Mencumbu Josh

pinterest.com

Joanna tahu, dia kotor. Jadilah baju berjatuhan, serampangan, berceceran di lantai. Lantas ia memasang diri, diguyur dingin. Memejam. Pukul dua malam, air menyucikan raga, menyapu kenangan dan membuangnya lewat lubang di lantai.

Badannya menggigil saat cokelat hangat meluncur di kerongkongan. Ia menarik napas sebelum menyeruputnya dua kali.

Rasa cokelat menggelitik, memekarkan senyum yang entah kapan memudar waktu matahari terik.

Hangat merambat. Joanna jadi ingat cangkir lain di rak. Seketika ia berandai, bila seseorang mengisinya, lalu duduk di seberang meja. Bagaimana rasanya?

Entah. Joanna lupa pertanyaan itu ketika pagi tidak lagi buta. Tapi ia ingat: gelas dan piring yang masih berhias saus tomat di atas meja, gantungan baju kotor di belakang pintu, handuk bekas mandi di pintu lemari, juga lembar-lembar kertas penelitian di atas ranjang. Berantakan.

Gadis itu selesai bersiap, memakai sandal jepit warna putih. Warung di pojok gang rutin dikunjungi tiap pagi. Pemiliknya sudah hafal, roti dan mi instan yang akan dibawanya pulang.

Orang setuju kalau Joanna ayu. Ia tidak peduli sampai beberapa pejalan kaki mencuri-curi, wajah pucatnya dinikmati.

Kotor. Vulgar.

Ia benci!

Menunduk. Lalu mulai menghitung kerikil jalan.

Pikirnya ia terancam. Sebanyak mata itu tengah menelanjanginya, menjadikannya objek kepuasan. Sontak jemarinya mengepal, kecurigaan menyulut ketakutan. Suara tawa bocah-bocah SD yang berjalan di depan mengubah wujud menjadi cacian. Ia kacau.

Joanna tidak bertahan, memaksa kaki setengah berlari. Jantung berdebar, napasnya mengejar. Lagi, kaus abu-abunya basah menyerap keringat. Tangannya gemetaran meraih besi gerbang, cepat menggerak-gerakkannya atas-bawah. Bunyi besi bergesekan mencabik-cabik dadanya. Bola matanya berkaca-kaca.

Tepat sepuluh detik kemudian gerbang berhasil dibuka. Joanna selamat.

***

Penyendiri. Pecundang. Masih ada lainnya yang Joanna tidak berhasrat ingat. Hidup sebagai bayangan tidak menarik, gadis ini mestinya punya hati selapang ladang ilalang. Kenyataannya, sepi mengambil alih.

Tidak ada yang asing. Tempat duduk di bawah pohon besar, lalu-lalang mahasiswa, dan bekas gedung jurusan yang telah runtuh. Justru perempuan ini makin hari menjadi sosok yang lebih asing. Walau untuk jiwanya sendiri.

Di dalam ia remuk.

Sekali pernah ia tulis “aku di sini, temukan aku!” di dinding kontrakan.

Saat itu siang masih dirajai matahari. Suara berisik dan tawa penghuni kontrakan berseliweran masuk telinga. Hanya kalbunya yang hampa, ingin Joanna teriak meminta sedikit penghiburan dan simpati, tapi ia urung di diam yang mengakrabi.

Sampai sekarang, tulisan itu jadi lukisan misteri yang seorang pun tidak mengetahui; sebab tidak ada selain Joanna yang duduk, tidur, dan menghirup udara pengap kamar itu.

Namun dua hari lalu, seseorang mengetuk pintu. Mengajaknya, mengiringnya berjalan ke bangku taman. Di bawah beringin besar ia membuat pengakuan.

“Joa,” panggilnya pelan. Sementara yang disebut hanya menunduk, menghanyutkan diri pada barisan semut. “Hiduplah denganku,” pintanya.

Joanna terperanjat, mencari mata itu lalu berhenti di dua titik. “Josh….”

Sesaat kemudian Joanna sungguh ingin tertawa. Lelucon ini membangkitkan nyawa humornya yang sudah mati. Gadis yang hidup tanpa keinginan, tidak menyukai apa pun, bahkan tidak bisa memercayai siapa pun.

Kau lihat? Wajahnya selalu pucat. Kurang makan. Kurang tidur. Melintasi hari seberat menapaki satu lintang, satu bujur.

“Apa kau gila?” Joanna nyaris mencetuskannya.

Josh meremas jari-jari miliknya, menelan ludah. Raut muka itu, gelisah dan bingung. Beberapa kali ia melirik. Joanna jadi menduga, mungkin Josh menyesali ajakannya.

“Aku…,” Josh mengembus napas sejenak, “serius,” sambungnya. Halus.

Joanna waspada. Matanya terus menyelidik barangkali ia temukan garis kebohongan di wajah lelaki itu. Sayangnya, mimik wajah Josh terlihat polos.

“Aku lebih tua dari kamu. Bahkan 2 tahun Josh.”

Josh menutup matanya dua detik. “Aku menyukaimu… hiduplah denganku… Joa.”

Sunyi bergidik dibelai angin. Menerbangkan hening yang berpilin. Ini yang tersisa, pengakuan dari pemegang rahasia. Ketika sebuah kotak rahasia akan dibuka, si pemburu mesti merebut kunci dari tuannya. Dan Joanna, ia pemiliknya.

“Aku hidup dalam kardus,” akhirnya Joanna mengaku.

“Maksudmu?” Josh mengernyit tidak mengerti.

Joanna bersiap, menggenggam kaleng susu yang sudah kosong. “Aku hidup menyendiri. Selalu sembunyi. Bahkan jika aku tidak ke luar berminggu-minggu, tidak ada….” Kalimatnya terputus. Ia butuh penguatan diri. “Yang akan mencariku….” Bola matanya mulai merah. “Bahkan mungkin… jika aku mati,” nadanya melirih.

