Teori Muslihat Jalal Capitol

TERSEBAB perangai kami yang tak sabaran, di kota kecil ini, berbagai gagasan dan rencana nyaris selalu dapat diwujudkan dalam tempo singkat. Perkara bagaimana hasilnya, seperti apa kualitasnya; baik atau buruk, memuaskan atau tidak, urusan belakangan. Terpenting cepat saja. Selesai dulu. Kecuali satu. Kami pernah berencana mendirikan patung Jalal Capitol, tapi sejak gagasannya pertama kali muncul di awal masa pemerintahan presiden kelima, sampai hari ini tak kunjung ada realisasinya. Padahal desain patung ini sudah lama rampung dibuat. Tanah pertapakan tersedia. Pun dananya. Sejumlah orang yang merasa pernah berutang budi pada Jalal, pernah terbantu, baik sengaja maupun tidak, sepakat melakukan urunan, yang setelah dihitung-hitung jumlahnya akan lebih dari sekadar cukup untuk membuat patung berlapis emas.

Jalal Capitol ditemukan mati di perigi masjid selepas subuh pada 21 Mei 1998, kurang lebih lima jam sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran diri sebagai presiden. Waktu itu usianya 23, dan kami, dengan hati riang, beranggapan dia mendapatkan husnul khatimah–mati yang baik di akhirnya: terpeleset dan kepalanya terbentur ubin saat hendak berwudu.

Ternyata tidak. Selang sehari terkuak fakta sebenarnya. Jalal memang terpeleset dan benturan keras mengakibatkan tengkorak bagian belakang kepalanya remuk. Namun, Jalal ke perigi bukan untuk berwudu, melainkan hendak memuntahkan paksa isi perut agar rasa mual dan denyut di kepalanya sedikit berkurang. Sebelum menemukan tubuh Jalal terkapar, marbot yang sedang beres-beres masjid sempat mendengar setidaknya tiga kali suara ‘hoek’ yang sangat keras.

Beberapa jam sebelumnya, saksi lain mengaku melihat dia menegak miras oplosan dan berteko-teko tuak campur durian di lapo samping terminal bersama orang-orang yang memang dikenal sebagai peminum kelas berat. Peminum-peminum yang memegang prinsip pantang pulang sebelum tumbang. Mereka bilang, Jalal membayar minuman berikut semua tambulnya; kacang garing, kerupuk kulit, telur tumis orak-arik, ayam semur, rendang daging, dan berpuluh tusuk sate lilit dan sate kerang.

Dari sini cerita sedikit melebar. Mengemuka pertanyaan, bagaimana Jalal mendapatkan uang demikian banyak? Dua versi dugaan mencuat. Pertama berkaitan dengan judi bola. Jalal sangat menyukai sepak bola. Namun lain dari kelaziman, ia tidak punya klub favorit. Tidak di Inggris, tidak di Italia, Spanyol, Jerman, Prancis, Belanda, Portugal, Turki, apalagi di negeri ini. Sebaliknya Jalal mendukung klub mana pun yang potensial membuat dia mendapatkan uang, tak terkecuali di liga-liga kecil di Eropa Timur dan Amerika Utara. Akhir pekan itu, Sabtu, 16 Mei 1998, Arsenal menghadapi Newcastle United di Final Piala FA. Pasar taruhan memberi Newcastle voor ¾, dan para pengusung versi dugaan ini mengatakan di hari pertandingan tersebut mereka melihat Jalal mengenakan kostum KW Arsenal bertuliskan ‘Anelka’ di bagian punggung. Arsenal menang 2-0.

Versi lain menyebut dia menjual barang jarahan. Pada hari-hari di pekan serba mencekam itu Jalal memang terlibat beragam aksi penjarahan, dari yang sporadis sampai yang terorganisir dan sistematis. Ia bahkan pernah menyewa pikap untuk mengangkut kulkas tiga pintu, mesin cuci, dan perangkat parabola.

Walau mengecewakan, bagi kami kesaksian ini sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan. Kami sangat mengenal Jalal. Dia lahir dan besar di kota kecil ini. Menikah di sini, bercerai juga di sini. Pernikahan pertamanya yang singkat berakhir tanpa keturunan, sedangkan dari pernikahan kedua lahir anak perempuan yang kemudian dibawa pergi sang mantan istri. Hak asuh lepas dari Jalal. Ia gagal meyakinkan hakim pengadilan agama bahwa kelak nafkah anak ini dapat terpenuhi.

Atas keputusan ini Jalal sempat mengajukan banding. Dia tengik dan bajingan, tapi bukan penganggur. Saat menjalani sidang perceraian itu Jalal bekerja di dua tempat sekaligus. Pagi sampai sore di bengkel bubut Marjili Samsuri, dilanjutkan membantu-bantu di President Theater, satu-satunya bioskop yang tersisa kala itu, yang bertahan hidup antara lain dengan memutar film-film cabul. Kadang ia ikut memasangkan lukisan poster, menjual karcis, atau menjaga pintu. Kadang-kadang ia juga membantu menjemput dan mengantarkan roll film tatkala kurir berhalangan.

