khusus kepada saya, tapi terutama cerita-ceritanya untuk orang lain. Barangkali karena itu, saya selalu punya pendongeng tua di cerita-cerita saya, mulai dari tiga orang tua di Kambing dan Hujan, Warto Kemplung di Dawuk, hingga Imam Wijaya di Anwar Tohari.

Sedikit bisa membaca, rasa ingin tahu kisah hidup orang lain kemudian berlanjutkan dengan kebiasaan saya membaca kolom sosok di koran atau majalah. Biasanya di halaman belakang.  Kebanyakan artis atau orang terkenal dari dunia hiburan. Saya ingat, mungkin di usia delapan atau sembilan tahun, saya punya crush dengan artis Astri Ivo setelah membaca profilnya di majalah Femina bekas entah milik siapa. Lebih belakangan, saya menggilai membaca profil para atlet. Dari sebuah kolom kecil di liputan panjang tentang balapan F1 di Tabloid Kompetisi, saya tak akan melupakan nama dan wajah Giovanna Amati, salah satu dari hanya lima pembalap perempuan yang pernah tampil di F1. Tabloid Bola dan GO di usia remaja kemudian sepenuhnya mengerucutkan kecenderungan ini kepada pemain sepakbola.

Kegemaran membaca biografi/otobiografi dan memoar artis maupun pemain sepakbola kemudian dengan jelas membentuk minat saya hingga hari ini. Apalagi ketika kemudian saya punya alasan pembenar, setelah tulisan-tulisan saya tentang film dan musik, juga sepakbola, memiliki ruang di media dan, terutama, mendapatkan pembaca. Paling tidak, dari sekadar kesenangan mengintip kisah hidup orang lain, saya kini bisa berkilah—setidaknya kepada istri saya—bahwa buku-buku itu adalah material saya untuk menulis (sebagaimana saya juga menyebut hal yang sama ketika sedang menonton sepakbola atau film atau sekadar menikmati musik). Paling akhir, saya mendapatkan memoar Rick Wakeman, meski saya tak yakin pernah mendengarkan musiknya Yes atau karya solonya; sementara, dalam kunjungan ke India akhir Maret lalu, saya membawa pulang Lyrics By Sameer, yang berisi cerita-cerita di balik layar lahirnya hit-hit lagu India yang liriknya ditulis oleh Sameer Anjaan yang, berbeda dengan sosok dan karya Wakeman, sangat familiar untuk kuping Bombay saya.

Dan sambil terus mengumpulkan riwayat hidup para artis dan pemain sepakbola, tentu saja saya juga mengumpulkan riwayat hidup, memoar, biografi/otobigrafi, para pengarang. Bagaimana pun, seperti yang sudah saya sampaikan, salah satu kriteria yang saya pakai mengumpulkan buku-buku jenis ini adalah mutu tulisannya. Memilih buku tentang pengarang, jika pun bukan ditulis oleh pengarangnya sendiri (semisal Fitzgerald & Hemingway: A Dangerous Friendship oleh Matthew J. Bruccoli), setidaknya sejak awal punya standar yang terjamin, sehingga nama(-nama) besar yang ditulisnya tidak dikerdilkan. Apalagi jika sosok atau kisahnya menarik (seperti kisah Fitzgerald dan Hemingway-nya Bruccoli atau cerita tentang V.S. Naipaul yang dituliskan Paul Theroux), maka nyaris semua persyaratan buku tentang kisah hidup orang-orang yang baik sudah terpenuhi. (Meski, tentu saja, ini tidak membuat semua buku riwayat hidup pengarang, baik yang ditulis oleh orang lain atau bahkan oleh pengarangnya sendiri, otomatis bagus.)

Pada dasarnya, dibanding para artis dan pesepakbola, kisah para pengarang relatif lebih dekat dan terkait secara langsung dengan hidup saya. Saya hidup dari dan dikenal karena mengarang, jadi, ya, saya memang pengarang—mau bagaimana lagi? Maka, mengumpulkan kisah-kisah mereka, oleh karena itu, nyaris terjadi secara alamiah saja untuk saya. Dalam kalimat yang lebih mudah diterima banyak orang, bolehlah ini disebut upaya menemukan inspirasi atau mencari teladan. Meski, pada banyak sekali kasus, saya sebenarnya sedang mencari diri saya pada para pengarang itu.

Apakah hasilnya adalah semangat menggelora untuk mengubah dunia lewat pena? Atau setumpuk ilham untuk menciptakan masterpiece yang belum ditulis para pengarang sebelumnya? Sayangnya tidak. Atau, kebanyakan tidak. Kebanyakan justru berupa lahirnya tekad lucu semacam “Aku tak akan sekonyol novelis yang itu”, atau sebuah refleksi getun sembari mengurut dada, “Betapa absurdnya melewati hidup semacam itu hanya untuk menulis”.