***

Sudah jelas, Joanna menolak hidup bersama. Tapi Josh semringah. Rambutnya ditata. Poninya diangkat menyibak kening yang agak berkeringat. Sesuai yang diangankan, jas biru tua dengan pasangan kemeja, pagi ini dia pengantinnya.

Josh sudah melihat gadisnya. Sungguh, tidak salah ia memilih. Wajahnya, tubuhnya, semua tercipta indah.

Jakunnya naik turun, menelan ludah ke sekian kali. Telapaknya berkeringat, kadang saling mengusap kedua belahnya.

“Kamu gugup, Sayang?”

Josh tersipu. Mengangguk pelan lalu diberi pelukan. Usianya baru 22 di ujung Desember nanti, tapi perempuan ini akan melepas sang buah hati. Ia berkali-kali memeriksa Josh, mengusap-usap lengannya, merapikan jasnya.

Melirik sekilas ke kanan, Josh menangkap Joanna berdiri menatapnya.

“Aku nggak bisa hidup dengan orang lain,” kata Joanna datar, waktu itu.

“Kenapa? Kamu nggak ingin aku, Joa?” tanya Josh menggali harap.

“Kita beda, Josh.” Alasan klasik.

“Kita nggak mungkin sama.” Sanggahan ini jelas benar.

“Aku akan menyakiti kamu, Josh, aku mohon,” suaranya melemah. Matanya tidak lagi bersembunyi. Mereka menatap lekat milik Josh. “Aku nggak normal,” ucapnya seraya menggeleng.

Josh menggigit bibir. Jarinya cepat meraih gelas, meneguk habis isinya. Lima menit lagi akad dimulai.

***

Waktu berlalu sejak hari pernikahan. Putaran roda berhenti setelah menemukan yang ia kenali. Ragu menyeruak, memerintahkan Josh untuk segera mengayuh sepeda, pergi sejauhnya.

Tapi, “Aku kangen kamu, Joa.”

Joanna ulet membuka bungkus roti. Ia belum berani melihat Josh. “Setelah menikah, kamu senang?” tanyanya kemudian.

“Em,” balas Josh. Tangan kanannya mengambil bungkus plastik yang ditelantarkan Joanna. ”Lalu, gimana dengan kamu?” Jemari Josh berkarya mulai melipat plastik.

“Nggak ada yang berubah. Hidupku masih sama,” jawabnya diselingi mengunyah. Santai.

Josh tercengang. Masih sama?

Bukan sekali hatinya patah. Joanna, tahukah dia seberapa gilanya Josh hari-hari ini? Bahkan detik ini, betapa inginnya ia melanggar batas. Garis abstrak yang menjadi pemisah sempurna.

Joanna pembohong. Josh sudah meneliti dengan baik. Gerak tubuhnya, mimik wajahnya, bahkan tatap matanya; Josh yakin Joanna menyenanginya.

“Pernahkah sekali, kamu menginginkanku?” Josh perlu sebuah konfirmasi.

Joanna kekeh tutup mulut. Malah memasukkan buku-buku ke dalam ransel. Itu cukup menggilas hati Josh. Ia membuang napas. Membuka topi, menyisir rambutnya dengan jemari, menggigit lidahnya tidak percaya.

“Kamu sangat menginginkanku?” perempuan itu akhirnya bertanya.

Josh memburu sepasang bola mata yang menunggu. Lingkar itu, bulu mata itu, pipi, hidung, dan bibirnya; makin membuat Josh frustrasi.

Ah, entahlah!

Josh bangun dari duduknya. Mencondongkan tubuh, meraih dagu Joanna. Begitu cepat, sampai bibir merah bertemu miliknya. Menciumnya lembut. Melupakan detik yang terus bersambut.

Tubuh Josh membentur batang pohon di belakang. Perih, pada siku yang tergores kayu. Joanna berlalu, berlari, usai mendorong penciumnya. Josh hanya memandangnya menjauh. Terpaku.

Josh benar-benar ceroboh. Dia nyaris membunuh Joanna. Perempuan itu meringkuk di samping closet. Tersedu-sedu, sesak, berat, ketakutan. Mengubur kepalanya menyandar kedua lutut. Alam bawah sadar menggerakkan jari-jarinya, mencakar lengan dengan kuku.

Pikirannya terus mengulang-ulang rekaman memori menjijikkan.

Ia mencengkeram kancing-kancing baju. Melepas secepatnya. Melempar pakaiannya ke dinding. Mereka jatuh segera bergeletakan.

Air terus mengalir dan Joanna terus memejam. Menghalau air mata. Ia merasakan laju tiap mili aliran yang bersambungan. Irama percikan air yang terlempar dari tubuh menjadi penenang jerit hatinya.

Samar-samar Josh muncul di pikirannya. Lalu ia mengabaikannya.

***

Josh tidak salah.

Ia bersikeras tidak akan minta maaf. Makanya ia langsung mengambil posisi, duduk menyilang di dekat meja kecil. Pandangannya menyebar seisi ruang tamu sempit tanpa kursi.

Josh bukannya santai. Jantungnya mendetak cepat. Menanti-nanti tuan rumah memberi reaksi. Sekaleng kopi disuguhkan, ditaruh di depan Josh. Tangannya langsung menjamah.

“Kontrakanmu, nyaman,” ucap Josh basa-basi.

Joanna mengangguk. Josh membuka kaleng lantas meneguknya. Gugup. Sesekali menatap ke luar daun pintu yang terbuka. Sementara handphone-nya terus berdering, ia matikan segera.

“Em… aku nggak lihat kamu di kampus,” Josh mulai serius.

“Karena aku takut.”

“Takut?”

“Em. Takut bertemu denganmu.”

Josh bengong sebentar. Lalu minum lagi. “Soal ciuman itu, aku punya hak,” klaimnya.

“Kita sudah sepakat. Kamu melanggar. Aku benci,” tegas Joanna.

“Tapi Joa, kita seperti asing jadinya.”

