Kronologi Kematian Marilyn Monroe

BERJARAK tak sampai selangkah dari tubuh Tania Marlena dan Adenan Jailani yang tak bernyawa, ingatanku segera melejit pada rangkaian-rangkaian adegan yang belum lama berlalu, tapi rasa-rasanya memang akan sulit lekang dari kenangan.

Pada waktu itu, Tania Marlena, dengan wig blonde dan gaun malam hitam yang terbuka lebar di bagian dada, duduk merokok di ranjang, tersandar di dinding setengah selonjoran. Sebagian jejak make up telah ia hapus: lipstik, eye liner, maskara, perona pipi. Ia juga kemudian mencopot bulu mata dan segala pernik anting, gelang, dan kalung. Asap rokok yang terus ditarik-lepaskannya membubung makin tebal, makin kelabu, menyesaki kamar, menyelimuti poster Marylin Monroe yang tergantung persis di hadapannya. Poster berukuran besar, berbingkai kayu dilapisi plastik kaca.

Tadinya terdapat 13 poster Marilyn Monroe di kamar ini. Poster-poster yang datang dari masa keartisannya yang tidak terlalu panjang; 18 tahun, dan berakhir tragis. Marilyn Monroe ditemukan mati di ranjang dalam kamarnya pada 4 Agustus 1962 lantaran overdosis Barbiturat, obat penenang hipnotik untuk mengatasi gangguan kecemasan.

Sebagian poster ini sudah dialih-tangankan Tania Marlena kepada kawan-kawannya, sebagai sebangsa hadiah–dengan atau tanpa dibungkus kertas kado. Sebagian yang lain ia buang begitu saja, nyaris tanpa alasan, hingga memang hanya menyisakan satu: poster dari film ‘Some Like It Hot’. Marilyn Monroe membintangi film ini bersama Tony Curtis dan Jack Lemmon. Pada poster yang didominasi warna merah menyala, Marilyn yang mengenakan gaun malam hitam yang terbuka lebar di bagian dada, memeluk Curtis dan Lemmon sembari tertawa dan mengerlingkan mata.

“Makin lama saya lihat kalian makin mirip.”

Tania Marlena tersenyum. Kuingat, sepanjang hari ini dia tak banyak tersenyum. Lebih sering murung dan termenung-menung. Bahkan saat di panggung. Jadi, di antara sedikit senyum, memang inilah yang paling tampak seperti senyum. Lepas dan riang dan menegaskan bentuk bibirnya yang bagus. Namun sebentar saja. Sebentar berselang hilang, berganti sebangsa senyum generik yang lazim digunakan untuk sekadar berbasa-basi. Dia merenggut wig blonde di kepalanya lalu melemparkannya ke poster.

“Aku membencinya!”

“Tapi kau membuat dirimu kelihatan seperti dia.”

“Justru itu penyebabnya.”

Penyidikan atas pembunuhan yang terjadi di Paradise, bar kelas menengah di kawasan Kota, membawaku ke kamar Tania Marlena. Malam ini kali yang kedelapan. Berukuran 4×6 meter, kamar Tania Marlena terletak di deret paling ujung, bersisian tangga sektor utara di lantai lima gedung flat yang tidak bisa dibilang elite. Mungkin dulunya elite. Tinggi sembilan lantai, pelataran parkir luas, termasuk dua tingkat di bawah tanah, delapan unit lift, kamera-kamera CCTV. Ada ruang gym, ruang rekreasi dengan empat meja bilyar, dua kantin, satu kafe, dan pos-pos keamanan di tiap lantai. Semuanya masih ada, tapi terkesan kurang terurus. Pos keamanan lebih sering tanpa petugas dan sampah kerap menumpuk, dua sampai tiga hari baru diangkut menggunakan colt sewaan. Toilet umum, yang juga terdapat di tiap lantai, meruapkan pesing. Dengar-dengar, berangkat dari kebijakan efisiensi, pengelola gedung memangkas jumlah karyawan mereka.