Bioskop President sebelumnya bernama Capitol, dan alih-alih ‘President’, Jalal lebih memilih menyematkan ‘Capitol’ di belakang namanya. Jalal selalu punya cerita untuk apa saja. Tak terkecuali ini. Bilang Jalal, Capitol adalah sejarah dirinya.

Satu malam di akhir tahun 1973 Capitol memutar film India. Kursi terisi penuh di tiap show. Bahkan hingga tengah malam. Usai menonton seorang laki-laki mendaku dirinya Rajesh Khanna dan di saat bersamaan seorang perempuan berangan jadi Dimple Kapadia. Persis adegan dalam film itu mereka kemudian bertatapan tak sengaja dan sekonyong-konyong merasa saling jatuh cinta. Mereka berpacaran sebentar lalu menikah, dan 18 bulan setelahnya lahir bayi yang diberi nama Bobby Braganza. Lantaran kerap demam, mimisan, dan kejang-kejang, pada ulang tahunnya yang ketiga, berangkat dari nasihat orang pintar, nama Bobby Braganza diganti Abdul Jalal.

“Di belahan dunia lain orang-orang mengenal Bobby Kennedy, Bobby Fisher, juga Bobby Robson, tapi di film itu, Bobby justru perempuan. Untung saja ayah dan emakku cepat sadar dan menggantinya. Tak bisa kubayangkan kalau sampai tua aku tetap menyandang nama itu,” katanya.

*

SEBELUM membubut dan membantu-bantu di bioskop, Jalal melakoni pekerjaan sebagai Tukang Koyok. Ia beredar dari tanah lapang yang satu ke yang lain menawarkan berbagai produk obat lewat pertunjukan tipu-tipu. Tentu saja obatnya juga tipu-tipu. Obat bisul, jerawat batu, panu, kadas, kurap, sampai yang rada-rada gawat macam rematik, diabetes, atau lemah syahwat, hampir tidak berbeda. Kadang kapsul kadang tablet kadang puyer, dengan bentuk dan warna yang kurang lebih sama belaka.

Saat jadi tukang koyok inilah Jalal mempelajari berbagai macam tipu daya yang kelak ia susun sebagai teori yang mengatasnamakan dirinya. Teori Muslihat Jalal Capitol. Teori yang disusunnya dalam kepala, yang dicecarkannya (sering kali dengan nada menggurui) kepada entah berapa banyak orang dalam entah berapa banyak kesempatan sampai ia ditemukan mati di perigi masjid selepas subuh pada 21 Mei 1998, kurang lebih lima jam sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran diri sebagai presiden.

Jalal sadar betul orang-orang yang datang menonton pertunjukannya tak bodoh dan mudah ditipu. Ia paham betapa segala ular yang melata mendesis-desis, segala pedang yang ia telan atau pisau yang disayatnya ke nadi tangan tanpa meninggalkan luka, atau bahkan gambar-gambar telanjang Jenna Jameson dan Asia Carrera, hanya daya tarik sementara. Mereka akan pergi begitu pertunjukan usai. Maka memang tiada jalan lain. Agar dagangannya laku, Jalal perlu mengasah diri. Ia harus lebih piawai berbicara dan konsisten menunjukkan gestur meyakinkan.

Susu kucing ada delapan susu perawan ada di depan, ini obat bukan sembarang ini obat mustajab dari ramuan. Diminum di mana punya tenggorokan dioles di mana punya badan digosok di mana punya barang ….

Yeah!

Tahun 1996, ketika sebenarnya ia sudah hampir meninggalkan pekerjaan ini, Jalal menemukan satu teori muslihat yang dianggapnya terbaik: interpersonal deception theory atawa teori penipuan antar pribadi, digagas David Buller dan Judee Burgon, dua pakar komunikasi dari Universitas Arizona, Amerika Serikat.

Teori ini memapar detail segala sesuatu tentang muslihat; bagaimana ciri dan bentuknya; bagaimana situasi ketika upaya penipuan sedang berlangsung; bagaimana reaksi pihak yang jadi sasaran penipuan, dan Jalal, kemudian menyusun antitesisnya. Ia mengenali ciri, bentuk, dan situasinya, lantas mengidentifikasi masalah dan meracik “obatnya”: bagaimana agar muslihat yang dilakukannya tidak terdeteksi, atau sekiranya pun terdeteksi tak sampai berakibat fatal. Sampai saat ia ditemukan mati di perigi masjid selepas subuh pada 21 Mei 1998, kurang lebih empat jam sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden, Jalal Capitol telah melakukan puluhan muslihat yang canggih dan aduhai, dan tentunya sukses.