“Awalnya pun kita asing.”

Josh belum mundur. Segudang alasan ia lontarkan menghadapi Joanna. Perempuan ini keras kepala.

Josh menutup pintu. Suara motor tetangga merusak konsentrasinya.

“Lalu kamu mau apa sekarang?” tanya Josh setelah duduk kembali.

“Aku… ingin menyerah,” Joanna tertunduk. “Kamu nggak mengenalku, Josh.”

“Joa, kamu harus membiarkan aku mengenalmu, aku….” Bibirnya digigit seperti kebiasaan saat pikirannya mulai ruwet. “Kamu nggak balas pesanku. Kamu nggak berusaha menemuiku. Kamu… kamu, Joa, yang menghalangiku mengenalmu,” protesnya dengan suara lemah.

“Kalau kamu mengenalku, kamu akan menyesal, Josh.”

Josh memandang muka layu Joanna. Kedipan mata sayunya seolah mencitrakan bahwa perempuan ini sungguh ingin menyerah.

Tapi tidak dengan Josh. Ada harga mahal yang telah ia tinggalkan untuk lompat ke dalam jurang. Jurang yang di dasarnya mengalir sebuah sungai. Ia dan Joanna tengah tenggelam di dalamnya. Walau kepayahan ia berusaha berenang.

“Pelecehan seksual,” Joanna berani mengaku.

Josh membeku. Pikirannya tiba-tiba kosong. Menyaksikan air mata Joanna yang tumpah.

Ia mengedip, hatinya ingin ia mendekat, memberi pelukan, menepuk punggungnya, memberitahunya, “tidak apa Joa.” Tapi tubuhnya menolak. Membiarkan sunyi mengalungkan diri di lehernya. Memanjakan Josh dengan kehampaan yang rentan.

***

Apartemen kecil menyambut Josh. Mengarahkan kelelahannya ke ranjang. Membalutnya dengan selimut tebal. Seolah waktu memutar diri, pikirannya selalu kembali ke kontrakan Joanna.

“Rangga melakukannya. Saat umurku 11 tahun. Berkali-kali sampai lulus SMP.”

Sakit. Josh mencengkeram bantal, mendekapnya di dada.

“Kamu tahu, Josh, kenapa aku mengunci diri?” Joanna tertawa kecil. “Rangga yang menghidupiku. Dia yang mengirimku uang, menyewa kontrakan ini, membelikan makan, semua yang aku pakai; dia yang menghasilkannya. Aku tidak bisa protes dengan perlakuannya.” Joanna terisak. “Dulu aku benci Rangga. Tapi nggak lagi, aku lebih benci diriku sendiri.”

Josh menangis juga. Hatinya teriris. Suara tangisnya bergaung di telinga. Ruang hening yang dingin ini memantulkannya kembali.

Menyumpahi? Mengutuk? Josh sudah melakukannya sejak tadi.

Rangga, laki-laki itu datang ke pernikahannya 2 minggu lalu. Josh bahkan malu-malu menyalaminya, merangkulnya, juga tersenyum cerah saat foto bersama. Ia mengangguk dan mengiyakan petuah-petuahnya.

“Jaga Joanna baik-baik, ya. Dia agak keras kepala dan sulit bergaul. Tapi dia adik yang baik untukku, dia juga akan jadi istri yang baik untukmu Josh,” pesan laki-laki 30-an tahun itu. Penipu!

Belum selesai Josh menangisi Joanna, seseorang datang membunyikan bel. Lebih dari tiga kali, memaksa badan lesu Josh merangkak turun dari ranjang.

Pintu dibuka.

Seorang pria yang terlihat lebih tua dari Josh berdiri tegap. Celana jeans robek di lutut, kaus putih dilapis jaket hitam yang menutupi jari, di kepalanya terpasang topi hitam yang panjang tali belakangnya. Tampilan menarik.

Tapi, kedua telapaknya mengepal kuat. Air mukanya marah. Matanya merah. Bahkan wajah setampan itu bisa terlihat seseram ini, pikir Josh. Dendam apa yang membawanya, Josh sudah bisa mengira. Apalagi yang mau Josh takuti, saat dalam dirinya lebih rumit dari situasi ini.

Josh lemah punya kemarahannya sendiri. Tidak menghiraukan emosi pria itu, ia segera memeluk badan tamunya. Mengubur kepalanya mencari perlindungan.

“Josh…,” panggil suara berat itu.

***

Setengah diri Joanna lega, setengahnya lagi sedih. Atau sebenarnya pembagiannya bukan 50:50. Sebab ia mulai merasa takut. Takut Josh meninggalkannya.

Laki-laki itu menyanggupi untuk hidup terpisah. Kesepakatan langka yang bisa diterima. Seberapa kuat Josh bertahan, Joanna tidak bisa mengira-ngira.

Hari-hari Joanna seperti mimpi. Bergulir tanpa kehendak, melaju tanpa kesadaran. Namun Josh membangunkannya, mengganggu kenyamanan Joanna, mengusiknya, mengacak-acak isi dunianya.

Ketakutan Joanna mendekati batasnya. Josh menghilang. Sudah lima hari sejak pengungkapan rahasia yang dibungkam Joanna selama 13 tahun. Ia tidak bisa menunggu, detak detik jam memburu kejenuhan. Ia harus segera menemui Josh.

Pertama kali Joanna memasuki lorong apartemen. Dinding abu-abu monoton berpadu keramik mengilap, mahal. Ia jadi bertanya-tanya seberapa kayanya Josh. Meski ia mengerti uang sakunya berubah jumlah sejak menikah.

Gugup merasuk. Joanna memainkan jari-jarinya, mengembus napas. Persoalannya sederhana, istri yang mengunjungi suaminya, tapi otak Joanna berlebihan memprosesnya. Respons yang dihasilkan luar biasa rumit, perasaannya saling menumpuk, sampai-sampai ia urung menekan bel.

