DELIKAN
Malam tanggal lima belas
Anak-anak riang bermain delikan
Bukan di pelataran
namun di jalanan
Bukan di bawah padhang bulan kini
namun di bawah lampu merkuri
Usai hitungan mundur berhenti
Mereka berlari sembunyi
Seorang anak memilih pulang ke rumah
Lalu berdiam di ketiak ibunya
2019
DUR ANGKARA
Hidupku adalah pedang yang menghunjam
sejak sembilan ratus tahun silam,
Kunamakan ia keajaiban sekaligus kutukan
Nasibku adalah nasibmu
yang diam-diam ikut pada lentera yang kau tiup
Hingga menyisakan gelisah di tiap tetes darah
Akankah tubuh ini menjelma abu?
Sebab kau adalah pengantin
yang kutolak sekaligus kuingin
Sebab tawamu adalah perang
Sebab diammu adalah kehancuran
2016
KARTIKA AFFANDI
Di usia lima belas tahun,
kau merasa telah cukup umur
untuk mengembara ke rimba
bernama rumah tangga
Tapi tidak bagi bapak.
Kau tetap gadis kecil manja
yang menangis
ketika jatuh lalu lututmu berdarah
yang tertawa
ketika mendapatkan kembang gula
yang marah
ketika bonekamu diminta
yang tersenyum
ketika wajahmu dipuji ayu oleh ibu
Bapak memintamu menanti,
dua tahun lagi,
agar genap kau dewasa.
Dan sepanjang penantianmu,
dalam tangis ia melukis,
kaki rapuhnya disematkan dalam gambar,
agar kau tak pernah benar-benar sendirian.
2019
LORO BLONYO
Tujuh abad lalu
Kau memaksa kami
mereka-reka kisah tentangmu
Senthong tengah,
ruang perjumpaan paling suci dan bersahaja
senantiasa menjadi saksi
perlawanan pula pengorbanan
Sadhana-Sri
Siapa sejatinya kau di bumi?
2019
SENUKO
Tugu itu telah mati
Membawa kenangan-kenangan sejarah
yang dikubur di bawah rumput-rumput kering
Di lahan gersang sisa tapak kaki pejalan
yang tak pernah mau dipersalahkan
Tugu itu hilang kebebasan
Ia dipaksa melayani para pelancong
yang merasa menjadi tuan-nyonya
Ia tak pernah diizinkan lelah
Meski peluh jelas mengalir hingga kaki-kaki rapuhnya
2019
- PUISI-PUISI FITRI MERAWATI - 19 November 2019
aku
baguusss