Aku dan Adenan Jailani, adik angkatan di sekolah polisi, ditugaskan untuk bergantian melakukan pengawalan dan perlindungan terhadap Tania Marlena. Masing-masing 12 jam. Tania Marlena saksi peristiwa pembunuhan itu. Bukan saksi utama, sebenarnya. Dia tidak melihat langsung pembunuhan yang terjadi. Dia sedang berada di toilet tatkala mendengar suara letusan keras. Meski demikian, seturut keterangannya pada berita acara pemeriksaan, Tania Marlena mengaku tidak dapat meyakini apakah letusan yang didengarnya berasal dari senjata api laras pendek, laras panjang, atau sumber lain seperti petasan, bom Molotov, atau sebangsanya. Pastinya, letusan pertama disusul dua letusan yang sama kerasnya, diikuti teriakan dan jerit-jerit histeris. Saat dia keluar situasi sudah sangat kacau. Orang-orang berlarian dalam kepanikan. Ada yang jatuh tersandung dan berguling menabrak meja. Ada yang tersungkur menghantam mesin pinball. Suara kaca pecah menyela di sana-sini.

Lantas yang keparat, ternyata, tetap saja ada yang mencuri-curi kesempatan mengangkat ponsel dan membidikkan kamera, dan berjarak kurang satu jam saja, sejumlah foto dan video telah berseliweran di media sosial dan mendapatkan ribuan komentar. Juga kemudian di berbagai website dan koran yang menayangkan kabar pembunuhan itu, dan dari sinilah ihwal petaka bagi Tania Marlena. Satu di antara foto yang beredar memampangkan wajahnya dengan jelas. Pun beberapa wajah lain.

Foto ini barangkali akan ditanggapi biasa-biasa saja, bahkan sangat boleh jadi tak menarik perhatian sama sekali, sekiranya tidak datang dari Paradise. Bar ini memang sekedar kelas menengah. Tidak mewah, tidak eksklusif, tapi menyimpan daya tarik yang katakanlah lain daripada yang lain. Saban malam, panggung di Paradise menampilkan atraksi kabaret dengan penari, penyanyi, dan pelakon-pelakon wadam, laki-laki yang berbusana dan berpenampilan seperti perempuan.

Paling istimewa pertunjukan di penghujung pekan. Sabtu dan Minggu, Paradise memanggungkan konser mini dari artis-artis palsu. Semuanya laki-laki. Namun berbeda dari para penampil kabaret, mereka bukan lagi sekadar menyerupai perempuan dalam penampilan.

“Tiga tahun lalu akhirnya aku sampai pada keputusan besar itu. Aku menguras tabungan dan pergi ke Thailand.”

“Wah, berarti sudah berubah, dong, ya?”

“Bapak mau lihat?”

“Anjing! Hahaha .… Tak usah.”

“Kenapa? Aku bisa buktikan supaya Bapak percaya.”

“Saya percaya. Untuk hal ini saya tidak perlu bukti.”

“Yakin tidak mau lihat?”

“Seribu persen yakin!”

“Ah, padahal sekadar melihat, tak perlu membayar, lho.”

“Astaga!”

“Kenapa astaga?”

“Hahaha. Sudahlah. Tidak usah dibahas lagi!”

“Aman kalau begitu, ya?”

“Aman. Tapi memang ada yang masih membuat saya penasaran.”

“Apa itu?”

“Kenapa Marilyn Monroe?”

“Kenapa Marilyn Monroe? Karena dia hebat.”

Hebat? Dalam hal apa? Akting? Mana lebih hebat dari Kathrin Hepburn? Bagaimana dengan Ingrid Bergman? Bette Davis? Atau Elizabeth Taylor, barangkali? Meryl Streep?

Sebagai penyanyi, dari 72 lagu yang pernah dinyanyikannya, baik yang direkam dalam piringan hitam maupun melintas sebagai tema film, tak ada yang betul-betul jadi hits. Kalau pun ada yang sempat menarik perhatian, juga tak seberapa banyak jumlahnya. Sebutlah ‘Diamonds Are a Girl’s Best Friend’, ‘I Wanna Be Loved by You’, ‘Anyone Can See I Love You’, dan ‘River of No Return’, dan memang, lagu-lagu ini yang berulang dilantunkan Tania Marlena di Paradise. Selebihnya, untuk memenuhi kuota durasi tampil, dia justru lebih banyak menyanyikan lagu Madonna, mega star yang di awal-awal masa keartisannya kerap dibanding-bandingkan dengan Marilyn Monroe.