Bagaimana jika Josh tidak ada di dalam? Bagaimana jika ia tidak membukakan pintu? Bagaimana jika josh menyuruhnya pergi? Dan bagaimana lainnya loncat-loncat di kepala.

10 menit 46 detik. Joanna menghitung akurat dari menekan bel hingga Josh mempersilakannya masuk. Pemandangan mengesankan, ruangannya tidak begitu besar, tapi dekorasi dan perabotannya serasi menyesuaikan bentuk. Joanna terperangah.

“Aku nggak tahu yang kamu suka. Tapi kamu sering minum ini,” ucap Josh sambil menaruh susu kalengan, lalu mengambil duduk di seberang.

Keduanya bersitatap sejenak. Lalu memalingkan pandang ke arah lain.

“Kamu, baik-baik saja?” tanya Joanna canggung.

Josh mengangguk ringan. Mengambil bantal oranye, mendekapnya.

Josh berubah, ketakutan Joanna makin menguat. Josh mengambil perannya yang selalu diam. Biasanya Josh akan menyerangnya dengan banyak pertanyaan. Kini lihatlah, laki-laki itu malah memandangi meja.

“Kamu kecewa, Josh?”

“Iya,” jawabnya lirih.

Jawabannya terlalu singkat untuk menyingkirkan gelisah si penanya.

“Aku kecewa dengan diriku sendiri,” kata Josh. “Aku ngotot untuk menikah denganmu tanpa tahu apa pun tentang hidupmu.”

Air mata Joanna hampir meleleh. Josh menyesal mengikat hubungan dengannya. Iya, dia menyesal.

“Kamu perempuan baik. Menikah dengan laki-laki sepertiku, mungkin hanya akan menyakitimu lebih dalam. Kalau aku bisa lebih kuat dari ini, aku bisa melindungimu. Tapi, yang aku lakukan selama hampir sebulan ini, malah seperti orang bodoh. Memaksamu menerimaku, sementara kamu sering terganggu dengan kehadiranku. Dan lagi… mungkin nanti aku akan lebih menyakitimu.”

“Josh,” panggil Joanna mengundang Josh beralih menatapnya. “Hiduplah denganku,” pinta Joanna tiba-tiba. Seperti kalimat ini direncanakan sedari tadi.

Josh bengong, kehilangan kata. “Joa…?” bisiknya.

Istrinya mengangguk pelan, lalu tersenyum.

***

Josh sibuk dari pagi: menata ulang isi lemari, bekerja dengan penyedot debu, merapikan perabotan dapur, mengganti bantal-bantal di sofa, menyemprot tanaman-tanaman hias di kayu jendela. Sambil bersiul riang, kadang sempat menyeringai, lalu berkali-kali menggetar pita suaranya bersenandung.

Cuaca tidak secerah hati Josh. Ia berdiri menyandar, memegangi tirai jendela. Ia tinggal di lantai 7, cukup tinggi untuk menyebar pandang. Mengintip tetes-tetes hujan yang makin lama makin kencang.

Jalanan seketika kosong saat hujan deras menaungi. Seorang pria yang tadi berjalan dengan kucingnya berdiri berjejeran dengan yang lain di depan minimarket.

“Kasihan si kucing,” gumam Josh.

Handphone-nya berdering, Josh segera mengangkat telepon, lalu kembali ke posisinya tadi. Ia mendengarkan sambil terus memperhatikan kucing berbulu putih.

“Joanna akan tinggal denganku hari ini,” katanya. Lantas mendengar kembali celoteh penelepon yang cukup panjang.

“Ini hidupku, aku berhak memilih, kan.” Josh masih seperti biasa, masih dengan suara lembutnya, walau dalam hati sudah letih.

Untunglah, gambar di minimarket menghiburnya sejenak. Ia senang, si kucing sudah tidak diam di samping tuannya. Ia lompat-lompat, lincah, berusaha menangkap kantong plastik salah seorang laki-laki yang juga berteduh.

Josh bisa membayangkan perasaan si kucing yang menemukan mainan baru di tengah kejenuhan. Girang, antusias, penasaran. Si kucing makin gemas sampai membiarkan ekornya kena hujan.

Si tuan tampaknya tidak senang, ia mulai menarik-narik tali yang melilit di leher piaraannya. Josh juga jadi tidak senang dengan perlakuan majikan itu.

“Josh? Josh?” panggil suara dari seberang.

“Aku masih dengar, teruskan,” perintahnya dengan suara gemetar. Jelas si penelepon melewatkannya, ia melanjutkan lagi ocehannya.

Air mata Josh jatuh sederas hujan yang terus mengguyur. Aliran-aliran permukaan jalan melarutkan darah, menyebarnya hingga ke pinggir aspal.

“Josh? Kamu menangis?” tegur suara berat itu.

Josh tidak peduli. Ia menjatuhkan handphone. Berlutut memegang bingkai kaca, meratapi situasi di bawah sana.

***

Joanna berkedip beberapa kali. Semua prediksinya pecah tepat saat Josh membuka pintu. Kantung mata yang lebam, urat-urat merah melingkari pupil matanya. Padahal Joanna sungguh telah membayangkan hal-hal manis. Namun hatinya tengah mekar, tidak akan Joanna kesal.

Joanna menarik sendiri kopernya. Tangan kiri menggandeng tas lain. Menaruhnya sendiri ke dalam kamar. Sementara Josh duduk menyandar di sofa ruang tamu, kakinya diangkat memeluk guling. Tidak ada hasrat membantu pasangannya.

Ini yang tidak bisa Joanna lakukan, menghibur orang lain. Karenanya, Joanna bertekad akan menjadi pendengar yang baik.

Bibirnya merengut sedih sebelum memulai cerita. “Tadi siang, seseorang kecelakaan.”

“Ke… kecelakaan?” sela Joanna. Ia sempat merinding kemudian.

Josh mengangguk cepat.” Di depan minimarket seberang.”

