Ia memakan anaknya hidup-hidup. Bercak merah mewarnai tempat tidurnya. Bau amis menguar di seluruh penjuru ruangan. Kurang dari 24 jam bernapas, bayi itu sudah harus merelakan nyawanya. Tidak masalah, kata artikel yang setelah itu aku baca. Hal ini sah-sah saja dilakukan demi yang lain dapat bertahan, demi yang lain tidak harus berkorban.
Aku mendekap sisa tubuh yang tinggal seperempat itu sambil gemetaran. Handuk basah yang seharusnya kugunakan untuk membersihkan tubuhnya, kini jatuh ke kakiku dan mendadak kehilangan fungsinya. Tepat di hadapanku, Mole membelakangi anak-anaknya yang lain. Dengan tubuh gempalnya, ia sembunyikan sisa kelakuan sadisnya.
Gumpalan bola bulu itu terbujur kaku. Tiga perempat tubuhnya sudah habis dimamah ibunya sendiri, menyisakan bau amis yang menusuk hidung. Sementara aku masih berduka, betina itu dengan anggun sudah kembali kepada ketiga anaknya. Ia menjilati satu demi satu gumpalan belang jingga yang mengisap putingnya.
Jika kuperhatikan, bayi berbulu di gendonganku ini memang paling berbeda dari yang lain. Warnanya belang hitam. Tubuhnya berukuran paling kecil. Saat menatapnya, aku bertanya-tanya tentang bagaimana bisa kucing yang sudah dua tahun bersamaku ini tega melakukannya. Meskipun paling berbeda, bukankah bayi ini tetaplah darah dagingnya sendiri?
Aku menghela napas. Dengan tubuh yang gemetaran, kutinggalkan betina yang baru melahirkan itu ke belakang. Aku pergi mengubur anak terakhirnya yang malang.
Tanah gambut yang tersisa di sela-sela jariku terasa lembab. Sepoi angin sehabis hujan membangkitkan perasaan segar, memancingku menutup mata. Gelap. Segalanya berubah gelap. Dalam kegelapan, aku terbayang suara tulang-belulang yang remuk ketika daging segar itu memenuhi mulutnya, lalu kuah merah sebagai pelengkap rasa gurih menetes dari bibirnya. Kenikmatan apa yang dapat didamba dari seonggok daging yang hanya sedikit itu? Bahkan jika itu adalah seekor ikan tongkol favoritnya, definisi kenyang sudah pasti belum terlampaui baginya.
Rasa penasaran menghantui setiap sel dalam otakku, mendorong saraf motorikku bekerja menggapai ponsel pintar yang terselip di saku celana. Mesin pencari segera terbuka seketika itu juga, menampakkan papan ketik yang di sana kuketikkan kalimat, “Mengapa induk kucing memakan anaknya saat lahir?”
1. Induk kucing mengalami stres saat melahirkan.
Aku terdiam membaca alasan pertama. Kantong ingatan di dalam kepalaku menenggelamkanku pada kenangan dua tahun lalu. Saat itu, aku menemukan Mole—induk kucing jingga itu—di tempat pembuangan sampah sementara dekat kampusku. Ia yang saat itu masih bisa dikatakan bayi, diletakkan dalam kardus dan ditinggalkan begitu saja. Tanpa makanan. Sendirian. Asing dari peradaban. Jujur saja, aku tidak suka berurusan dengan binatang, apalagi memeliharanya. Itu pasti akan merepotkan, pikirku. Aku bahkan sempat meninggalkannya saat itu. Namun, beberapa saat kemudian, ia sudah berada di dalam rumahku.
Aku tidak tahu mengapa aku membiarkannya sampai aku teringat kepada diriku sendiri beberapa tahun lalu yang berjuang sendirian, tanpa ada tempat pulang. Aku jadi ingin membawanya pulang. Apalagi bercak hitam besar di sekitar mulutnya menambah alasan aku untuk membawanya ikut bersamaku. Bercak hitam itu mengingatkanku pada wajah ibu—wanita paruh baya yang sudah lama tidak kuketahui kabarnya.
Bagiku, di dunia yang sepi ini hanya ada aku dan Mole. Tapi bagi kucing itu, tidak hanya ada aku. Begitu besar sedikit, ia mulai sering keluyuran. Setiap pagi ia pergi dan malam baru pulang. Ia harusnya bersyukur aku memperlakukannya seperti manusia. Namun, kebaikanku justru berakhir malapetaka. Kucing belang—pejantan yang membuahi Mole—tewas tertabrak tak lama setelah benih-benihnya bersarang di tubuh Mole. Meski tragis, Mole tetap melalui masa kehamilan pertamanya tanpa kehadiran si jantan. Ah, entah mengapa aku mulai setuju pada alasan pertama. Pasti tidak mudah bagi Mole melalui hidup sendirian, apalagi, mengandung empat ekor anak tanpa kehadiran pasangan.