Atas pertanyaan-pertanyaan ini, Tania Marlena mengibaskan tangan. Dia tidak menyinggung soal lagu, tapi film, dan bilangnya, hebat tak hebat bukan diukur dari parameter berapa banyak penghargaan diraih, melainkan sejauh mana kemampuan membuat ingatan tentang adegan hingga melekat lama dalam kepala orang-orang yang menonton.

Argumentasi yang sekilas pintas kuat, padahal sebaliknya. Kukira dia bahkan tak sepenuhnya berkata jujur. Di antara alasan kenapa poster ‘Some Like It Hot’ masih bertahan adalah karena Tania Marlena menyukai film ini. Namun, bukan karena Marilyn Monroe. Dia mengaku, justru lebih tertarik pada Curtis dan Lemmon. Nyaris separuh durasi film, keduanya tampil dalam rupa perempuan. Curtis memerankan Joe, pemain saksofon, sedangkan Lemmon adalah Jerry yang piawai membunyikan double bass. Joe punya nama alias Josephine. Adapun Jerry kerap mengenalkan diri sebagai Daphne.

Mereka terlibat di tengah konflik gangster. Di saat yang sama, mereka sama-sama jatuh dalam pesona Sugar ‘Kane’ Kowalczyk, vokalis band yang diperankan Marilyn Monroe. Namun, bukan poin-poin ini yang membuat Tania Marlena takjub, melainkan karena merasa tiba-tiba sadar, betapa jika berdandan laki-laki juga bisa secantik perempuan.

“Kau belum jawab pertanyaan saya tadi. Kenapa Marilyn Monroe? Kau bilang suka pada Josephine dan Daphne. Jika demikian, kenapa bukan Tony Curtis dan Jack Lemmon?”

“Mereka cantik, tapi bagaimana pun Sugar tetap lebih cantik.”

Ini yang pertama. Alasan kedua, gaya dan penampilan Marilyn Monroe lebih mudah ditiru dan tiap-tiap siapa yang melihat akan langsung mengenali dan ini bagus untuk artis panggung seperti dirinya.

“Alasan ketiga, ayahku.”

“Ayahmu?”

“Dia membenci Marilyn Monroe.”

“Kenapa?”

“Dia penggemar berat JFK, dan sangat percaya pada teori konspirasi yang menyebut kematian Presiden Amerika yang tampan, cemerlang, dan kharismatik itu berkaitan dugaan skandalnya dengan Marilyn Monroe. Happy birthday, mister president .…

“Ya, ya, saya pernah dengar itu, tapi apa hubungannya denganmu?”

“Selagi bisa, aku akan melakukan apa pun yang dia tak suka. Aku puas membayangkan dia tersiksa.”

*

TIGA suara letusan yang didengar Tania Marlena dipastikan berasal dari senjata api laras pendek. Di tempat kejadian perkara ditemukan tiga selongsong peluru jenis the .40 Smith & Wesson. Kemungkinan dilepas dari Glock 22, 23, atau 27. Bisa juga 24 atau 35. Hasil visum menunjukkan dua peluru berdiameter 10 milimeter yang menghantam punggung Suwardi Maladewa, seorang pengusaha minyak dan tambang batubara, menembus dada, sedangkan yang lainnya bersarang di bahu Mira Marcela. Keduanya ditembak dari jarak dekat oleh Marjili Samsuri, pembunuh profesional yang dipekerjakan Laila Habsah, istri Suwardi. Sejauh ini Marjili masih buron, tapi polisi telah menangkap dan menahan Laila.