“Jadi karena itu, kamu suruh orang mengantarku sampai tempat parkir?”

“Iya,” balasnya. “Siang tadi hujan deras, laki-laki itu berteduh di depan minimarket dengan kucingnya. Tiba-tiba kucing itu lari ke jalan karena bola yang dimainkan anak kecil di dekatnya menggelinding ke jalan. Pemiliknya mengejar, lalu… ada mobil melintas,” jelasnya mulai terisak.

“Kamu… menyaksikan kejadiannya?” tanya Joanna merasa iba.

“Iya. Semua. Dan….” Josh menyeka air matanya. “Kamu tahu, yang membuatku lebih sedih?”

“Nasib laki-laki itu?”

“Bukan. Kucing itu lari karena ia cuma binatang yang suka main dan mengejar benda macam itu. Si lelaki turun ke jalan bukan salah si kucing. Tapi salah seorang dari kerumunan menendang kucing itu sampai terlempar.” Wajah Josh serius menagih keadilan.

“Lagi, si pengemudi juga tidak sengaja. Ia hanya berniat lewat, tiba-tiba laki-laki itu menghadangnya saat hampir mustahil untuk mengerem secepat itu. Tapi kamu tahu? Orang-orang menyalahkannya, menudingnya. Kalau ternyata si pemilik kucing meninggal, orang lain akan mengenalnya sebagai pembunuh. Menurutmu dia nggak akan trauma?”

Josh seorang pengamat. Laki-laki pemikir. Tidak seperti yang Joanna kenal. Adik tingkat yang manis, cukup populer karena tampan, yang sering tersenyum sebagai sapaan saat berpapasan dan kadang melambaikan tangan. Dia tidak menyangka, mereka sama.

Josh tidak bisa tidur malam itu. Kanan, kiri, ia berbalik berkali-kali. Joanna yang tidur di ranjang terpisah ikut terbangun. Silau lampu kamar juga membuatnya tidak nyaman. Ia baru mempelajari kebiasaan Josh yang tidur tanpa lampu dimatikan.

“Gelap menyeramkan,” Josh memberi alasan. Joanna memaklumi lantas mengalah.

“Josh?”

“Em?”

“Insomnia?”

“Em,” jawabnya sama.

“Karena kecelakaan itu?”

“Aku takut mati, Joa.”

“Sama,” aku Joanna seraya mengamati langit-langit.

“Aku bukan orang baik.”

Entah mengapa Joanna agak tersinggung karenanya. “Kamu baik, Josh. Justru aku yang merasa tidak layak kamu jadikan istri,” Joanna lebih terbuka sekarang.

Josh tertawa pelan. Berbalik, melihat istrinya yang tidak lama menghadap ke arahnya. “Kamu bilang aku akan meninggalkan kamu kalau aku mengenalmu. Kamu mungkin yang akan meninggalkanku segera kalau kamu mengenalku, Joa.”

“Waktu itu kamu beneran hampir meninggalkan aku, Josh,” tukas Joanna.

“Enggak. Aku cuma takut membuatmu lebih sakit,” tolaknya.

“Oo ya? Kamu menghilang, bahkan bilang mau menyerah,” Joanna menyerang.

Josh menggeleng. “Aku cuma bilang ‘ingin’.”

Hhhh, Joanna membuang napas, “sama saja.”

Josh manyun. “Dasar nggak mau ngalah. Hmm, keras kepala!”

“Ingat? Aku lebih tua,” balasnya sambil tersenyum bangga. “Josh, handphone-mu bergetar dari tadi. Nggak kamu angkat?”

“Biarkan saja.”

***

Mungkin hanya perasaan Joanna kalau waktu jadi lebih cepat berlalu. Keluar dari kontrakan yang ditinggali selama 10 tahun membuatnya menyesal. Jika dari dulu ia lakukan, jiwanya tidak akan terperangkap keperihan harus terus tidur di kamar yang ia benci.

Satu-satunya keluarga yang tersisa, Rangga, menghancurkan dirinya di kotak itu. Mengendapkan Joanna di pekatnya kebobrokan.

Apa pun, Josh ada di dekatnya sekarang. Satu syukur yang mesti ditutur.

Joanna mengalami banyak kemajuan. Ia sudah bisa duduk berdekatan, tahan harus berpegangan tangan, juga membiarkan tangan Josh merangkulnya.

Bukannya tidak payah untuk bisa ke tahap ini. Pernah sekali kuah sup yang mendidih tumpah seluruhnya dari panci karena Josh yang memeluknya dari belakang. Joanna tidak menangis saat punggung kakinya melepuh seluas lingkar cangkir.

“Pemilik kafe,” kata Josh mengungkap pekerjaan yang baru berani ditanyakan Joanna suatu pagi. “Di tiga tempat wisata, satu di dekat bandara,” jelasnya lebih detail.

Joanna mengangguk. Keheranan Joanna terjawab sudah. Josh hanya berkutat dengan: internet, skripsi, melukis, baca buku, main gitar, nonton TV, kadang bersepeda waktu sore. Tapi isi kulkas selalu penuh dan memanjakan ia dengan uang saku.

“Kita beda. Aku harus berhemat biar bisa makan di hari yang datang. Sementara kamu bersantai di apartemen seperti ini, makan yang kamu mau, pergi jalan-jalan. Semuanya yang nggak aku dapatkan,” Joanna yang minder membandingkan.

“Hidupku nggak secantik itu. Waktu kecil, aku lupa umur berapa, perusahaan di mana ayahku bekerja bangkrut. Pesangon nggak cukup untuk melanjutkan hidup, keluargaku mulai retak. Orang tuaku selalu bertengkar.”

Josh menarik tubuh Joanna mendekat. Meraih lengannya, mengistirahatkan kepala di bahu perempuannya. Secara alami Joanna lantas merangkulnya.