Satu di antara muslihat ini, yang boleh dibilang paling masyhur, adalah bagaimana ia menjual empat ekor ayam kepada wali kota. Sekadar ayam biasa yang bisa dibeli di sembarang pasar lalu dibawa pulang untuk dilepas di kebun atau dimasak dengan bumbu opor atau semur atau digoreng tepung belaka tanpa mengikuti resep yang sampai hari ini masih dirahasiakan keturunan Kolonel Sanders. Namun, ayam-ayam yang diberi nama John, Paul, George, dan Ringo, ini mendadak terkenal dan meroket harganya setelah Jalal bercerita ke sana kemari, menyebutkan bahwa Munawar Tawakal, pemilik terdahulu yang masih terhitung pamannya dari sebelah ibu, mengaku menonton konser terakhir The Beatles di atas gedung Apple Corps, London, pada 30 Januari 1969, dan mendapatkan jaket yang ditandatangani John Lennon dan tiga personel lainnya, dan ayam-ayam itu berulang kali memberakinya.

Wali kota terpesona dan tertarik membelinya untuk dijadikan koleksi. Konon bagi wali kota, empat ekor ayam kurang ajar yang berani memberaki jaket John Lennon sangatlah istimewa. Utusan wali kota mendatangi Jalal. Tawar-menawar terjadi dan harga disepakati. Desas-desus menyebut jumlahnya cukup untuk menebus satu unit Kijang plat toko—sudah dibayarkan separuhnya sebagai persekot tanda jadi. Namun sesaat sebelum diantarkan ke rumah wali kota, keempat ayam justru mati berbarengan. Kepada wartawan yang berbondong datang mewawancarai, Jalal mengaku pada malam sebelumnya dia bermimpi didatangi Paul McCartney.

“Pak Paul bilang sama saya kalau ayam-ayamnya jangan dijual. Pak Paul tak rela karena Pak Wali sebenarnya penggemar Elvis Presley,” katanya.

*

KURANG lebih setahun setelah kematiannya yang menjengkelkan, kami mulai menyadari betapa segala ocehan Jalal Capitol sangat berguna. Kami mempraktikkan teori-teorinya tiap kali merasa sedang berhadapan dengan orang-orang mencurigakan. Memulainya dari mata mereka. Apakah bergerak liar? Apakah kedipannya normal, atau tak berkedip selama beberapa detik, atau justru berulang kali memejam? Apakah tatapannya kosong menerawang? Tiap-tiap gelagat, bilang Jalal, walau merujuk pada makna-makna berbeda, akan selalu mengandung kegelisahan, atau kecemasan, atau sekaligus keduanya.

Atas petunjuk Jalal, kami tahu apa yang harus dilakukan. Namun, jika belum terlalu yakin kami bergeser ke mimik muka, ke sikap dan gestur tubuh. Kami tidak pernah lupa bagaimana cara Jalal Capitol mendeteksi penipu hanya lewat bibir dan lidah mereka. Saat penipu membasahi bibir dengan lidah mereka, kata dia, yang bersangkutan pada dasarnya tidak sedang merasakan bibirnya kering, melainkan sebangsa upaya meyakinkan diri bahwa tipu daya yang sedang dilancarkannya tidak dapat ditangkap oleh orang-orang yang sedang jadi sasaran.

Parameter lain adalah intonasi suara. Persisnya, perubahan pada nada suara kala berbicara. Apakah meninggi atau jadi lebih rendah, atau malah tergagap atau berjeda?

Sampai di sini penipu-penipu amatir biasanya akan terkejut lalu menyingkir malu-malu. Namun, ada kalanya kami berhadapan dengan penipu ulung yang lebih piawai mengendalikan ekspresi. Sorot mata, mimik wajah, gestur, intonasi suara, semuanya biasa-biasa saja. Dalam situasi begini, kami lagi-lagi akan kembali, dan berpegang sepenuhnya pada Teori Muslihat Jalal Capitol. Bilang Jalal, jangan biarkan mereka berlama-lama merasa berada di atas angin, cari momentum yang pas lalu lontarkan pertanyaan mendadak atau belokkan percakapan tanpa aba-aba. Kejutan begini akan membuat mereka kehilangan kontrol atas kenyamanan untuk mempertahankan cerita atau klaim atau argumentasi palsunya.

Begitulah, Teori Muslihat Jalal Capitol mustajab menghindarkan kami dari segala macam goda dan jebakan kawanan penipu. Tak terkecuali para politisi pemburu suara dalam pemilu. Kami selamat dan merasa berbahagia, dan kurang lebih dari sinilah ide mendirikan patungnya bermula. Sepanjang bisa kuingat, di awal-awal rencana mengemuka perdebatan sengit sempat meletup. Sebagian menganggap, atas jasanya Jalal pantas mendapatkan penghormatan. Sebagian yang lain menilainya terlalu berlebihan. Sebagian memang masih mengingat kelakuan-kelakuannya yang serba menjengkelkan. Dan sampai hari ini, kami memang belum membuat keputusan.

Medan, 2024

T Agus Khaidir
Latest posts by T Agus Khaidir (see all)

Comments

  1. Rivaldo Ahsan shaatir Ibrahim Reply

    Ceritanya mantap sekali

  2. Wahyu Reply

    Keren. Jalal Capitol benar-benar sosok fenomenal.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!