Puisi-Puisi Heri Maja Kelana; Rusuk Sungai

codagallery.com

Cinde Wulung

(sebelum kembali pada tanah)

 

cinta

begitu kiranya benang itu terjatuh

meminta serta mengeluh

 

cinta

begitu kiranya tanah

dan batu tak terpisahkan

 

pesona gelora angin utara

menyibak selendang sebelum fajar

sebelum waktu benar-benar kembali

menjadi tanah dan bunga

 

ada yang kecewa, ada pula yang berlari

masuk gua

sebab kebahagiaan adalah telaga yang diam

 

cinta

dimulai dari pucuk pagi

serta benang yang jatuh

 

 

Kembang Jaksi

 

(pertemuan pada ingatan

serta mereka yang pulang dengan

kekalahan)

 

 

ibu, aku memanggil gelisah angin

gelisah setiap lelaki

 

ibu, aku memanggil pesona akar

pesona setiap bunga yang tumbuh

 

ibu, aku memanggil cinta

cinta pada perempuan dengan kembang jaksi

kembang abadi

kembang yang aku nanti di akhir pengembaraan

 

ibu, pertemuan membuat malam lepas

jika itu terjadi, jangan dekatkan padaku

sebab aku tak pernah percaya waktu

 

sebab hanya ada cintamu, bu

cintaku

dan cinta pada perempuan

dengan kembang jaksi di telinga kirinya

 

ibu

 

 

(Bagai Aur Bergantung Ke Tebing

Bagai Tebing Bergantung Ke Aur)

 

bagaimana kabar pagi yang ditunggu?

 

sebab kau sama sekali tidak suka dengan malam

padahal aku selalu bercerita dongeng tentang

sapi yang meloncati bulan. juga dongeng lainnya

yang bercerita tentang malam. sebelum kau

 

tidur lelap di sampingku, ada yang harus

disampaikan padamu. namun bibir ini tidak bisa

bergetar. bahasaku tak pernah mengantar pada lelap

tidurmu. malam kita bukan malam dengan bulan

menggantung di balik pohon, juga di antara bangunan

neoklasik. seperti lukisan yang kau ceritakan

tempo hari di galeri. “aai,

 

seingatku kau pernah bermimpi mengunjungi seorang ibu

dengan konde terselip di rambutnya. ibu itu sendirian

rumahnya jauh dari keramaian. apakah itu yang kau sebut

kesunyian? apabila benar demikian, kita selesaikan

perjalanan seperti yang aku tulis pada judul puisi ini”

 

 

Rusuk Sungai

 

“lalu bagaimana tulang rusuk yang aku titip

padamu?”

 

jika muara sebagai akhir, maka hulu adalah

embun

seperti pagi memutar kelelawar

memutar isyarat mata: pejam

begitulah arus sungai pada tubuhku

 

arus sungai pada tubuhmu akan kutemui

ketika isyarat mata terbuka

kelelawar hinggap di antara pengap subuh

kau pun luruh sebagai perempuan tanpa rusuk

 

“di mana arusmu? aku datang dengan

rusuk lengkung. rusuk yang kubawa dari

butiran embun. untukmu. agar kita berada

pada satu riak”

 

arus sungai adalah gairah pelaminan

dan muara adalah pertemuan rusuk

 

sungai

Heri Maja Kelana
Latest posts by Heri Maja Kelana (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!