“Mereka cerai saat umurku 9 tahun. Nggak lama, Ayah meninggal. Mama yang menyesal karena bercerai jadi gampang stres. Sampai akhirnya Mama bangkit dan mencoba berbisnis. Yah… jadilah sekarang. Mama memberiku cuma-cuma kafe itu.”

“Kamu satu-satunya yang dia punya. Pasti akan memberimu dengan senang hati.”

Josh diam sejenak, “Kamu salah,” nilainya kemudian.

“Hmm? Bagian yang mana?”

“Aku bukan satu-satunya. Mama menikah lagi saat aku masuk SMA.”

“Maaf.”

“Aku hidup di kontrakan beberapa tahun setelahnya.”

“Kamu meniruku?”

“Hmm?”

“Meniruku hidup sendirian di kontrakan. Jangan-jangan kamu sudah tahu aku sejak lama. Hmm?”

Josh mendongak sebentar, tiba-tiba tertawa sambil menutup mulut. “Aku jadi ingat pertama kali ketemu kamu. Waktu masih jadi mahasiswa baru. Kamu jalan di lorong Gedung A lalu tabrakan dengan teman sekelasku yang gendut. Dia lagi makan es krim waktu itu, dan es krimnya jatuh tepat ke mukamu,” cerita Josh bersemangat dibarengi tawa-tawa nakal.

“Oo! Jangan-jangan kamu salah satu anak kepala botak yang cekikikan waktu itu?” Ia mengencangkan rangkulannya. Membuat Josh memukul-mukul ringan lengan istrinya.

Gemas, Josh menggigit bibirnya, berusaha mengangkat kepalanya. Joanna yang punya radar peka langsung menyerbu dengan bantal, menghentikan rencana Josh. Tubuhnya lunglai berbaring kalah, sementara Joanna nyengir.

I hate you,” cetus Josh merengut.

Love you too, Josh.”

***

Walau sekali, kebanyakan manusia pernah mempertanyakan kebahagiaan. Pertanyaan yang muncul setelah melewati angka 20. Joanna tengah mendapat satu jawaban atasnya.

Bulan depan ia 24. Dia hidup lebih lama dari yang dipikirkannya. Dan ia bersyukur, keinginan untuk menyerah hidup selalu pupus.

Beda dua tahun membuat Joanna tahu perkembangan diri Josh. Ia mengamati tiap hari seolah Josh objek yang harus diteliti. Ini jadi kebiasaan, Joanna tidak menyadari bahwa ia juga sedang diamati.

“Aku lebih banyak diam dibanding yang lain. Karena itu, aku lebih sering mendengarkan dan melihat secara detail,” katanya pada Josh.

Josh setuju sebab ia hampir sama. Tapi Joanna tidak secerdik itu. Ia masih buntu dengan siklus Josh yang tidak menentu. Skema macam apa yang harus dituliskannya sebagai gambaran diri Josh, ini belum ketemu.

Laki-laki ini lebih gelap dari yang terlihat. Abu-abu tua, jika Joanna memberi warna. Membuatnya tampak samar untuk diterka.

Tidak ada yang janggal. Terlalu jauh untuk menyebutnya kejanggalan. Hanya saja, Joanna paham ia belum menang. Masih ada bagian hati Josh yang hilang. Seberapa luas, Joanna tidak ahli mengukur bidang.

Suatu malam Joanna ditunjukkan sebuah jalan. Jalan hitung yang berakhir dengan angka nol. Nol untuk harapan, nol untuk kepercayaan, dan nol untuk kebenaran.

Ia terkejut hingga sakit oleh detakan jantungnya sendiri. Jari-jarinya lemas, tote bag-nya jatuh. Kesadarannya utuh menginginkan ia lenyap segera. Menguap dan hilang selamanya.

Josh melepas ciumannya. Mendorong dada pria asing yang tadi menjepitnya ke dinding. Mimiknya jelas kaget dengan kehadiran Joanna. Ciuman? Joanna berpikir ulang menyebutnya demikian. Itu mirip seperti singa yang kelaparan.

“Oh, ini perempuan yang dinikmati kakaknya sendiri,” ujar pria bersuara berat itu. Josh langsung mendorong pria itu lebih jauh.

Joanna terbelalak. Kesadaran yang ia pertahankan mulai mengunyah jiwanya. Mual merambat dari isi perutnya. Ia segera lari ke kamar mandi. Membuka kloset. Memuntahkan semua hal cabul menjijikkan. Air matanya turut jatuh, walau ia sudah memejam.

Tangan Josh meraih pundaknya dan segera ditepis Joanna. Berkali-kali, Joanna tidak ingin peduli.

***

Joanna pasrah duduk berhadapan dengan Josh. Sesaat ia mengenalnya, sedetik kemudian ia menyangkalnya. Bau asing menusuk hidung. Baunya anyir. Bau yang Joanna benci.

“Semua nggak seperti yang kamu kira. Aku nggak menikmati yang kamu lihat,” Josh mulai membela diri.

Joanna tutup mulut. Ia masih malas dengan topik ini.

I want you,” ungkapnya lirih.

Tidak tahan, Joanna bangun. Melempar bantal yang tadi dipeluknya. Segera masuk kamar, mematikan lampu, menyembunyikan seluruh badan dalam selimut.

Tubuh letih berbaring di sofa. Josh menangis lagi. Ia sudah menduga Joanna akan begini. Tangannya mencoba meraih gagang cangkir di atas meja, gagal. Cangkir jatuh, pecah di atas keramik cokelat tua.

 Handphone-nya bergetar kemudian. Nama Bara muncul di layar. Konflik di kepalanya sudah cukup membuatnya merasa gila. Ia lantas mengambil benda itu, melemparnya keras ke dinding.

***

Joanna mencari angin segar, menyerap energi baru untuk raganya yang butuh. Ia serasa kembali ke dunianya. Menjejaki tiap meter aspal jalan menuju ke kontrakan. Ia buka gerbang pelan-pelan.

“Mah! Kak Joa pulang,” teriak Jun, anak kecil yang tinggal di sebelahnya.

