Menjelajah Rimba Raya Danarto

Judul        : Gergasi

Penulis     : Danarto

Cetakan   : Desember 2016

Penerbit   : DIVA Press, Yogyakarta

Tebal        : 260 Halaman

ISBN       : 978-602-391-302-2

Danarto, lelaki kelahiran Sragen, 27 Juni 1940, adalah seorang cerpenis yang memulai kariernya dengan menerbitkan kumpulan cerpen perdananya, Godlob (1975). Lebih dari sekadar mengukuhkan diri sebagai cerpenis, dengan hadirnya buku ini Danarto pun diakui sebagai sosok pembaru dalam sastra Nusantara, yang mengusung pandangan sufistik bertenaga puisi yang kuat dan mengarah pada simbol-simbol yang, meminjam dari Umar Kayam, “fantastik-surealistik”, dan absurdisme. Ia merefleksikan—atau lebih tepatnya menghayati (“totalitas-diri”)—dan menyampaikan melalui parabel tentang kegelisahan jiwa manusia yang semakin hari kian tak menentu. Manusia yang hidup di dunia awang-uwung, kekacau-balauan.

Sebagaimana Godlob, dalam Gergasi (2016) Danarto juga memukau para pembaca dengan menghadirkan dunia alternatif “fantastik-surealistik”. Pandangan Danarto berpijak pada ajaran sufistik Islam bernapaskan Jawa. Kecintaan dan kerinduan (mahabah) manusia pada Tuhan-nya dipadu mistikisme dalam kepercayaan Kebatinan Jawa. Patut ditambahkan, Danarto juga berkeyakinan, sebagaimana tuturnya dalam satu wawancaranya, bahwa antara manusia, hewan, tumbuhan, dan alam benda, dalam derajat penciptaannya adalah sama. Tiga belas cerpen Danarto yang ditulis dalam kurun waktu sekira lima tahun (1987-1992) yang dihimpun dalam Gergasi ini memperlihatkan begitu kentalnya warna tersebut.

Pembaca akan menemukan manusia-manusia yang memiliki sifat unik yang melebihi manusia biasa. Kehadiran tokoh-tokoh unik ini merupakan konsekuensi dari ajaran sufisme yang menganggap Tuhan bukanlah zat yang lain sama sekali atau terpisah dari praksis keseharian, melainkan menyatu dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya, wahdatul wujud, atau dalam bahasa, atau dalam bahasa Y. B. Mangunwijaya, luluhnya Hamba dan Tuhan.

Dengan menghadirkan tokoh-tokoh “istimewa” itu Danarto mengejawantahkan sifat-sifat transendental yang dimiliki oleh manusia pilihan (nabi) dan iblis ke dalam cerpen-cerpennya, sehingga ruang dan waktu menjadi absen. Cerita pertama, “Rembulan di Dasar Kolam” (1987), menghadirkan tokoh seorang istri yang memiliki kelebihan dalam waktu bersamaan dapat berada di tempat dua tempat berbeda. Kelebihan inilah yang akhirnya mengakibatkannya dituduh telah memata-matai suaminya. Seperti juga “Dinding Ayah” (1989), seorang pengusaha, Ayah dari tokoh narator, yang tak segan-segan menerkam siapa saja yang tak disukainya—tindakan yang tak berani ditentang oleh siapa pun termasuk istri dan keluarganya. Sekali waktu Ayah mengajak keluarganya berpiknik ke hutan buah-buahan yang dihadiri oleh teman-temannya dari berbagai profesi, termasuk tujuh orang mahasiswi. Ketujuh mahasiswi ini akhirnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan di dalam hutan, sedangkan Ayah tidak diketahui keberadaannya.