Tentu saja saya tahu itu sejak awal. Memang apa yang bisa diharap dari hidup para pengarang, selain alasan-alasan untuk bunuh diri, kemelaratan yang diglorifikasi, kegagalan yang dibesar-besarkan, patah hati atau pengkhianatan yang didramatisasi, atau permusuhan-permusuhan kekanak-kanakan? Kalau mau mencari yang benar-benar inspiratif, menggetarkan jiwa, menimbulkan semangat yang menyala-nyala, memberikan teladan bagaimana menjadi berguna bagi nusa dan bangsa, saya mungkin akan memilih membaca biografi para jenderal tentara atau bekas perwira polisi. Masalahnya, saya sulit tertarik dengan kisah-kisah sukses macam itu. Lagipula, kebanyakan kisah-kisah itu ditulis dengan buruk. 

***

Tapi, sejujurnya, kebanyakan biografi atau memoar pengarang saya baca karena saya malas membaca.

Saya suka membaca—saya jamin itu. Tapi, kadang saya menemukan bahwa terlalu banyak buku yang harus dibaca, sementara hidup yang nyata (bukan yang ideal) tidak mengizinkan kita untuk terlalu banyak membaca. Bahkan ketika kita melakukan pekerjaan yang mengharuskan kita banyak membaca, menulis misalnya, kita butuh semacam jeda dari membaca. Dan, ironisnya, semakin banyak kita menulis, entah karena kita begitu ambisius ingin nongol tiap pekan di halaman kebudayaan koran-koran, atau karena hanya itu yang bisa kita lakukan dan hanya dari itu kita bisa mengisi kulkas dan membayar tagihan internet dan listrik, kita semakin sering diharuskan mengambil jeda dari membaca.

Soal kemalasan membaca ini, saya punya cerita dengan novel-novel Isabel Allende. Dalam banjir bandang penulis Amerika Latin di perbukuan Indonesia sejak awal 2000an, yang didominasi bapak-bapak dan kakek-kakek yang kebanyakan sudah mati, Allende boleh disebut sebagai satu-satunya nama perempuan—meski kadang nama Mistral juga disebut lamat-lamat. Allende menjadi lebih menonjol (dalam arti mainstream) karena ia nyaris satu-satunya penulis dalam tradisi Latin yang kala itu diterbitkan oleh penerbit besar di Indonesia, dengan pola distribusi yang jauh lebih baik dibanding buku-buku Borges, Marquez, Llosa, Paz, Fuentes, dll. yang kebanyakan diterbitkan secara ketengan dan tersebar dari pameran ke pameran. Entah karena ketenaran Allende di Amerika tak bisa dikonversi di sini, atau penerbit Jakarta itu belum tahu bagaimana memasarkan penulis “realisme magis”, buku-buku Allende sepertinya tidak laku, dan pada satu waktu ia menumpuk di lapak-lapak obralan. Dari orang yang tak terlalu mengenal namanya (yang tak lebih dari salah satu nama saja dalam kumpulan Catatan-Catatan dari Buenos Aires terjemahan Anton Kurnia), saya, juga mungkin kebanyakan para pembaca di Jogja, tiba-tiba saja memiliki hampir semua buku Allende yang beredar di Indonesia.

Dengan sampul yang bagus, dan terjemahan yang lebih bagus lagi (beberapa oleh Ronny Agustinus), sebenarnya mudah menyukai buku-buku Allende dan membabatnya dalam sekali duduk. Toh ia tidak serumit Borges atau segelap Asturias. Tapi, masalahnya justru persis di situ. Sekitar 2015an, saya sedang memikirkan untuk menulis sebuah cerita triller yang gelap sekaligus beralur cepat. Meskipun jauh lebih berhutang pada khazanah sinema, khususnya India, bacaan utama saya saat itu adalah Keluarga Pasqual Duarte-nya Cela, meskipun cukup terbantu juga ketika menemukan Palomino Molero dari Llosa dan Pak Tua-nya Sepulveda. Mungkin karena dua buku yang disebut belakangan, keduanya diterjemahkan oleh Ronny Agustinus, saya tertarik membaca terjemahan Ronny yang lain. Saat itulah saya akhirnya membuka segel Rumah Arwah-nya Allende.

Rumah Arwah jelas karya yang lebih dari sekadar menarik. Ia, saya kira, bisa menjelaskan dengan lebih sederhana apa yang sering secara mbulet dikatakan sebagai realisme magis. Pasti akan sangat menyenangkan membacanya di usia 21, bareng dengan Seratus Tahun Kesunyian dan/atau Sang Alkemis sambil terus mencoba mencerna ulang tulisan-tulisan Nirwan Dewanto di Senjakala Kebudayaan. Sayangnya saat itu saya sudah 35 dan sedang membutuhkan bacaan yang lebih seru dengan alur yang cepat untuk menyelesaikan novel yang sedang saya kerjakan. Saya akhirnya tak sabar, dan memutuskan melompat, membaca dari tengah, ketika cerita sudah sepenuhnya milik Blanca dan Pedro Tercero, dan dari situlah saya menyelesaikan Rumah Arwah. Saya ingin mengulanginya kapan-kapan dari depan, tapi saya tak pernah bisa melakukannya. Saya pikir saya sudah merasa mengerti semua isi novel itu.