Biasanya Joanna hanya akan tersenyum, lantas masuk, mengurung diri di kamar. Ia baru menyadari siang ini, Jun sudah tumbuh besar. Ia masih ingat memperhatikan Jun yang belajar jalan di depan teras. Kadang kakinya terselip dan jatuh, saat itu Joanna hanya menonton sampai Ibunya datang menggendong.

Ia dekati anak itu yang asyik dengan kertas gambarnya. Pertama kali, ia membelai lembut rambutnya. Jun menengadah, senyum manis diberikannya.

Anehnya, ia tidak lagi benci tempat ini. Jika dulu ia bahagia meninggalkan rumah ini, sekarang pun ia bahagia datang kembali. Melihat-lihat setiap sudut dan sisi.

“Hidupku nggak manis, Joa, tumbuh di keluarga yang retak. Lalu harus menghadapi Mama yang labil karena bercerai, sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Ayah tiriku nggak suka hidup denganku. Aku dibuang, disewakan rumah agar hidup terpisah.”

Joanna membaringkan tubuh di kasur. Menatap lampu putih yang ia ingat sudah mati. Ia belum sempat menggantinya dan pindah ke apartemen Josh.

“Bara satu-satunya yang selalu bersamaku. Dia melindungiku, dia menyayangiku, Joa.”

Agak malas Joanna memaksa bangun. Memakai sandal jepit yang sudah dua bulan ia telantarkan. Ia juga rindu warung di pojokan. Lampu, roti, dan jajanan lain ia beli. Beberapa tetangga yang baru melihatnya lagi memberi senyum. Joanna tidak takut lagi dipandangi.

Tangannya yang lebih kurus menarik kursi. Memutar lampu, menggantinya dengan yang baru. Ia mencobanya. Hidup. Terang. Selesai. Ia lantas beralih ke dapur, mengelap meja yang berdebu.

“Kenapa menikahiku?”

“Memulai kehidupan baru. Bersama dengan Bara hanya akan menyakiti dia. Kita nggak ditakdirkan untuk bersama.”

“Dia laki-laki, Josh.”

“Aku tahu. Karena itu, aku ingin berhenti, Joa. Aku selalu ketakutan saat Bara sakit, takut ia terkena penyakit yang lebih dari itu.”

“Lalu?”

“Mustahil untuk darah Bara dan milikku mengalir bersama di satu tubuh. Tubuh yang memiliki wajah separuh sepertiku, separuh seperti Bara.”

“Kamu…, kamu masih menginginkan dia?”

“Aku bohong kalau bilang enggak. Aku hidup dengannya 6 tahun, Joa, mana bisa langsung lupa. Aku… aku nggak bisa nggak merindukan dia, Joa, mengertilah.”

“Kamu serakah, Josh. Fakta kalau dia laki-laki sudah cukup menghancurkanku. Kalau kamu berhenti dan memilihku, harusnya laki-laki itu nggak akan datang lagi. Bahkan kamu membocorkan rahasiaku, Josh!”

Joanna agak kaget. Jarinya tergores pisau di rak. Darah meleleh perlahan. Tidak perih. Joanna mengurut-ngurut sekitar lukanya, mengeluarkan darah yang pelan-pelan mulai berhenti keluar.

***

Pagi berputar jadi siang, dan siang berlalu memanggil senja. Ia keluar dari gedung kampus. Terlalu banyak yang terjadi sampai wisudanya tertunda, tahun ini ia harus lulus.

Seharian tidak mengunyah makanan, Joanna memutuskan mampir di minimarket dekat perempatan. Tidak ada yang spesial, hanya sambutan ramah pegawai di meja kasir. Joanna mulai memilih, mengabsen dengan jari.

Sampai ia mendengar celoteh genit seorang laki-laki. Ia mengintip di sela tumpukan roti. Salah seorang pengunjung laki-laki terlihat lebih lembut darinya. Caranya bicara, suaranya yang lebih keras dari bunyi iklan di layar pojok, Joanna benci mendengarnya.

Joanna sensitif, ia jadi banyak menduga-duga. Jika mungkin pegawai itu juga seperti Bara dan Josh. Jika Josh yang berdiri di meja kasir, mungkinkah Josh juga menggodanya.

Ia membayangkan. Memanipulasi potongan-potongan gambar, menyatukannya menjadi film yang berputar dalam pikiran. Ia jijik, dengan karangannya sendiri.

Tidak, Josh tidak seperti itu.

Happiness. Ia jadi ingat jawaban dari teman-teman online-nya yang tinggal di luar negeri ketika ditanya tentang masalah Josh dan Bara. Semua isi pesan dan pendapat mereka memojokkan posisinya. Memintanya untuk berbagi.

Sudah lebih dari semenit mereka belum berhenti saling merayu. Sementara pegawai lain cuek menata botol-botol teh di kulkas.

Emosi Joanna memanas. Ia meninggalkan keranjang di lantai. Mendatangi barisan mi instan dan mengambilnya cepat. Langsung maju ke meja kasir, membayar secepatnya, ia keluar. Tanpa sedetik pun melihat sekitarnya.

Langkahnya terburu masuk ke dalam bus. Josh bersarang di kepalanya. Mengacaukan perasaan, mengusir tenang yang pernah datang seminggu ke belakang.

“Kamu bertingkah seperti anak kecil. Anak kecil yang cuma menutup mata dengan tangan saat main petak umpet. Kamu sama saja, menutup matamu dan mengira kamu sudah aman bersembunyi. Tanpa kamu peduli sekitarmu melihat tubuhmu dengan jelas. Aku melihat kamu dan Bara, Bara melihat aku dan kamu, tapi kamu?”

Joanna tidak lupa untuk tidak lari di lorong. Tapi entah mengapa lorong ini terasa semakin panjang untuk dilewati tanpa berlari. Jarinya cepat menekan kode pengaman dan mendorong pintu.