2. Anak kucing sakit atau cacat saat lahir.
Baik, aku kini berada di kepala sub-judul alasan berikutnya. Kalimat yang tertera di sana kontan membuatku menyipitkan mata. Ini mulai tidak masuk akal. Dalam sudut pandang manusia, bukankah seharusnya anak yang sedang sakit dirawat sedemikian rupa? Sebagai orang tua Mole, aku cukup percaya diri memiliki sejumlah modal untuk membiayai itu semua. Mengapa ia harus tega sampai memakan anaknya?
Lagi-lagi, ingatan menyeretku tenggelam ke masa lalu. Ketika itu, rumah sakit yang lengang terdengar begitu ramai di kepalaku. Diriku yang masih sepuluh tahun mungkin tidak terlalu paham apa yang terjadi. Namun, diriku yang sudah dua puluh dua ini tentu sudah khatam tentang pemaknaan.
Ibu—panggilan yang sudah terasa kelu di lidahku itu—berada dalam ruangan yang sama dengan pria berbaju putih yang merawatku. Sudah puluhan, bahkan ratusan kali seingatku, kamar berdinding putih dengan gorden hijau itu menjadi teman akrabku. Kata Ibu, sejak bayi memang fisikku lemah. Aku langganan keluar rumah sakit berulang kali. Mungkin karena beliau mengandungku di usia tua, atau aku yang belum siap lahir ke dunia. Beliau dan dokterku berdiskusi kapan aku akan berpulang, beserta perkiraan sisa waktu yang kupunya.
“Lebih baik dia mati daripada harus terus kesakitan begitu. Oh Tuhan, aku tidak tahan melihat penderitaan yang terpancar dari tatapan lugunya itu!”
Usiaku baru sepuluh tahun saat aku tidak sengaja harus mendengar ucapan itu. Kata-katanya membuatku kecewa. Namun, sekarang aku malah setuju pada alasan tersebut.
3. Induk kucing menyayangi anaknya.
Kali ini, keningku berkerut saat membaca alasan ketiga. Jemariku segera memeriksa halaman artikel yang kubuka. Tidak ada yang salah di sana. Sebagai mahasiswa yang menjalani semester tua, aku dapat menjamin sumber artikel ini tepercaya. Penulisnya pun tak perlu diragukan lagi. Aku sering mendengar namanya. Ia cukup terkenal di ranah sains dan biologi. Begitu pula dengan editornya.
Meski kepalaku sudah bersiap merancang ulasan untuk kolom komentar, aku memutuskan untuk sedikit lebih bersabar. Mungkin, dengan membaca paragraf pertama, aku dapat memaklumi hadirnya sub-judul ini seperti sebelumnya. Mungkin, jika aku…
“Induk kucing memakan anaknya yang baru lahir untuk memberikan kesempatan hidup yang lebih baik untuk anak-anaknya yang lain.”
Sial! Ini benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang ibu berpikir untuk mengorbankan salah satu anaknya agar anaknya yang lain mendapatkan kesempatan hidup yang lebih baik? Apa-apaan omong kosong ini?
“Nak, sebaiknya kamu menunda kelanjutan sekolahmu dan membantu Ibu saja. Biarkan kakak kedua dan ketigamu sukses dulu. Nanti, jika sudah sukses, mereka bisa membantu membiayai sekolahmu.”
Aku segera menutup ponsel. Mataku terasa panas melihat gundukan tanah gambut itu. Tiga tahun lalu, sebelum aku memutuskan pergi dari rumah, kata-kata itu berhasil melukaiku. Kembali terulang rasa pedih ketika aku memberi tahu ibu tentang jalan mimpiku yang berbeda dari kakak-kakakku. Mimpi yang kupikir sudah jelas di hadapan mataku, luluh-lantak saat itu juga, bahkan sebelum aku berjalan menggapainya.
Ah, sudah tiga tahun telah berlalu. Tidak lama lagi aku akan menggapai mimpiku, menyabet gelar Sarjana Sastra yang pernah diremehkan Ibu, sebab jalan mimpiku berbeda dari kakak-kakakku yang berlomba-lomba meneruskan pekerjaan almarhum Ayah sebagai pelayan kesehatan masyarakat.
“Meong ….”