Ketika mencoba menebus dengan membaca Putri Keberuntungan, saya malah gagal total. Saya sulit diikat oleh bagian pembukanya, dan ketika melompat ke tengah saya tak kunjung mendapatkan pegangan untuk lanjut. Itulah yang membuat saya bahkan tak berani menyentuh Potret Warna Sepia, meskipun buku itu sudah bertahun-tahun berada di rak. Yang lebih memalukan, ketika saya sedang benar-benar tidak menulis, bahkan tidak ingin membaca, saya malah berhasil menyelesaikan Buku Catatan Maya, novel menye-menye yang mungkin tidak akan diingat oleh para penggemar Allende sendiri.          

Merasa tak akan lagi membaca novel-novelnya, saya memutuskan untuk membeli salah satu memoar Allende. Itu mungkin akan jadi jalan memahami dunia batin Allende dalam cara yang lebih ringkas, pikir saya. Tiba-tiba saja saya sudah mengumpulkan tiga memoarnya.

Rasa bersalah, dan terutama upaya menemukan jalan pintas dalam hal membaca, juga saya berlakukan untuk beberapa penulis lain. Motif inilah yang membuat saya memiliki memoar Salman Rushdie, Hanif Qureishi, Mo Yan, Amin Maalouf, Elie Wiesel, hingga Camus. Dan, sejujurnya, obsesi untuk melengkapi koleksi Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang yang dieditori Pamusuk Eneste, tujuannya tak lain agar saya tak harus membaca karya-karya beberapa penulis Indonesia.

Saya juga melakukan hal yang sama untuk para pengarang yang karyanya mungkin tak akan sempat saya baca atau tak akan saya baca (lagi). Sebut saja Jane Austin, Saul Bellow, Maugham, D.H. Lawrence, Henry James, Hillary Mantel, dan beberapa nama lain lagi.

Dalam motif yang sama saya kira memoar Sidney Sheldon yang ternyata laki-laki itu jadi relevan. Saya sepertinya tak akan membaca novel-novelnya, jadi memoarnya mungkin akan banyak menolong.

***

Meski cukup menghentak di pembuka, yang menceritakan bagaimana Sidney remaja berencana mengakhiri hidupnya di usia 17 dengan mencuri pil tidur satu demi satu di apotek tempat ia bekerja, pada dasarnya ini jelas sebuah cerita sukses. Bangkit dari depresi, memulai karir dari sangat bawah, pelan-pelan masuk ke lingkaran elit Hollywood, bekerja dengan orang-orang beken, makan malam dengan Kirk Douglas dan Judy Garland dan Elizabeth Taylor, mendapatkan Oscar, dan berakhir sebagai nama tenar di kepenulisan populer. Tentu sedikit lebih baik dalam hal penceritaan, juga memberi banyak informasi mengenai Hollywood sebelum PD II hingga sepanjang Perang Dingin (termasuk sekelumit gambaran ketika McCarthy-isme melanda Hollywood), tapi saya kadang merasa sedang mendengar kisah seorang konglomerat Indonesia bercerita masalalunya yang melarat.   

Ditulis dengan ringan, bahkan sangat ringan, cenderung sekadar untuk menghibur. Saya mencari-cari selera humor yang sering disebut-sebut Tuan Sheldon, tapi yang saya temukan kebanyakan adalah jenis humble brag, yang terdengar seperti dialog-dialog di film-film hiburan Hollywood tentang pecundang yang tiba-tiba ngetop. Karena itu, kalimat semacam “Aku sudah tahu aku akan kehilangan pekerjaan” yang kemudian disusul oleh kesuksesan besar dipakai secara berulang.

Tapi yang paling tidak menyenangkan adalah Tuan Sheldon rupanya lebih suka bercerita karirnya di Hollywood, dan hanya menyisakan sangat sedikit ruang tentang karir menulisnya. Dari hampir 500 halaman buku, ia hanya membahas karir menulis novelnya 8 halaman, itu pun ditaruh di bagian paling belakang, yaitu bab “Penutup”. Mungkin karena itu, buku itu ia juduli Sisi Lain Diriku. Masalahnya, saya tak pernah tahu sisi lain Tuan Sheldon. Dan, sepertinya, setelah membaca buku ini, saya tidak tertarik dengan sisi lainnya lagi dari penulisnya.

Mahfud Ikhwan

Comments

  1. Susilo Reply

    Kok bisa gak tahu kalau shidney itu laki-laki…?

  2. Amelia Reply

    mungkin dia ingin kita semua di haruskan untuk menebak sisi lain dari dirinya

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!