Saat diperiksa, Laila Habsah mengaku akhirnya menghubungi Marjili Samsuri lantaran cemburu yang sudah tak mampu ia tahan lagi. Laila kerap memergoki Suwardi Maladewa berbalas kontak mesra dan mengirim uang ke sejumlah rekening yang ia duga milik simpanan-simpanan suaminya. Satu nama yang kemudian ia ketahui adalah Mira Marcela, penampil di panggung Paradise yang kerap melantunkan lagu-lagu Cyrine Abdelnour. Bilang Laila, peluru-peluru itu sebenarnya dialamatkan ke Mira Marcela. Namun saat Marjili menodongkan senjata api dan siap melakukan eksekusi, tanpa diduga Suwardi memeluk Mira Marcela untuk melindunginya. Dua peluru itu memutus napas Suwardi. Mira Marcela selamat.

Mestinya kasus berakhir sampai di sini. Semua sudah terang benderang, tinggal melacak keberadaan Marjili Samsuri dan menangkapnya. Kesaksian Marjili kelak akan jadi penentu penting untuk menjatuhkan hukuman kepada Laila Habsah. Apakah akan dikenakan Pasal 55 ayat 1 KUHP; menyuruh melakukan tindak kejahatan atau doenplegen, atau Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, yang diancam dengan pidana mati atau kurungan seumur hidup, atau sekurangnya 20 tahun.

Ternyata tidak. Foto Tania Marlena dan beberapa wajah lain yang terekam kamera ponsel dan dimuat sebagai bagian dari berita pembunuhan di website dan koran, justru melebar jadi kasus lain yang lebih pelik ketimbang pembunuhan itu sendiri.

Sekali lagi, sekiranya tidak datang dari Paradise, barangkali saja foto ini tidak berarti apa-apa. Barangkali akan ditanggapi biasa-biasa saja. Namun, Paradise membuatnya jadi berbeda. Segera setelah foto beredar Tania Marlena menerima serangkaian ancaman. Ia diwanti-wanti untuk diam.

                Awalnya Tania Marlena heran. Terlebih, ancaman-ancaman ini terus ia terima, padahal identitas pembunuh telah terungkap dan otak pembunuhan ditangkap dan sudah pula mulai diadili. Jadi apa lagi yang mesti ia tutupi? Toh ia dimintai keterangan sebagai saksi, sekadar lantaran status sebagai rekan kerja Mira Marcela di Paradise. Tidak kurang tidak lebih. Pertanyaan-pertanyan yang diajukan kepadanya, yang sedikit banyak berkaitan dengan pembunuhan, seingatnya, hanya tiga: (1) Apakah dia mengenal Suwardi Maladewa dan Mira Marcela?; (2) Apakah dia tahu Suwardi Maladewa punya hubungan istimewa dengan Mira Marcela?; dan (3) Apakah dia pernah mendengar orang lain menentang hubungan ini?

Tania Marlena baru sadar, dan oleh karenanya terkesiap, tatkala menerima ancaman yang lebih berterus-terang: ‘jangan sesekali katakan kita pernah berkencan’.

Astaga! Tania Marlena melihat kembali foto itu dan mencoba mengingat wajah-wajah yang terekam di sana. Tidak ada yang familiar. Apakah dia memang pernah berkencan dengan satu di antara mereka? Atau jangan-jangan malah semuanya? Sekadar bersenang-senang untuk melewatkan malam? Sepertinya begitu. Di Paradise, sejumlah rekan kerjanya menerima ajakan untuk berhubungan lebih serius. Entah jadi “pacar”, atau jadi “istri”; diberi rumah atau apartemen, diberi kendaraan, disangu bulanan seperti Mira Marcela. Dia tidak. Dia lebih suka bermain cinta sesaat. Beberapa meninggalkan kesan. Lebih banyak yang tidak, dan barangkali orang-orang di foto ini termasuk di antaranya.

“Bagaimana kalau ternyata pengirim pesan justru tidak ada di foto?”

“Kalau tak ada, kenapa harus repot mengancam segala? Itu, kan, cari-cari perkara namanya?”

“Barangkali dia memang pernah berkencan denganmu dan karenanya khawatir terbawa-bawa. Maksud saya, jika skandal dengan perempuan bisa menghancurkan, apalagi dengan …., ah, maaf, ya. Kau jangan tersinggung.”

“Tak apa, Bapak tak usah minta maaf. Aku maklum, kok. Makanya aku balas pesan itu. Kubilang, kupastikan dengan sungguh-sungguh, bahwa sekiranya pun memang ada rahasia, akan rapat-rapat kujaga. Kuharap aku tidak diancam-ancam lagi.”