Segera ia jatuhkan kantong plastik dari tangan saat melihat Josh menyandar di ranjang. Joanna mengambil tempat di samping, menarik kepala Josh. Menciumnya. Gemetaran, berkeringat. Ia tetap memaksa.

Josh yang kaget menurutinya. Tidak lama, Joanna lari ke kamar mandi. Mual itu datang lagi. Ia menutup pintu saat Josh mencoba masuk.

Josh memanggil-manggil, mengetuk-ngetuk pintu keras. Joanna berkumur kemudian. Membersihkan mulut, membasuh muka, mengelapnya dengan handuk.

Josh berdiri di depan pintu. Wajah khawatirnya langsung menangkap mata Joanna. Meraih rambutnya yang agak basah dan membelainya.

Joanna mencoba lagi. Mendorong tubuh Josh hingga terduduk di pinggir ranjang. Kedua kali, ia memburu bibir suaminya. Membiarkan tubuh merindingnya berperang. Air matanya menetes. Lebih lama dari yang pertama, Joanna tetap gagal.

Ia menangis sambil melangkah ke bawah shower. Menghidupkan air, membasahi badan, duduk di bawahnya. Memeluk kedua lututnya.

Josh masuk dan berlutut di sampingnya. “Kamu nggak perlu memaksakan diri, Joa,” ucapnya cemas. Tapi ia tidak menangis. Lebih tenang dari biasanya.

Istrinya makin tersedu. Melepaskan beban yang dipendam berminggu-minggu.

“Maafkan aku,” pinta Josh. Ia membelai rambut basah Joanna.

“A… aku harus… bagai… mana Josh?” suaranya tersendat. “Bara bilang… meski kalian nggak akan happy ending, kalian never ending, di depanku dengan bangga. Lalu, lalu bagaimana dengan aku Josh? Aku cuma cadangan? Cuma untuk melahirkan keturunan?”

“Enggak, Joa…, enggak. Maafkan aku. Maafkan aku.” Ia segera memeluk perempuannya.

“Orang-orang ngotot tentang kebahagiaan. Kalian ingin bahagia, lalu bagaimana dengan kebahagiaanku? Aku juga punya hak.” protes Joanna dengan suara serak.

“Iya, Joa. Maafkan aku. Maafkan aku. Tenanglah.” Josh merekatkan dekapannya.

Ada rindu yang masih membelah, menggerakkan lengan Joanna untuk memeluk kekasihnya. Anehnya, Joanna merasa tetap hangat, walau air dingin mengalir dari ujung kepala.

***

Joanna sudah ganti baju. Duduk di lantai menyandar dinding. Menunggu Josh selesai menyatukan dua ranjang. Meja kecil yang dulu memisahkan diletakkan di pojok ruang.

“Aku dan Bara sudah berakhir,” ucap Josh, menatap dalam langit-langit. “Ketakutanku saat bersama Bara lebih banyak dibanding saat hidup denganmu.” Membuang napas sekali, lalu melanjutkan lagi, “Dia selalu berdiri di depan, memimpin jalan, menjadi tameng melindungiku. Sementara untukmu, aku yang membuka jalan.”

Jemarinya meraba, mencari milik Joanna, lalu menggenggamnya. Menaruhnya di atas dada. “Aku rapuh, Joa. Aku nggak bisa menjanjikan untuk nggak mengingat Bara. Sama seperti kamu ingin melupakan perlakuan Rangga, aku ingin kamu menunggu. Menunggu sampai aku lupa dengannya. Kamu mau?”

Pandangannya beralih pada Joanna yang masih membisu. Hingga Joanna mengangkat kepalanya kemudian. Mengecup kening Josh. Mengusap halus pipi yang tampak lebih kurus.

“Terima kasih, Manis,” ucap Josh kemudian seraya tersenyum.

***

Hidup tidak pernah lurus. Ada gang-gang sempit yang kadang menyita waktu. Seseorang mungkin kelelahan mencari jalan keluar. Sementara yang lain beruntung segera meluncur ke jalan besar.

Lihatlah di salah satu jendela, sepasang manusia ini tengah menghayati masa. Mereka telah berlari-bersembunyi, mengambang di antara pahala dan dosa. Mengutuk diri, membenci rupa yang Tuhan kehendaki.

“Kenapa tertarik padaku?” tanya Joanna.

Josh berpikir sebentar. “Em, karena kamu terlihat suram.”

“Aku serius, Josh.”

“Ya. Aku serius. Kamu yang selalu duduk sendirian. Jarang tersenyum. Jarang bicara. Kupikir waktu itu, kita sama,” jelasnya. “Lalu kenapa setuju menikah denganku? Kita nggak akrab, bahkan mungkin aku asing bagi kamu.”

Joanna mengangguk ringan. “Iya, aku bahkan sempat lupa namamu. Mungkin karena kamu terlihat baik-baik saja. Selalu senyum saat berpapasan. Selalu mengajakku bicara duluan. Kupikir… kita beda.”

Masih ada banyak hal yang perlu dipelajari dari masing-masing diri. Joanna dan Josh diberi banyak waktu untuk itu. Sebuah karunia bernilai yang lama dinantikan.

Kedua bibir itu tersenyum. Bersama, menikmati senja kemerahan dari bingkai jendela. Merasakan suhu tubuh masing-masing dengan pelukan. Mensyukuri terlahir dan bertahan di kehidupan.

***

Arang Dwi
Latest posts by Arang Dwi (see all)

Comments

  1. ayu Reply

    sukak;)

  2. Poppy Trisnayanti Puspitasari Reply

    Sehat-sehat terus, Mbak penulis misterius. Menanti cerpen-cerpen mbak lagi dan lagi.

    Saya pas baca tadi bareng lagi mutar Fast Carnya Tracy Chapman. Jadinya anu :’)

    Makasih cerpen bernutrisinya, Mbak…

    Moga kai baca komen ini.

  3. abdul rozak Reply

    mantap! ^^

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!