Judul : Elegi Sendok Garpu
Penulis : Bagus Dwi Hananto
Penerbit : Mojok
Cetakan : Cetakan Pertama, Februari 2018
Tebal : 188 halaman; 13x20cm
ISBN : 978-602-1318-61-4
My life will never get better, it would have been much easier to die. I really wish they would give me the death sentence. Death is only my hope. Recently more than the urge of eating someone I have the urge to be killed. I want to die suffering slowly torn apart alive. Of course I’d rather be killed by beautiful women than a man. – Issei Sagawa, 2012
Bagus Dwi Hananto, seorang pria kelahiran Kudus ini, melalui tokoh Edit, Hanan, dan Benjamin sebagai tiga bersaudara bercerita soal perempuan, seks, dan kisah seseorang masa hidup dan mati. Ketika membaca sinopsis novel berjudul Elegi Sendok Garpu di belakang kover buku, yang terbesit di pikiran saya adalah kisah keluarga yang membenci neneknya karena urusan warisan yang tak dibagi rata. Ternyata apa yang saya bayangkan tidak tercermin di novelnya.
Tiga Bersaudara
Edit si adik adalah laki-laki lemah yang akhirnya mati bunuh diri dengan timun yang masih menancap nyaman di anusnya. Ia adalah seorang gay yang tidak berhasil mendapatkan laki-laki yang ia cintai. Si Edit adalah gambaran tokoh seorang laki-laki yang ingin potong penisnya agar ia dapat vagina. Ia seorang laki-laki dan ia ingin hidup sebagai perempuan.
Hanan laki-laki infantil dan ateis, seorang jurnalis penggila video porno yang tak habisnya terus membayangkan cara bercinta paling nikmat dengan perempuan pujaan. Bayangannya, seorang wanita dengan payudara besar dan lembut berparas cantik akan nikmat untuk dihabisi di atas kasur. Sayangnya, rasa cintanya terhadap perempuan tak membuatnya mampu menguasai perempuan mana pun. Ia mungkin terlihat jantan tapi penisnya tak cukup kuat untuk menanggung ketangguhan perempuan.
Benjamin, kakak tertua pembenci perempuan tetapi penikmat seks ini tak kalah sangar dari riwayat kedua adiknya. Kecintaannya untuk berhubungan seks membuatnya ketagihan jajan perempuan. Yang saya dan mungkin perempuan lain tak suka dari Benjamin adalah ia hanya ingin memuaskan hasrat kelaki-lakiannya, setelah itu ia akan merasa muak melihat wanita bertelanjang di depannya. Membuang muka. Kembali jika hasratnya tumbuh lagi.
Ketiga saudara ini kemudian diceritakan mati, si Edit bunuh diri, si Ben dibunuh karena mencoba memerkosa pelacur, dan Han ditembak ketika menuju rumah seorang pelacur yang ia cintai. Kisah Han yang dibunuh ini lalu membawa kita pada sebuah sumur penuh mayat hasil kerja seorang pembunuh bayaran.
Si Mayat Berkisah
Di sumur itu setiap mayat bercerita, betapa ia menyesal tak dapat berlama-lama menatap sinar matahari atau penyesalan tak dapat menggauli lebih banyak perempuan, si mayat ini juga bercerita betapa lelahnya mereka menanti seseorang untuk ditemukan.
Kisah si mayat ini yang kemudian membawa saya untuk menemukan kedamaian. Ingat tentang bagaimana kita akan mati membuat kita terburu-buru mengenal Tuhan. Kematian bagi saya membawa rasa damai tersendiri seperti Ben, Edit, dan Han yang tak perlu lagi memusingkan perempuan atau laki-laki mana yang akan jadi labuhan terkahir? Seperti pertanyaan orang tua tiap Lebaran bukan? Permintaan untuk segera menikah.
Mengingat Kematian
Kematian membawa kedamaian dengan cara yang lain. Ketika napas terakhir beembus lewat hidung dan nyawa dibawa pergi malaikat, saat itulah akal kita ikut mati. Sisa tangisan kepura-puraan orang tak juga kita pusingkan. Kita mungkin akan ribut sendiri dengan siapa yang nanti akan saya temui di kuburan?
Belakangan saya selalu dihantui rasa takut akan kematian, seolah waktu saya tidak banyak. Padahal saya tengah dalam perjalanan untuk memercayai siapa itu Tuhan. Melalui tokoh Han, banyak hal yang membuat saya terkejut, Han disindir habis-habisan oleh Bagus Dwi Hananto karena sikapnya yang memutuskan untuk menjadi seorang ateis. Han adalah seorang infantil yang tak mampu membuka pikiran untuk keberadaan Tuhan. Seorang sombong yang merasa lebih tinggi dari Tuhan. Begitu pula saya.
Iseei Sagawa Kanibal Yang Ingin Mati
Berbeda dengan ketiga tokoh yang diceritakan Bagus Dwi Hananto, Sagawa adalah seorang kanibal yang hanya tertarik pada tubuh wanita, ia juga pecinta seks. Bagian favoritnya adalah paha perempuan dan menurut Sagawa payudara tak memiliki rasa begitu nikmat.
Sagawa, setelah terbebas dari penjara merasa hidupnya benar-benar hancur. Tidak ada penghasilan sama sekali, tetapi ia harus hidup. Kemudian ia akhirnya memutuskan untuk menulis buku, melakukan banyak interviu.
Dalam interviu Vice tahun 2012 lalu, Sagawa mengatakan bahwa di usianya yang 62 tahun ini ia masih tidak mengenal siapa dirinya, mengapa ia seorang kanibal, dan apa tujuan ia hidup. Ia berharap mendapatkan hukuman mati atau mati secara perlahan dan tersiksa untuk melepas penat hidup, pencarian jawaban atas pertanyaan mengapa terhadap dirinya.
Seperti Sagawa, dalam sumur kematian itu saya membayangkan betapa damai dan dingin kematian itu. Bisakah manusia memilih untuk damai setelah mati? Bisakah seorang pembunuh damai dalam kematiannya? Bisakah seorang tanpa Tuhan menemukan damai dalam kematiannya?
Mungkin pertanyaan itu tidak akan terjawab, sampai nanti ketika diri kita mengalami pengalaman luar biasa itu sendiri. Kematian.
- Menemukan Kedamaian dengan Kematian - 22 September 2018