Namun ancaman tak berhenti. Malah datang kian bertubi. Tidak lagi hanya berupa pesan gelap ke nomor telepon selularnya. Tania Marlena kerap merasa dikuntit, merasa diteror. Kamarnya pernah dibobol dan diobrak-abrik. Pada poster ‘Some Like It Hot’, persis di bagian mata Marilyn Monroe, ditempel selotip hitam hingga tampak seperti blok yang biasa digunakan untuk menyamarkan wajah pelaku kriminal. Ia bahkan menerima ancaman saat sedang di panggung, menyelinap lewat kertas request lagu.

“Bapak tidak lapar?”

Pertanyaan tiba-tiba Tania Marlena membelokkan arah percakapan kami. Sudah lima menit lepas tengah malam, ternyata. Lima menit lewat pergantian shift. Ke mana Adenan Jailani? Mestinya dia sudah di sini.

“Kita beli makan, yuk.”

“Boleh, tapi saya saja yang beli. Kau tunggu di sini.”

 Tania Marlena menurut. Aku mencatat pesanannya: nasi goreng ayam (dengan sedikit kecap) + jus jeruk mix belimbing (dengan sedikit gula dan sedikit es). Juga sebungkus rokok. Sebelum meninggalkan kamar, aku minta dia menutup pintu rapat-rapat, memasang kunci ganda, dan tidak membukanya untuk siapa pun, kecuali kami berdua. Kusodorkan pistol cadanganku kepadanya.

“Untuk jaga-jaga.”

Aku bertemu Adenan Jailani di lift. Kelihatan kusut sekali. Tak biasa, tak ada senyum sedikit pun di wajahnya. Saat melihatku, dia seperti hendak menyampaikan sesuatu.

“Aku mau beli makan untuk Marilyn Monroe. Kau pesan apa?”

Sebelum pintu lift tertutup, kudengar Adenan Jailani meminta mi kuah kepiting dan es teh manis. Juga sebungkus rokok.

Lift bergerak, mengantarkan enam orang yang barangkali penghuni kamar-kamar flat di lantai atas. Eh, mi kuah kepiting? Seorang laki-laki dan dua perempuan turun di lantai tujuh. Aku menghambur keluar, berbelok ke tangga sektor selatan, menuruninya dengan setengah melompat lalu berlari sepanjang koridor. Ya, Tuhan! Adenan Jailani alergi terhadap hampir semua makanan laut. Terutama kepiting. Tiap kali makan kepiting bibirnya akan bengkak dan sekujur tubuhnya gatal berbintik merah. Kadar gula darah yang tidak stabil juga membuatnya menghindari segala yang manis-manis, dan seingatku, sudah lebih setahun dia lepas dari rokok.

*

DUA menit, sangat mungkin kurang, tapi tetap tak cukup cepat. Saat aku tiba kamar Tania Marlena sudah terbuka. Adenan Jailani terkapar dengan tiga lubang di dada, tak jauh dari pintu, tak jauh dari sebilah pisau berlumur darah. Di ranjang, Tania Marlena tersandar setengah selonjoran. Tangannya menggenggam pistol. Asap tipis masih mengepul dari ujung laras pistol itu. Kepalanya terkulai. Darah membasahi seprei dari luka di dada kiri, di pinggang, di pundak kanan. Ada luka juga di lehernya. Luka sayat yang masih mencipratkan darah di dinding.

Lalu terdengar dering nyaring. Ponsel Adenan Jailani. Kuambil segera dari kantong celananya. Pada layarnya terpampang sederet angka yang tak tercatat, tapi rasa-rasanya tidak terlalu asing. Dan ternyata memang sama sekali tak asing. Nomor yang sama tercatat di ponselku juga. Lewat nomor ini, aku pernah menerima dan menjalankan sejumlah perintah.

Lalu orang-orang berdatangan. Ada yang menggumam. Ada yang terpekik tertahan. Dari kejauhan suara sirene bersahutan.

Medan, 2025

T Agus Khaidir
Latest posts by T Agus Khaidir (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!