Sifat transendental juga ditemukan dalam “Matahari Mabuk” (1989), yang mengisahkan pembajakan manajer di Jakarta yang menimpa Ratmaji, seorang manajer andal. Ia tiba-tiba menghilang dan akhirnya setelah pencarian tanpa hasil, ia muncul di tiap kursi pimpinan di seluruh bank Jakarta dalam detik yang bersamaan. Sedangkan dalam “Semak Belukar” (1991), seorang kakek yang diketahui oleh salah satu cucunya (narator) tengah membariskan mayat-mayat dengan seragam militer yang dibawa oleh semut-semut dari dalam lubang. Kemudian dalam “Kolam Merah” (1992), tokoh Ayah dengan memimpin ratusan perusahaan dengan tangan besi yang menyebabkan siapa saja yang berusaha mencarinya ke dalam gua pertapaannya akan hilang tanpa jejak. Berbeda dengan “Gandasturi” (1992), dengan tokoh Ibu yang dijebloskan ke penjara karena ketahuan mencuri obat-obatan di tempat ia bekerja. Setelah empat puluh hari ditahan, Ibu menghilang dari selnya, sedangkan gembok sel tidak terbuka. Dan dalam “Bulan Sepotong Semangka” (1988), menceritakan Nari yang menemukan dirinya hamil secara ajaib, namun menurut analisis dokter kehamilannya diakibatkan oleh air yang digunakannya untuk mandi di bath tub Ayah dan Ibu. Akhirnya ia mengurung diri di dalam kamar—kamarnya tak bisa ditembus dengan cara apa pun—tanpa makan dan minum sampai anaknya, Bim, menginjak usia remaja.

Keyakinan Danarto tentang derajat penciptaan makhluk penghuni dunia dihadirkan dalam “Allah Berkenan Mengejawantah. Lusa” (1988), yang menuturkan percakapan antara seorang lelaki yang mendapat kabar melalui mimpinya tentang kehadiran Allah pada Jumat sebelum asar dengan pohon-pohon. Kemudian dalam “Dinding Waktu” (1989), tentang wawancara dengan batu besar yang merupakan jelmaan seorang ibu. Akhirnya wartawan yang mewawancarainya akhirnya meminta agar didoakan seperti dirinya. Dan juga cerpen “Gaharu” (1990), yang mengisahkan hilangnya seorang pangeran muda bernama Pangeran. Mendengar kabar tersebut, pohon gaharu memerintahkan pasukan ilalang menyerang kerajaan-kerajaan yang menginginkan sang pangeran.

Peristiwa-peristiwa “ajaib” diceritakan dalam “Bulan Melahap Madu” (1990), Danarto mengisahkan Putri, anak yang tak dikehendaki kelahirannya oleh sang Ibu. Putri ditemukan mati karena penyakit jantung. Setelah kematiannya, ia menemui Ayahnya dan mengabarkan tentang kematian Ibu. Selanjutnya “Menu” (1990), tentang pelukis tua yang diundang oleh seorang pimpinan bank dalam sebuah pertemuan orang-orang yang berumur di atas tujuh puluh tahun—pimpinan bank tidak termasuk. Dalam acara itu, tiba-tiba rumah tempat penyelenggaraan terbang melintasi awan. Dan cerpen “Balairung” (1991), mengisahkan seorang dalang, Ki Ageng Tjiptowiro, yang ditahan atas perintah Bupati dengan tuduhan subversif. Seorang diri Bupati menyensor kaset-kaset rekaman Ki Dalang yang terus bertambah tiap menyelenggarakan pertunjukan.

Setelah saya membaca buku ini, maka tak bisa dimungkiri lagi komentar A. Teeuw tentang Danarto, bahwa cerpen-cerpen Danarto adalah gambaran yang memesona dalam melihat eksistensi manusia dari sudut pandang orang Jawa. Kematangan Danarto sebagai cerpenis tentunya tak diragukan lagi, walaupun beberapa kritikus ada yang menganggap ia anti-intelektual karena menentang logika-formal, namun, dalam bereksperimen, ia tidaklah tepat untuk dikatakan mentah dan konyol. Sebagai medium penyampaian, sastra adalah pilihan Danarto.

Akhirnya, pembaca hanya akan menemukan absurditas dalam cerpen-cerpen Danarto jika menghadapinya selintas lalu—kebosanan yang pernah saya rasakan. Karenanya, dalam berpetualang di rimba raya teks Danarto, pembaca disarankan mematrikan niat bersungguh-sungguh terlebih dulu, kemudian mulailah menerabas nilai-nilai di balik rimba raya itu, karena di sanalah terpendamnya harta karun itu.

Rio Mastri
Latest posts by Rio Mastri (see all)

Comments

  1. Asya Reply

    Pak Danarto selalu menarik perhatian saya

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!