Gumpalan bulu halus menyapa kakiku. Kurasakan basah lidahnya menjilat-jilat di bawah sana. Benakku yang terbawa lamunan akhirnya teralihkan. Kutatap ia dengan tatapan datar, menahan diri agar amarahku tidak lagi keluar.
“Apa yang kau lakukan, Makhluk Kecil Psikopat?” ejekku. Ia menatapku dengan tatapan manjanya. Hal yang biasa ia lakukan untuk membujukku saat ia membuatku kesal dengan apa yang dilakukannya.
Haha. Ia benar. Tingkah lucunya mana bisa membuatku marah lama-lama. Bagaimanapun, kini ia adalah keluargaku satu-satunya.
Keluarga? Bagaimana kabar Ibu, ya? Apakah setiap minggu masih rutin mengunjungi Ayah? Bagaimana dengan Kak Dita dengan suaminya? Kak Fahmi dengan bidang bedahnya? Atau Kak Lula dengan kebidanannya?
Aku menempatkan Mole di pangkuanku. Berdua, kami menikmati pemandangan di depan kami—gundukan tanah gambut yang berisi bayi kecil Mole. Namun, kurasa hanya aku yang melakukannya. Sebab Mole, asyik sendiri meraih benda di sampingku dengan telapak kaki berbulunya.
“Kau benar. Aku lupa meneruskan bacaanku,” bisikku kemudian.
Dengan hati setengah enggan, aku meraih kembali ponsel pintar itu. Sambil mengumpulkan banyak-banyak stok kesabaran, aku meneruskan membaca.
… kemungkinan bertahan hidup Sang Bayi yang minim membuat Induk Kucing terpaksa harus melakukan itu. Namun, sejumlah penelitian mengatakan bahwa rasa sayang kepada anaknya membuat Sang Induk mau tidak mau harus rela melakukannya. Jika saja ada kemungkinan bayi itu mampu bertahan hidup dengan penyakit atau cacat yang dideritanya, mungkin mereka akan tetap hidup bahagia.
Angin berembus sepoi ketika aku menyelesaikan paragraf terakhir itu. Bersamaan dengannya, napasku yang tadinya tersengal pun perlahan normal. Senyum kecil terukir di sudut bibirku. Aku mempertimbangkan “kemungkinan” yang bisa saja terjadi seperti kata-kata dalam artikel itu.
“Apa kau menyesal telah memakan anakmu?” tanyaku kepada kucing yang baru saja jadi ibu itu. Ia membalas dengan ngeongan yang tidak bisa kumengerti. Namun, kurasa, jauh dalam lubuk hatiku, diam-diam aku mengerti.
Ah, bisa kurasakan suasana lembap yang dingin ini perlahan terasa sejuk. Padahal, terakhir, sudah tiga tahun lalu aku berbincang akrab dengan seseorang di seberang sana. Mengapa sekarang aku rindu hangatnya? “Mole, bagaimana jika kita pulang ke rumah Ibu akhir pekan nanti?” (*)
- Mengapa yang Berbeda Harus Mati? - 20 September 2024
Nilmala
WAAAH BAGUS BANGET CERITANYAAAA, DITUNGGU NEXT TULISANNYA KAAAKKK
Atia Syahbani
Wah, terima kasih atas supportnya kak 😊
Nilmala
WAAAH GA NYANGKA DIBALASSS😭😭😭semangat terus nulisnya kaaakk🫶
Dekaaaaa
IH AKU MERINDINGGGGGGG!!!
CERITANYA BAGUS BANGET KAKK!
hati mungilku ikut hanyut di setiap kalimat, bikin kepikiran nihhㅜㅜ
Ditunggu karya selanjutnya kakkkk💜
Hadi Rahman
Keren kali ceritanya kak, kita dibawa ke sudut pandang majikan dan babu wkwkwk, next ditunggu lagi ya karya selanjutnya Kak!
Anugrah
Secara keseluruhan, “Mengapa yang Berbeda Harus Mati?” adalah sebuah karya yang penting dan relevan, terutama di zaman di mana perbedaan sering kali menjadi sumber konflik. Atia Syahbani berhasil menyampaikan pesan yang kuat tentang pentingnya menerima dan merayakan perbedaan, serta konsekuensi dari penolakan terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan norma yang ada. Buku ini sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang dinamika sosial dan kemanusiaan.
citra
WAHHH KEREENNN CERITANYA!!! Aku suka sama kata-katanya dan alur cerita yang beda dari yang lain🤩
Dewi
selipan cerita tentang si pemilik kucing,walo singkat tapi sangat bisa dipahami,cerita yg bermakna dalam dengan gaya cerita yg ringan dan mudah dipahami,di tunggu cerita – cerita lainnya