Judul : 3 Tahun
Penulis : Anton Chekov
Penerjemah : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : vi + 158 hlm
Cetakan : I, September 2017
Zaman telah berubah. Meski demikian, ketimpangan sosial antara kaum elite dan kaum proletar tetap tidak ada perubahan sama sekali. Yang ada hanyalah perubahan mode dari kesenjangan antara pemilik tanah dan penggarap menjadi pemilik pabrik dan pekerja atau buruh. 3 Tahun yang ditulis oleh Anton Chekov pada 1885 menyorot mode tersebut, yaitu ketika di Rusia banyak bermunculan kelas pedagang yang menimbulkan kesenjangan antara pemilik pabrik dan pekerja. Dalam karyanya ini—saya masih bingung untuk menentukan apakah ini sebuah cerita pendek atau novel, namun di referensi lain, 3 Tahun ini dikategorikan sebagai salah satu cerpen gubahan Chekov—kesenjangan tersebut dibungkus ke dalam sebuah cerita tentang pernikahan tanpa cinta Yulia Sergeyevna dengan sang tokoh utama Alexei Fyodorovich (Laptev).
Dalam 3 Tahun kita akan sering menjumpai kemuakan atas perbudakan meski diselingi dengan isu-isu lain. Dalam isu perbudakan dan kesenjangan sosial, Chekov menjadikan Laptev sebagai lambang pemberontakan dan kewarasan. Laptev menentang sebuah perbudakan yang secara halus dilakukan oleh ayahnya dan para kerani kepada para pekerja di toko penjualan. Dan toko itu, bagi Laptev adalah sebuah dunia penuh tipuan yang dibangun oleh ayahnya untuk mendapatkan kekuasaan. “Dia melewatkan seluruh hidupnya dalam kerja itu hanya karena hal itu memberi kesempatan kepadanya untuk bersikap sewenang-wenang terhadap pegawainya, untuk mengelabuhi para pelanggannya….. Bukannya usaha dagang itu yang dicintai sang saudagar, tetapi kekuasaan yang diperolehnya untuk mengatur orang lain” (hlm. 136).
Chekov, melalui Laptev juga memberikan kritiknya kepada orang-orang kapitalis yang mendewakan uang. Bahwa uang bukanlah suatu hal yang menjadi sumber kebahagiaan bagi manusia. “Sejak kecil, aku selalu diperbudak dan uangku tidak bisa menolongku dari pukulan-pukulan. Uangku tidak bisa menolong Nina ketika kakakku itu sakit dan sekarat…. Aku tidak bisa memaksa siapa pun untuk mencintaiku meskipun seandainya kuberikan berjuta-juta untuk itu” (hlm. 91). Kebahagiaan hakiki justru dapat kita temukan melalui hal yang sangat sederhana. Seperti kebahagiaan yang ditemukan Laptev saat ia berada di bawah payung perempuan pujaannya, Yulia. Ini sesuai dengan ungkapan yang sering kita dengar bahwa segalanya butuh uang, tapi uang bukanlah segalanya.
Laptev, barangkali bisa kita analogikan kepada para pejuang sosialis yang memperjuangkan kesetaraan. Namun, semuanya tidak berubah sama sekali. Seperti perbudakan pada hakikatnya tidak pernah lenyap, yang hanya berubah model dari zaman pertanian menjadi zaman industrial. Dan, pada akhirnya, hal itu tetap berlangsung karena ikatan dan perbudakan telah menjadi sebuah kebiasaan. Dengan sangat satire, Chekov menulisnya seperti ini, “Anjing yang terbaring di batu saja tidak melarikan diri ke padang-padang dan hutan-hutan, tempat dia mungkin bisa menghirup kebahagiaan dan kebebasan. Jelas bahwa dia dan anjing tersebut tidak bisa meninggalkan tempat itu karena alasan yang serupa: ikatan dan perbudakan telah menjadi kebiasaan” (hlm. 153).
Selain perbudakan majikan kepada pekerja, Chekov juga memberikan kritik kepada sastra serta mengangkat feminisme. Dalam sastra, Chekov mengutuk novel serta cerita yang penuh dengan “ah” dan “oh”, percintaan sepasang pemuda-pemudi, dan kisah patah hati melalui tokoh bernama Kostya. Bagi Chekov, buku-buku semacam itu tidaklah berguna sama sekali dan terkutuk. Hal semacam ini juga mejadi kegelisahan bagi kita. Di pasaran, buku yang laris manis justru novel menye-menye percintaan sepasang kekasih. Jika direnungkan, memang apa yang dikatakan Chekov benar adanya. Bahwa buku-buku seperti itu tidak memberikan faedah apa-apa di masyarakat, kecuali perasaan nyesek, mewek, dan kepuasaan sejenak bagi pembacanya sendiri. Tidakkah ada hal lain yang bisa dibicarakan selain pertemuan para kekasih, ketidaksetiaan, atau cinta yang disatukan kembali? Karya sastra, menurut Chekov, adalah tulisan yang mendobrak kebusukan masyarakat. “Karya seni yang berharga adalah dia yang memperbincangkan masalah sosial….. Seperti memprotes tuan tanah atau karya tulis yang mengejek kebobrokan kaum tinggi” (hlm. 87).
Membaca 3 Tahun, kita juga akan menamukan isu feminisme yang diangkat oleh Chekov. Itu dapat kita lihat dengan kontras melalui tokoh bernama Polina Nikolayevna Rassudina. Polina digambarkan Chekov dengan sosok akademisi cerdas Moskow yang tidak ingin bergantung pada laki-laki sama sekali. “Dia tidak menganggap dirinya anggota kaum lemah sehingga tidak perlu menggantungkan diri pada lengan lelaki” (hlm. 63). Urusan cinta bagi Polina juga bukanlah sesuatu yang utama dalam hidupnya, berbeda dengan tiga tokoh perempuan yang direka Chekov, yang sering kalut dalam hubungan percintaan.
Membaca karya-karya Chekov memang sangatlah menarik. Kepiawaiannya dalam membangun sisi psikologi para tokohnya patut kita acungi jempol. Namun, sisi realismenya dalam mengangkat isu-isu penting yang terjadi di masyarakat dan menuangkannya ke dalam cerita-cerita satire, lebih patut kita acungi empat jempol. Nah, mari duduk, kemudian angkat kedua tangan dan kaki, lalu acungkan jempol kepada Pangeran Cerpen Rusia kita tercinta Anton Pavlovich Chekov.
- Menggugat Perbudakan - 20 January 2018
- “Dzikrun” - 10 November 2017