
Premis Mencium Tanda Tanya
Semalam julang tusam
Mengirim sinyal perihal musim
Lewat gerimis langit muram
Riciknya mengusik kucing di guttering
Paginya setangkai wijayakusuma
Mulai bertunas antara liana
Dan lidah mertua di sudut beranda
Sebelum fajar beringsut dari jendela
Kira-kira begitulah kausa
Sebuah sajak; dunia
Adalah petir kata-kata
Menyambar benak pembaca
Dan sudah sewajarnya
Jika keindahan bisa mengemuka
Dari sesuatu yang luluh lantak
Serupa ledakan neuron di otak
Atau serpihan kilau spiral kenangan
Yang runyam disimpan sebagai doa
Selamanya bakal baka bergentayangan
Menyatroni insiden muasal trauma
Penyair memandang kolase itu: mimesis
Dalam tangsi pikirannya di luar tangis
Juga sintaksis sebelum sepi menyeka
Napas cemasnya yang mungkin diingatnya
2025
Roman Solo
Akhir pekan adalah kawula muda, gadisku,
Koridor Singosaren mengalun lagu (riuh rindu)
Mengulang dansa itu. Hasrat yang muncul
Dari pinggulmu gemetar juga dalam mimpiku.
Kebahagiaan, barangkali sekadar gelato coklat
Setelah selat solo. Sederhana sejak pertama.
Agaknya, kau dan aku memang kerap melupakannya:
“Kenangan akan tetap bertahan meski pun tak tepat”
Puguh saja. Tuhan begitu toleran menunda saban
Jawaban dalam hidup kita. Marilah kembali
Tegak (sebagai sepasang pendosa yang dibuang
dari surga) tersenyum pada bayang cemas kota ini.
2025
Jalan Padatuan Sei Raden
Di Jalan Padatuan Sei Raden cuma parit
Kebun kelapa dan rumah panggung
Yang berderit
Menggusah kawanan burung
Adakah yang lebih khas dari arus
Merambat pelan ke muara, juga limbah serabut basah
Dalam senyap yang mangkus
Serupa tupai lenyap di balik patahan pelepah
Sementara langit menorehkan warna masak
Daging kuweni, menderu pula angin
Payau dari arah rumpun bakau
Sebelum magrib mengirimkan alun tarhim
Tapi di Jalan Padatuan Sei Raden, selalu
Pelancong yang heboh
Saat buaya melenggang tenang pada arus
Terlanjau terang lampu neon;
Berangkat dan pulang bersemuka
Di simpang muara di seberang rumah panggung itu:
Tempat berlindung dari para mambang
Yang fasih menyaru sebagai tamu
2025
Pasar Jungke, Karanganyar
Subuh belum jauh saat aku kunyah
Sepotong lemper di lapak jajanan basah
Pembeli dan penjual tampak saling senyum
Di luar data statistik perekonomian yang lesu
Aku pun bergeser ke lapak bumbu dasar
Untuk hidangan empal sebagai perjamuan: memasak
Adalah seni kamuflase terbaik, sejumlah kesedihan
Dapat dimanfaatkan saat mengiris bawang
Di sini semua orang punya peran kerja yang seiring
Sama penting: tangan perempuan begitu terampil
Di lapak sayur-mayur, sedangkan tangan lelaki
Begitu trengginas memotong kerasnya tulang-daging
Aku menjadi bagian gemuruh riuh pasar
Menyusuri lorong demi lorong, menyinggahi
Lapak demi lapak seperti seorang kasmaran
Mendekat ke arah yang memerdekakan hati
Dan diam-diam aku pun bergumam lirih
Kepada malaikat Izrail yang mungkin mengawasi:
“Pagi hari ini aku belum mau mati
Tolong maafkan ketidakmengertianku ini”
2025
- Puisi Astrajingga Asmasubrata - 29 April 2025
- Sajak-Sajak Astrajingga Asmasubrata - 26 July 2022
- Sajak-Sajak Astrajingga Asmasubrata - 2 November 2021
Hafsah D. Maulida
Puisi-puisi Astrajingga Asmasubrata itu kerasa banget nuansa reflektifnya, tapi disampaikan dengan cara yang nggak lebay atau terlalu rumit. Gaya bahasanya memang puitis dan penuh makna, tapi masih bisa dinikmati tanpa harus mikir keras. Dia pinter banget nyatuin perasaan pribadi sama hal-hal yang terjadi di sekitar, jadi puisinya terasa dekat dan relate. Nggak cuma enak dibaca, tapi juga bikin mikir—kayak ada lapisan-lapisan makna yang bisa kita gali pelan-pelan. Buat pembaca, ini tuh semacam ruang kontemplasi yang nggak menggurui. Kadang penasaran sama dapur tempat memasak puisi-puisinya itu, sebab masakan puisinya selalu khas dari segi rasa dan plating. Bener-bener penyair underated.
Aziz Bagus Saputra
Puisi ini membuat motivasi bagus untuk menyemangatkan aktifitas